News

Kelangkaan hewan dan tumbuhan secara global akibat aktivitas pertanian menurut hasil laporan terbaru The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) sudah berada di tahap yang mengkhawatirkan. Demi memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya, deforestasi semakin tidak terkendali dan terjadi penurunan kualitas lingkungan yang semakin memburuk.

Dampak eksploitasi sumberdaya alam yang tidak berkelanjutan merupakan faktor utama yang mendorong cepatnya laju kepunahan ini. Berdasarkan laporan, disebutkan bahwa saat ini satu dari lima orang di seluruh dunia masih sangat bergantung pada sekitar 50.000 spesies hewan liar, tumbuhan dan jamur untuk makanan, obat-obatan,kosmetik, pariwisata, bahan bakar, pendapatan dan tujuan lainnya.

Belum lagi perburuan liar akibat maraknya perdagangan satwa liar setiap tahunnya yang kini mencapai nilai US$ 23 milyar. Perubahan iklim dan peningkatan permintaan satwa dan tumbuhan liar yang semakin tinggi akan mendorong lebih banyak spesies menuju kepunahan.

“Kita tentunya dapat membayangkan jika hewan dan tumbuhan yang dibutuhkan manusia ini sebagian besar punah, tentunya akan berdampak langsung pada kehidupan manusia karena mengancam keamanan pangan dunia,” ujar Prof Ronny Rachman Noor, Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan, 11/7.

Sayangnya dalam praktiknya, lanjutnya, pola penangkapan ikan, perburuan dan penebangan hutan ini dilakukan dengan cara tidak berkelanjutan sehingga mengancam keberadaan hewan dan tumbuhan tersebut.  Menurutnya, eksploitasi alam secara masif ini mengakibatkan sekitar 35 persen ikan liar ditangkap secara berlebihan. Hal yang sama terjadi pada spesies hewan dan pohon. Sekitar 1.300 jenis hewan dan 10 persen pohon liar kini terancam punah. Para pakar konservasi memperkirakan bahwa dalam beberapa puluh tahun mendatang, sekitar satu juta jenis tumbuhan dan hewan dapat saja punah.

“Oleh sebab itu, upaya untuk memperlambat laju kepunahan ini harus ditekankan pada pola penangkapan ikan, perburuan hewan, dan penebangan yang berkelanjutan. Sehingga pemanfaatan sumberdaya alam ini tidak menyebabkan terganggunya keseimbangan alam,” tambahnya.  Ia menambahkan, hasil pertemuan 139 negara di Bonn, Jerman beberapa waktu yang lalu sebagai bagian dari kegiatan IPBES menyimpulkan bahwa pemanfaatan spesies liar secara berkelanjutan sangat penting bagi manusia dan alam. Perlu disusun rencana aksi agar aktivitas manusia dalam mata pencahariannya dilakukan secara lebih berkelanjutan tanpa merusak keanekaragaman hayati dan ketahanan pangan.

“Rencana aksi ini juga menjelaskan pentingnya penegakan hukum bagi pelaku penangkapan ikan ilegal dan perdagangan satwa liar. Maka dari itu, diperlukan pula pengelolaan dan sertifikasi hutan yang lebih baik untuk menjaga kelestarian satwa liar dan flora,” jelasnya.
Menurutnya, peran masyarakat adat selama ratusan tahun dalam menjaga dan memanfaatkan sumberdaya alam ini menjadi kunci penting dalam menekan laju kepunahan satwa dan flora. Oleh sebab itu, pemerintah perlu memberikan pengakuan atas hak-hak masyarakat adat atas penjagaan lahan dan hutan.

“Pengendalian eksploitasi sumberdaya alam harus segera dilakukan agar mampu mengantisipasi peningkatan permintaan akan produk yang semakin meningkat, perubahan iklim yang semakin memburuk, kemajuan teknologi yang menyebabkan metode perburuan dan penangkapan ikan yang semakin canggih,” terangnya.

Kajian global yang dilakukan oleh IPBES 2019 membuka mata masyarakat dunia akan fenomena kepunahan ini.  “Kajian lanjutan di Montreal, Kanada akhir tahun ini diharapkan juga dapat membuahkan kebijakan yang mampu mendorong pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan dalam upaya menekan laju hilangnya keanekaragaman hayati,” tandasnya

Mikroplastik dan nano plastik saat ini sudah menjadi bahaya laten bagi kesehatan manusia semakin nyata. Hal tersebut diungkap Prof Ronny Rachman Noor, Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan.  Ia menyampaikan hasil penelusuran jejak mikroplastik yang menunjukkan bahwa daging sapi dan daging babi yang beredar di Belanda dan Switzerland telah terkontaminasi mikroplastik. Bahkan jejak mikroplastik susu sudah ditemukan pada produk susu yang beredar di pasaran Switzerland  dan Perancis sejak tahun 2021 lalu.

“Hasil penelitian menunjukkan, setiap tahunnya rata rata orang memakan sekitar 50.000 partikel mikroplastik dan juga dalam jumlah yang sama kita menghirupnya melalui udara yang tercemar,” kata Prof Ronny Rachman Noor.  Pakar Genetikan Ternak ini mengingatkan bahwa Indonesia perlu secara serius menangani masuknya mikroplastik dalam rantai makanan. Menurutnya, upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan cara mengawasi secara ketat penggunaan plastik dalam industri pangan, industri peralatan, industri perikanan dan industri peternakan termasuk  peternakan rakyat.

“Jika masalah ini tidak diantisipasi, maka dalam waktu dekat mikroplastik dan nano plastik  akan menjadi masalah kesehatan yang sangat serius bagi Indonesia,” katanya.  Ia menambahkan, kita tentunya dapat membayangkan bahwa di negara penghasil daging dan susu ini sistem pengawasan dan keamanannya sangat ketat, namun kontaminasi mikroplastik tetap saja terjadi. Tentunya kita juga dapat membayangkan bahwa bahaya laten mikroplastik ini semakin nyata dan meluas di berbagai negara, utamanya di negara berkembang yang pengawasan keamanan pangannya belum seketat Belanda, Switzerland dan Perancis.

Mikroplastik merupakan partikel plastik yang berukuran antara 0.03 sampai dengan 3 millimeter.  Saat ini mikroplastik menjadi salah satu bahan pencemar lingkungan utama yang ditemukan pada tanah, air laut, air tawar dan juga udara. Dengan ukuran yang sangat kecil, baik manusia maupun hewan secara tidak sadar mengkonsumsinya dari makanan yang tercemar mikroplastik.

Hasil penelitian terbaru yang dilakukan di Belanda menunjukkan bahwa mikroplastik sudah ditemukan pada daging sapi dan daging babi yang jika dikonsumsi manusia akan menimbulkan masalah kesehatan yang serius.

Para peneliti dari Vrije Universiteit Amsterdam (VUA) Belanda pada bulan Maret lalu juga telah menemukan jejak mikroplastik dalam darah manusia dan dapat menyebar ke berbagai organ. Mikroplastik yang masuk ke dalam tubuh manusia berdampak pada kerusakan sel dan dapat menyebabkan timbulnya penyakit yang serius dan  menimbulkan kematian.

Prof Ronny juga membeberkan hasil penelusuran yang dilakukan oleh para peneliti menunjukkan bahwa mikroplastik ini sudah mengkontaminasi susu yang beredar di pasaran di Perancis dan Switzerland sejak tahun 2021 lalu.

Terkontaminasinya produk peternakan seperti susu, daging dan juga kemungkinan besar telur memang tidak mengherankan. Hal ini karena penggunaan bahan dan peralatan berbahan plastik sangat masif digunakan baik di peternakan besar maupun peternakan rakyat. Hal yang sama juga terjadi pada industri perikanan. Sumber kontaminasi mikroplastik utamanya yang berukuran sangat kecil  dapat berasal dari bahan plastik yang digunakan ini yang masuk melalui air minum dan pakan ternak.

“Sayangnya banyak orang yang tidak sadar bahwa kontaminasi mikroplastik ini sudah masuk ke dalam rantai makanan dan akhirnya masuk ke dalam tubuh manusia,” kata Prof Ronny.  Ia menyebut, masalah kontaminasi mikroplastik dan nano plastik  yang sangat luas dan mengancam kesehatan manusia ini perlu diantisipasi dan ditangani  secara serius di Indonesia. Hal ini karena akan berdampak buruk tidak saja pada lingkungan namun juga pada kesehatan masyarakat tanpa disadari banyak orang (ipb.ac.id)

Perlu diketahui bersama bahwa di Indonesia, kadang sebagian orang masih sering keliru menyebut domba dengan kambing. Contohnya pada masa Idul Adha, masyarakat sering menyebut akan sembelih kambing, padahal yang akan disembelih adalah domba. Media massa juga kadang masih keliru memilih foto antara domba dan kambing dalam suatu berita. Sering ditemui juga bahwa restoran yang menyediakan sate kambing ternyata dari daging domba. Bahkan hampir dipastikan bahwa hampir semua restoran sate tersebut menggunakan daging domba.

Muhamad Baihaqi, SPt, MSc, Dosen IPB University dari Fakultas Peternakan mengatakan terdapat dua hoax yang masih beredar di masyarakat. Pertama adalah perbedaan kambing dan domba yang sering keliru dan anggapan daging kambing dan domba berkolesterol tinggi.
“Padahal di negara barat seperti Eropa dan Amerika, daging kambing disebut sebagai ‘the healthiest red meat’. Kandungan kolesterolnya jauh lebih rendah dibanding jenis daging lainnya seperti sapi dan ayam, namun proteinnya tinggi,” ujarnya.

Selain itu, imbuhnya, kandungan asam lemaknya jauh lebih rendah dan kadar proteinnya masih tinggi. Daging kambing dan domba juga lebih mudah dicerna dan diserap oleh tubuh dibanding protein nabati. Bahkan, di rumah sakit luar negeri disarankan diet bagi penderita jantung untuk mengkonsumsi daging kambing. Protein dari daging kambing dan domba dapat diserap oleh tubuh hingga 90 persen.

“Keunggulan lainnya adalah kandungan antioksidan yang jarang diungkap oleh para dokter, yang justru menyarankan untuk menjauhi konsumsi daging kambing. Daging kambing memiliki kandungan bioaktif dan asam amino esensial yang baik untuk meningkatkan sistem imun tubuh,” tambahnya.

Menurutnya, munculnya opini bahwa daging tinggi kolesterol sebenarnya diakibatkan dari pola masak yang kurang tepat. Pengolahan daging kambing biasanya diolah dengan tinggi lemak dan jeroan daripada porsi daging utuhnya. Selama porsinya sesuai dan pengolahannya tepat, daging kambing memang sehat bagi tubuh.

“Perbedaan mendasar antara kambing dan domba adalah dari sisi genetiknya. Kambing dan domba memiliki jumlah kromosom yang berbeda. Kambing memiliki jumlah kromosom 60, sedangkan domba 54. keduanya merupakan spesies yang berbeda sehingga sampai saat ini keduanya tidak dapat dikawinkan,” jelasnya.

Dari sisi morfologi yang mudah dikenali, lanjutnya, kambing berjenggot sedangkan domba tidak. Ekor kambing mengarah ke atas, sedangkan domba ke bawah. Dari bentuk dan ukuran tanduk juga berbeda. Umumnya tanduk domba lebih tebal dan menggulung ke dalam. Bibir domba bercelah sehingga dapat membantu saat merumput, sedangkan kambing tidak bercelah. Tidak semua domba juga memiliki jenis wool keriting, ada kambing yang juga memiliki jenis wool keriting.

“Kambing biasa memakan daun dengan memanjat pohon, sedangkan perilaku makan domba adalah grazing atau merumput. Perbedaan perilaku lainnya adalah cara berkelahi kambing berdiri atau adu kaki, sedangkan domba berkelahi dengan adu kepala,” imbuhnya.

Sementara itu, katanya, susu kambing memiliki struktur lemak lebih kecil sehingga lebih mudah dicerna daripada susu sapi dan domba. Sehingga susu kambing sangat baik bagi penderita penyakit paru-paru. Di dalam susunya juga memiliki zat aktif lebih tinggi daripada domba dan sapi (ipb.ac.id)

Peneliti IPB University berhasil menemukan formula pakan ternak yang dapat membantu peternak lebih praktis dan menguntungkan dalam usaha ternaknya.  Mereka adalah Prof Luki Abdullah, Prof Panca Dewi Manu Hara Karti, Prof Rudy Priyanto, Dr Adi Hadianto.

Inovasi di bidang peternakan ini diberi nama SORINFER, sebuah formulasi pakan komplit berbahan sorgum dan indigofera. Inovasi ini ibarat menjadi penerang di tengah gulita kian tingginya biaya pakan yang bisa mencapai 60 hingga 70 persen dari total biaya produksi.

Rektor IPB University, Prof Arif Satria ketika meluncurkan produk SORINFER, 29/6 di Kampus IPB Dramaga, Bogor, Jawa Barat mengatakan, inovasi SORINFER merupakan produk yang strategis mengingat kebutuhan pakan ruminansia di Indonesia sangat tinggi tetapi ketersediaannya masih terbatas. Bahkan, beberapa peternak masih bergantung pada pakan rumput segar. 

“Pakan ruminansia ini sangat strategis sekali, apalagi konsumsi rumput masih tinggi. Jadi inovasi yang dihasilkan ini, yaitu SORINFER, adalah inovasi yang memadukan teknologi-teknologi untuk meningkatkan kualitas pakan,” kata Prof Arif Satria. Ia akan meminta bantuan para alumni supaya inovasi SORINFER dapat sampai ke masyarakat terutama peternak. Dengan demikian, inovasi IPB University itu dapat dinikmati oleh masyarakat luas. 

Ketua Tim Peneliti, Prof Luki Abdullah mengatakan, “Inovasi ini diharapkan bisa menjadi penentu keberlanjutan usaha peternakan.” Apa yang dikatakan Prof Luki tidaklah berlebihan.  Pasalnya, industri pakan komplit untuk ternak ruminansia di Indonesia masih belum berkembang karena terlalu kompleks dalam penyediaan bahan pakan sumber serat.  “Umumnya hijauan pakan diproduksi secara tradisional dan dalam skala kecil oleh peternak bukan produsen khusus, “ ungkapnya. 

Dengan kondisi seperti ini, sebutnya, beternak menjadi lebih sulit dan tidak efisien, padahal di sisi lain minat beternak masyarakat terutama generasi milenial semakin tinggi, karena keuntungan yang menjanjikan dari bisnis ini. “Perusahaan peternak yang pemiliknya kaum milenial cenderung lebih menyukai cara beternak yang mudah, praktis namun harus menguntungkan, “ jelasnya.

Sebagai upaya menyelesaikan masalah yang dihadapi dunia usaha peternakan yang menuntut peningkatan keuntungan dan kepraktisan beternak,  Tim Peneliti IPB University ini telah merancang SORINFER sebagai produk pakan komplit fermentasi siap saji dalam kemasan berbahan sorgum dan Indigofera. 

“SORINFER adalah produk pakan komplit fermentasi baru yang mulai memasuki pasar. Bahan baku utama adalah Sorgum sebagai sumber energi dan Indigofera sebagai sumber protein. Kombinasi kedua bahan yang disusun dengan proporsi yang pas ditambah bahan aditif pakan (berdasarkan hasil penelitian sejak tahun 2017) menjadikan SORINFER sebagai pakan dengan komposisi nutrien yang seimbang dan memenuhi kebutuhan ternak, “ urainya.

Ia menyebut, SORINFER dengan kandungan bahan kering 53-55 persen, mengandung protein kasar 12-14 persen, TDN 58-60 persen, NDF 49-53 persen, ADF 26-32 persen, energi kotor 3900-4300 Kilo Kalori/kilogram. Dengan komposisi tersebut, ia yakin cukup untuk memenuhi kebutuhan pakan domba, kambing dan sapi. 

Dikatakannya, “Selain itu SORINFER hadir sebagai pakan lengkap yang siap saji yang dapat juga digunakan pada saat paceklik hijauan pada musim kemarau, sehingga beternak menjadi lebih praktis, mudah dan menguntungkan karena kandungan nutrisi pada produk ini dirancang sesuai dengan kebutuhan ternak." Menurutnya SORINFER juga banyak diminati peternak dalam kondisi merebaknya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), karena dapat mencegah penularan dan berjangkitnya penyakit tersebut. Karakteristik SORINFER yang asam dengan pH 3.8-4.0 dan mengandung asam asetat 1-2 persen dapat menyebabkan virus PMK inaktif.

Lebih lanjut dikatakannya, "Penggunaan SORINFER dalam ransum bisa mencapai 5 persen dari bobot badan ternak. Hasil kajian di peternak pemberian SORINFER untuk sapi PO bisa mendapatkan pertambahan bobot badan (PBB) rata-rata 0.8 kilogram/hari, dan mampu memulihkan bobot badan sapi lebih cepat dengan PBB mencapai 1.0 kilogram/hari pada sapi yang baru mengalami transportasi."

Ia menambahkan, berdasarkan testimoni di lapangan, SORINFER disukai ternak. "Sebagian besar ternak yang memulai mengkonsumsi SORINFER akan langsung memakannya. Hal ini disebabkan oleh aroma SORINFER yang wangi seperti aroma tape dan tekstur yang mewakili pakan hijauan berkualitas tinggi perpaduan sorgum dan Indigofera yang dipanen pada waktu yang tepat, sehingga disukai oleh ternak dan memiliki komposisi nutrien serta keseimbangan energi-proteinnya ideal, " tuturnya. Dengan kondisi tersebut, sebutnya, peternak tidak perlu repot-repot untuk mengarit atau mencari hijauan pakan, karena produk ini dapat disimpan hingga satu tahun selama plastik kemasannya tidak bocor, sehingga saat musim kemarau pun akan tetap tersedia bagi ternak.

"Kemasan SORINFER terdiri dari dua jenis, yaitu menggunakan kantong ganda dengan bagian dalam (inner) kedap udara dan air, dan kantong bagian luar yang melindungi kantong bagian dalam, " jelasnya. 

Ia menyampaikan bahwa pada tahun 2020 tim Peneliti IPB University bekerjasama dengan BATAN, PT Santana Manggala Karya dan PT Nufeed telah memulai kegiatan pembuatan lini produksi SORINFER melalui pendanaan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). "Dan  pada tahun 2021 melalui bantuan pendanaan Matching Fund ditambahkan peralatan dan mesin produksi otomatis untuk menghasilkan produk SORINFER dengan kapasitas produksi mencapai 20 ton/hari, " jelasnya.

Pengembangan SORINFER ini dilakukan di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol(UP3J) dalam rangka membangun IPB Innovation Valley di Desa Singasari Kecamatan Jonggol. Ia menyebut, lini produksi ini selain berfungsi untuk menghasilkan SORINFER untuk kepentingan komersial, juga dirancang sebagai cikal bakal Pabrik Pembelajaran (Teaching Factory), sehingga bisa berfungsi sekaligus untuk pembelajaran dan penelitian mahasiswa. 

Ditandaskannya, untuk keberlanjutan produksi, pasokan bahan baku terutama sorgum, Tim Peneliti IPB University melakukan kerjasama kemitraan dengan petani di sekitar UP3J. "Kemitraan ini meliputi bantuan benih, teknik budidaya, bantuan pinjaman pupuk, bantuan pinjaman peralatan untuk pengolahan tanah dan pemasaran biomassa sorgum. Secara rutin petani menjual biomassa sorgum ke UP3J untuk dijadikan bahan baku SORINFER, " jelasnya.

Ia berharap SORINFER ini menjadi solusi permasalahan pakan bagi peternak dan memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat perdesaan dalam memasok biomassa sorgum dan Indigofera (ipb.ac.id)

Masyarakat mengenal kambing hanya sebagai hewan ternak. Kambing hampir tidak pernah dibahas sebagai hewan yang pintar. Padahal tingkat kepintarannya lebih tinggi dibandingkan jenis hewan ternak lainnya. 

Muhamad Baihaqi, SPt, MSc, pakar bidang produksi ternak ruminansia kecil, Fakultas Peternakan IPB University mengungkapkan bahwa karena kepintarannya, di Negara Barat muncul istilah’ Think Like a Goat’ atau berpikir layaknya kambing berpikir. Faktanya, karena kecerdasan dan keunikannya, di Inggris kambing telah dijadikan sebagai hewan peliharaan. Kambing mudah diajari dan mudah membangun hubungan dengan pemiliknya. 
Namun, lanjutnya, sebagai hewan peliharaan, tidak sembarang jenis kambing yang dipilih. Kambing yang bisa dijadikan sebagai hewan peliharan adalah kambing mini atau pigmy goat. Selain pintar, kambing mini ini memiliki ukuran tubuh yang mungil sehingga terlihat imut dan menggemaskan.

“Kepintaran kambing ini terbukti karena memang ternyata dapat dijadikan hewan peliharaan. Walau tidak secerdas anjing, tingkat kepintarannya hampir setara dengan kucing dan bisa memiliki bonding dengan manusia sebagai pemiliknya,” terangnya ketika diwawancarai terkait tingkat kecerdasan kambing yang jarang diketahui masyarakat awam. 

Dibandingkan dengan domba, imbuhnya, tingkah laku kambing lebih ekpresif dan banyak akalnya. Kambing juga memiliki tingkah laku stereotyping atau meniru. Kemampuan ini bisa membuat kambing pintar meniru dan dilatih suatu trik. Seperti mengajari letak pakannya dan letak toiletnya. Dibanding domba dan sapi, kambing juga memiliki kemampuan memanjat pohon untuk memenuhi kebutuhan pakannya. 
“Tidak ada jenis ruminansia lain yang memiliki kemampuan seekstrim itu. Sehingga kambing cenderung mudah dikembangbiakkan dan mampu bertahan hidup di daerah ekstrim, seperti lahan kering, karena mampu mencari pakannya sendiri,” tambahnya.

Fakta unik lainnya adalah dari sisi taktik dan insting. Baihaqi mengatakan bahwa kambing lebih pintar daripada ternak lainnya. Secara manajemen, hal ini dapat memberikan nilai plus dan minus bagi para peternak. Bila kualitas kandang tidak bagus, kambing akan mudah lolos. Kambing juga agak rewel dari sisi pakan karena lebih menyukai jenis dedaunan yang berbeda. 

“Namun dengan kepintarannya, baik dipelihara secara intensif atau ekstensif akan memberikan beberapa keuntungan. Bila kambing dipelihara dengan sistem diumbar, kambing akan lebih waspada terhadap serangan predator. Kambing juga dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya sendiri dengan mencari pakan sendiri. Kambing juga mampu membedakan pemilik dengan bukan pemilik, sehingga cenderung sulit dicuri,” tandasnya (ipb.ac.id)