Prof. Muladno Kembali Aktif di IPB

Guru Besar Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof.Dr. Muladno kembali aktif mengajar dan meneliti di IPB setelah sebelumnya selama 13 bulan 12 hari (per 1 juni 2015) ditugaskan oleh Presiden RI, Joko Widodo sebagai Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian RI. Dalam jumpa pers atas kembali aktifnya Prof. Muladno di Kampus IPB Baranangsiang Bogor, Senin (18/7), Prof. Muladno memaparkan beberapa kebijakan strategis yang berhasil dilakukan selama menjabat sebagai Dirjen. “Setidaknya hasil ini tidak memalukan IPB,” tegasnya.
 
Selama 13 bulan menjabat, kebijakan strategis yang berhasil diterapkan dalam dunia peternakan adalah pertama, pembenahan industri dan bisnis-bisnis perunggasan. “Ternak unggas mengalami over suplly, sehingga tugas kami kemarin adalah memimpin perusahaan-perusahaan pembibitan unggas untuk menyeimbangkan jumlah supply demand. Akhirnya lahir peraturan Permentan tentang produksi, peredaran dan pengawasan Day Old Chicken (DOC),” ujarnya.
 
Kedua, revitalisasi asosiasi. Saat ini ada 84 asosiasi atau perhimpunan di bidang peternakan dan kesehatan hewan. Banyak diantara asosiasi itu yang hanya sekadar kumpul-kumpul saja tanpa ada dokumen legalnya. “Kita dorong supaya asosiasi itu dibenahi, jangan sampai orang gampang buat asosiasi padahal legitimasinya diragukan,” ujarnya.
 
Ketiga, adanya revisi peraturan menteri yang membuat bisnis sapi lebih kondusif seperti penghapusan biaya pemeriksaan penyakit sebelum sapi itu dikirim dari Australia ke Indonesia.
 
“Tadinya biayanya itu 220 dollar per ekor. Nah kemarin setelah berkunjung ke Australia cek sana cek sini, akhirnya saya putuskan, setelah diskusi dengan otoritas kesehatan hewan, biayanya menjadi 50 dollar per ekor. Bayangkan kalau kita impor seribu ekor saja sudah berapa milyar yang bisa disimpan. Pencegahannya terlalu mahal dibanding realitasnya. Padahal penyakit tersebut amat sangat langka,” terangnya.
 
Keempat, aturan impor sapi bakalan tadinya harus 350 kilogram (kg) per ekor. “Ini agak merepotkan karena jika ada sapi bakalan yang beratnya 355 kg maka itu sudah dianggap melanggar. Maka aturannya kemudian diubah menjadi rata-rata 350 kg per bacth,” imbuhnya.
 
Kebijakan strategis kelima adalah dibangunnya 54 Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) yang tersebar di 17 propinsi. Dari 54 SPR tersebut, 11 SPR sudah berdiri (sebelum Prof. Muladno menjabat sebagai Dirjen) dengan binaan IPB, tersebar di 17 propinsi.
 
Keenam adalah adanya layanan online untuk memangkas birokrasi dalam proses impor pakan ternak. Ada dua komoditas yang sudah di-online-kan dari 14 komoditas yang ijin impornya melalui Dirjen PKH.
 
Ketujuh, untuk pertama kalinya Indonesia berhasil ekspor telur tetas ayam pedaging ke Myanmar. “Ini merupakan prestasi dari perusahaan-perusahaan Indonesia, karena di Myanmar ada peraturan yang mengatakan tidak boleh mengimpor dari negara yang belum bebas Avian Influenza (AI) dan cara pengendalian AI yang masih menggunakan vaksin. Tetapi ketika tim dari Myanmar datang ke sini dan melihat kandang di perusahaan dan presentasi para pakar, debat dengan para ahlinya, akhirnya peraturan di sananya diubah. Ekspor perdana saya yang lepas. Selain itu, Balai Inseminasi Buatan (BIB) Singosari juga berhasil ekspor sperma sapi ke Kirgiztan,” jelasnya.
 
Mengenai harga daging sapi yang susah diturunkan, Prof. Muladno enggan berkomentar. Namun ia menjelaskan kebijakan presiden yang ingin mendatangkan kerbau dari India.
 
“Pro kontra selalu ada, apapun itu. Ini perintah Pak Jokowi untuk memasukkan daging kerbau karena harganya murah. Kami dan tim sudah datang ke sana, sudah cek dan para pakar sudah bilang oke. Ada dua kali audit yakni audit negara dan audit Rumah Potong Hewan (RPH)-nya. Setelah lolos dari audit negara, Kesmavet yang bertugas mengaudit RPH menyatakan ada 10 RPH di India yang layak ekspor ke Indonesia karena RPH-nya sudah standar internasional. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun digandeng untuk sisi kehalalannya,” ujarnya.
 
Menurutnya, pertimbangan mengimpor daging kerbau karena harganya lebih murah. Bisa 50 ribu rupiah per kilo daging. Masuk pasar bisa 60-65 ribu rupiah untuk daging tanpa lemak. Tapi program ini belum dilaksanakan sampai sekarang. (zul - ipb.ac.id)