News

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB University gelar kuliah tamu pada mata kuliah Inovasi Teknologi Pengolahan Serat Ulat Sutra pada Kamis (6/5). Pada kesempatan ini Departemen IPTP menghadirkan seorang expert pada bidang fashion ramah lingkungan yaitu Ahmad Ilvan Dwiputra.

Tema yang diangkat adalah pewarnaan alam kain sutra melalui Ecoprint. Kuliah tamu ini diadakan untuk meningkatkan minat dan wawasan mahasiswa tentang pengolahan produk peternakan, khususnya pada produk turunan ulat sutra. Ini merupakan kali pertama mengundang langsung Co-founder dari Semilir Ecoprint.

Ahmad menjelaskan Ecoprint merupakan teknik mentransfer bentuk dan warna daun sebenarnya ke kain tanpa menggunakan bahan kimia berbahaya atau bahan buatan.

"Teknik ini memanfaatkan daun sebagai signature motif Ecoprint. Kekayaan flora Indonesia bisa kita eksplorasi untuk diwujudkan dalam fashion," ujarnya.

Ia melanjutkan pemilihan bahan baku kain dan bahan baku daun menjadi penting dalam teknik ini. Menurutnya kain yang berasal dari serat protein memiliki keunggulan dibandingkan kain dari serat selulosa.

"Kain berasal dari serat protein itu jauh lebih bagus untuk Ecoprint dan pewarnaan alam, motifnya akan terlihat lebih jelas. Contohnya pada kain sutra, ketika mordantnya cukup maka warna akan lebih kuat menempel dan susah hilangnya," jelasnya.

Selain itu daun yang digunakan juga memiliki karakteristiknya masing-masing. "Jadi ada jenis-jenis daun yang bagusnya digunakan saat segar dan ketika kering kurang bagus, ada juga daun yang bisa digunakan keduanya baik segar maupun kering, dan ada pula jenis daun yang bagusnya digunakan saat kering. Contohnya daun eucalyptus, dalam kondisi segar atau kering tetap bagus hasilnya, kemudian daun ginitry itu segar bagus digunakan namun ketika kering warnanya mulai berubah,” ujarnya.

Ada empat tahapan penting dalam teknik Ecoprint yaitu Scouring (pencucian), Mordant, Ecoprinting dan Fixasi.

"Mordant berfungsi untuk memperbesar daya serap kain untuk menarik zat warna. Bahan yang sering digunakan yaitu tawas, cream of tartar dan iron (tunjung).  Pada kain serat protein seperti sutra, tunjung yang digunakan hanya sedikit, sekitar 2-4 persen, karena jika berlebihan dapat menyebabkan kain keras dan rapuh," ungkapnya.

Ia menambahkan proses fixasi bertujuan agar warna tahan lama. Pada tahap ini dapat menggunakan air kapur, tawas atau tunjung. Namun untuk kain sutra tidak dapat menggunakan tunjung. Untuk warna gelap dapat digunakan kapur, dan warna cerah digunakan tawas.

Terdapat dua metode dalam proses Ecoprint, pertama metode pounding menggunakan alat bantu seperti palu untuk memukul daun/bunga agar tercetak di kain. Warna dan motif daun/bunga akan terlihat jelas dan tegas dengan cara ini. Namun metode ini tidak mengeluarkan warna asli daun (dominan warna klorofil) serta akan cepat pudar.

Berikutnya adalah metode steaming menggunakan alat kukus dengan bantuan suhu tinggi (panas) untuk membantu proses melekatnya zat tanin yang dikeluarkan daun/bunga ke media Ecoprint.

"Kelebihan cara steaming adalah tidak memerlukan tenaga ekstra seperti pounding, warna yang dihasilkan natural dan asli dari daun/bunga sendiri. Akan tetapi kita tidak bisa memprediksi warna yang akan dihasilkan setelah proses pengukusan," ungkapnya.

Acara yang diselenggarakan secara daring ini berlanjut dengan sesi tanya jawab dengan antusiasme peserta yang cukup tinggi (ipb.ac.id)

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP) Fakultas Peternakan IPB University hadirkan Alice Rocha dari Departemen Peternakan University of California, Amerika Serikat sebagai dosen tamu dalam Kuliah Tamu dengan tema Manajemen Limbah Peternakan, (04/05).

Dalam kegiatan ini Alice menjelaskan tentang manajemen pupuk di Amerika Serikat. Kegiatan tersebut dimoderatori oleh Windi Al Zahra M Si, Dosen IPB University dari Departemen IPTP Fakultas Peternakan.

Alice menyebutkan bahwa di Amerika Serikat telah diberlakukan beberapa kebijakan manajemen pupuk khususnya bagi industri peternakan. Kebijakan tersebut termasuk ke dalam kategori National Pollutant Discharge Elimination System (NPDES) yang merupakan bagian kecil dari lembaga Enviromental Protection Agency dengan memberlakukan tiga jenis kebijakan.

“Tiga kebijakan tersebut adalah permits and regulatory programs, non-regulatory tools dan integrated approaches. Setiap wilayah di Amerika Serikat dapat memberlakukan kebijakan yang berbeda sesuai dengan wilayah masing-masing. Kebijakan permit and regulatory programs memiliki elemen peraturan yang umumnya mengatur penggunaan dan produksi pupuk,” jelasnya.

Kebijakan non regulatory tools merupakan kebijakan yang berlaku sebagai pedoman, sehingga tidak diberlakukan hanya untuk membatasi petani. Namun juga memberikan program edukasi, relokasi dan advisory tools.

Contohnya bagi wilayah Oregon yang memberlakukan manure spreading advisory tools sehingga dapat membantu petani menilai risiko cuaca yang terkait dengan limpasan nutrisi dalam tanah. Sedangkan kebijakan integrated approach merupakan kombinasi dua regulasi sebelumnya. Tools tersebut dipakai oleh petani untuk mendapatkan pendekatan baru untuk mengatur kualitas pelayanan air, dampaknya, serta kualitas udara, bahkan respon darurat atas kontaminasi pupuk.

Kebijakan tersebut lebih ditekankan pada industri susu dan turunannya karena konsumsi susu di Amerika Serikat sangat tinggi. Serta terdapat beberapa wilayah yang padat akan industri susu seperti di wilayah pesisir timur yakni California.

Industri peternakan di Amerika Serikat memiliki dua bentuk yakni confined system dan pasture system, tergantung pada akses lahan. Pasture system diterapkan dengan melepasliarkan sapi perah di lahan rumput yang luas sedangkan dengan confined system dipelihara dalam kandang besar selama hidupnya.

“Mengapa perlu adanya manajemen pupuk karena di Amerika Serikat terdapat lebih dari 9,4 juta hewan ternak yang tergabung baik sebagai industri unggas, sapi, domba, dan kambing. Bila tidak dikontrol maka akan mencemari kualitas badan air dan terjadi nutrifikasi yakni tingginya konsentrasi nutrien dalam air sehingga dapat menimbulkan ledakan populasi alga,” jelasnya.

Lebih lagi, industri peternakan menyumbang emisi gas rumah kaca dalam jumlah yang cukup besar. Sehingga perlu adanya upaya intensif untuk mencegah polusi lebih lanjut dimulai dengan manajemen pupuk yang berkaitan erat dengan pemeliharaan ternak. Pemberian pakan ternak yang berasal dari tanaman yang kaya nitrogen atau pupuk berlebih akan terbuang kembali sebagai pupuk.
Upaya manajemen pupuk dimulai dengan pengumpulan pupuk yang ‘diproduksi’ oleh hewan ternak dengan metode scrapping ataupun flushing. Metode flushing lebih direkomendasikan daripada metode scrapping dengan alat tradisional, seperti sekop, karena menggunakan air daur ulang serta dapat mengumpulkan pupuk dan amonia lebih baik.

Setelah dikumpulkan, limbah pupuk tersebut disimpan dalam sebuah kontruksi mirip laguna yang dibangun dengan peraturan tertentu dan jauh dari sumber air minum warga. Kemudian diolah kembali sebagai kompos, anaerobic digester, ataupun slurry fertilizer.

“Kelebihan praktik manajemen pupuk dalam industri peternakan tersebut tidak hanya mereduksi produksi pupuk yang lolos menjadi limbah, namun juga menghasilkan energi terbarukan. Selain itu dapat mengatasi patogen berbahaya, meningkatkan konservasi tanah, mencegah limpasan nutrien, serta meminimalisir penyebab polusi udara,” imbuhnya (ipb.ac.id)