News

  • Prinsip Memperpanjang Umur Simpan Daging Sapi

    Daging adalah otot yang telah mengalami konversi menjadi daging, merupakan bagian dari karkas sapi yang sehat, disembelih secara halal dan benar serta lazim, aman dan layak dikonsumsi oleh manusia. Sebagai salah satu bahan makanan bernilai gizi tinggi baik bagi manusia maupun mikroorganisme, daging menjadi bahan makanan yang mudah rusak, sehingga untuk dapat memperpanjang umur simpang daging, harus diterapkan sistem rantai dingin selama produksi, penyimpanan dan transportasi/distribusi daging dan produk olahannya. Hal itu dimaksudkan, untuk mencegah atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan menghambat aktivitas enzim pada daging.

    Sistem rantai dingin dapat dilakukan dengan penyimpanan dingin dan penyimpanan beku. “Ruang pendinginan merupakan tempat untuk menyimpan atau mendinginkan pangan segar dengan suhu antara 0°C hingga dengan -1°C dan kelembaban 90–95%. Adapun ruang pembekuan merupakan tempat penyimpanan pangan beku dengan suhu dengan suhu antara -18°C sampai -25°C dan kelembaban 95 – 98%,” kata Elies Lasmini, S.Pt,M.Si, Widyaiswara Ahli Madya Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, Kementerian Pertanian RI dalam Pelatihan Butcher dan Sertifikasi Kompetensi bidang pemotongan daging (butcher) level yunior (SKKNI) yang diselenggarakan oleh FLPI IPB dan BBPKH Cinaragara, dan berlangsung pada 18-22 November dan 25- 27 November 2019 di Fakultas Peternakan IPB Bogor.

    Dalam penyimpanan dingin daging sapi, Elies memberi petunjuk praktis tata cara penangannya, yakni daging segar yang tidak akan digunakan lagi dibungkus menggunakan plastik film, yang berfungsi agar permukaan daging tidak keras karena temperatur yang rendah. Setelah itu, masuk ke dalam refrigerator atau chiller, dan ditempatkan pada bagian yang paling dingin. Prinsip first in first out (FIFO) harus diterapkan, sehingga penulisan tanggal daging masuk harus ada.

    Sedangkan untuk persyaratan memperoleh daging beku yang baik, Elies memaparkan, daging segar harus berasal dari ternak yang sehat, pengeluaran darah pada saat pemotongan harus sesempurna mungkin, periode pelayuan harus dibatasi, karkas atau daging dibungkus mengunakan material yang berkualitas baik, dan temperatur pembekuan setidak-tidaknya -18ºC atau lebih rendah. (kulinologi.co.id)

  • Prodi Teknologi Hasil Ternak IPB University Laksanakan Workshop Penyusunan RPS Mata Kuliah Berdasarkan Problem Based Learning

    Program Studi (Prodi) Teknologi Hasil Ternak (THT) Fakultas Peternakan IPB University menyelenggarakan workshop penyusunan Rencana Pembelajaran Semester (RPS) mata kuliah. Workshop ini dilakukan agar capaian pembelajaran pada beberapa mata kuliah di Prodi THT lebih berdasarkan problem based learning (PBL).
     
    Ketua Departemen IPTP, Dr Tuti Suryati dalam sambutannya mengucapkan terimakasih kepada narasumber yang telah bersedia hadir dan berdiskusi dengan dosen IPB University dari Prodi THT. Selain itu, ia juga memberikan semangat kepada semua dosen yang terlibat dalam acara ini agar Prodi THT dapat lebih maju dan semakin berkembang.
     
    “Kegiatan ini juga perlu dilakukan agar tercapai Indikator Kinerja Utama (IKU) 7, yaitu persentase mata kuliah S1 yang menggunakan metode pembelajaran pemecahan kasus (case method) atau pembelajaran kelompok berbasis proyek (team based project) sebagai bagian bobot evaluasi,” ujarnya.
     
    Hadir sebagai narasumber, Dr Aprihatiningrum Hidayati, Dosen Sekolah Tinggi Manajemen (STM) PPM Jakarta. Pada kesempatan itu, ia memaparkan materi tentang ‘Penulisan Kasus Bisnis untuk Pembelajaran Berdasarkan PBL sebagai Implementasi Merdeka Belajar - Kampus Merdeka (MBKM)’.
     
    Ia menekankan untuk memasukan kasus-kasus dalam kegiatan belajar mengajar, terutama praktikum, sehingga mahasiswa dapat melihat kasus yang tengah terjadi dan memberikan tanggapan dan solusi sesuai bidang keilmuannya. 
     
    “Para dosen juga dihimbau untuk menulis kasus yang terjadi di lapangan dan dijadikan sebagai bahan ajar kepada mahasiswa,” sebut dia saat pemaparan materi workshop yang digelar di Ruang Sidang Departemen IPTP, Fakultas Peternakan, IPB University.
     
    Selain itu, workshop ini juga merupakan rangkaian kegiatan untuk mengembangkan program studi dan didukung dengan dana hibah dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). 
     
    Pada sesi sharing session, kegiatan diisi oleh tiga narasumber dari Departemen IPTP IPB University, yaitu Prof Irma isnafia Arief (Mata Kuliah Diversitas Mikroba produk Hasil Ternak), Prof Niken Ulupi (Mata Kuliah Desain Ternak Monogastrik dan Satwa Harapan), dan Dr Zakiah Wulandari (Mata Kuliah Prinsip Teknologi Hasil Ternak) (ipb.ac.id)

  • Prof Anuraga Jayanegara Sebut Jurnal Adalah Corong Reputasi Akademik

    Jurnal ilmiah yang dimiliki perguruan tinggi kerap menjadi media diseminasi informasi hasil karya para peneliti dan akademisi untuk menimbulkan dampak secara nasional dan global. Saat ini, IPB University memiliki 69 jurnal ilmiah aktif, dengan sebaran 4 jurnal yang telah terindeks Scopus, 54 jurnal terakreditasi SINTA, sementara 15 lainnya belum terakreditasi.
     
    Jurnal yang belum terakreditasi, termasuk 3 jurnal yang baru dibentuk, kemudian mendapatkan pendampingan menuju akreditasi dari Direktorat Kajian Strategis dan Reputasi Akademik (DKaSRA) IPB University. Ada 10 pengelola dari 15 jurnal yang belum terakreditasi menghadiri kegiatan pendampingan (24/2) di Ruang Sidang Rektor 2, Gedung Rektorat Andi Hakim Nasoetion (AHN), Kampus IPB Dramaga, Bogor.

    Prof Anuraga Jayanegara selaku Direktur Kajian Strategis dan Reputasi Akademik IPB University dalam sambutannya menyebutkan bahwa bidang reputasi akademik yang berkaitan dengan jurnal ilmiah dapat mengacu pada tiga hal, yaitu kuantitas, kualitas dan kontinuitas.

    “Jadi tentunya target kami ingin memperbanyak jurnal-jurnal IPB University yang terakreditasi SINTA dan terindeks Scopus. Dari sisi kualitas, kami berusaha mendukung upaya-upaya jurnal yang sudah terakreditasi dan terindeks untuk bergeser ke tingkatan yang lebih tinggi lagi. Kemudian dari sisi kontinuitas, berkaitan dengan upaya-upaya yang akan dilakukan untuk menjaga keberlanjutan jurnal,” jelas Prof Anuraga.

    Menurutnya, tujuan dari kegiatan kali ini adalah untuk meninjau sejauh mana progress masing-masing jurnal, sehingga setiap pengelola jurnal semakin siap untuk mengajukan akreditasi SINTA.
     
    “Jurnal itu bukan hanya tentang publikasi. Perjurnalan itu merupakan corong dari reputasi akademik. Sumber daya yang ada perlu di enhance, termasuk berbagai fasilitas yang mendukung. Mohon dukungannya supaya kita semua saling bersinergi,” tutup Prof Anuraga.
     
    Asisten Direktur Bidang Reputasi Akademik, Drh Fitriya Nur Annisa Dewi, PhD, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan kick off di awal tahun dan harapannya akan ditindaklanjuti untuk menghasilkan luaran nyata di akhir tahun.

    Kegiatan pendampingan jurnal ilmiah menuju akreditasi SINTA menghadirkan Dr Iman Rusmana dan Sulistiyo, AMd sebagai narasumber. Agenda acara terdiri dari pemaparan materi terkait persyaratan akreditasi SINTA oleh Dr Iman yang kemudian dilanjutkan dengan presentasi oleh masing-masing pengelola jurnal terkait progress menuju pengajuan akreditasi. Para narasumber juga memberikan ulasan dan masukan terkait progress setiap jurnal, disertai diskusi yang sangat aktif (ipb.ac.id)

  • Prof Anuraga Jayanegara: Lamtoro dan Kaliandra Bantu Turunkan Produksi Gas Metana Pada Ternak Ruminansia

    Ternak ruminansia berkontribusi secara signifikan terhadap laju akumulasi gas metana di atmosfer yang terkait dengan efek pemanasan global. Kontribusi ini berasal dari fermentasi enterik yang terjadi di dalam rumen dan usus besar ternak ruminansia secara anaerobik. 

    “Secara global, ternak ruminansia memproduksi lebih dari 80 juta ton gas metana setiap tahunnya. Di Indonesia, sapi pedaging merupakan kontributor terbesar emisi gas metana dari sektor peternakan. Ini karena populasinya yang dominan di antara ternak ruminansia besar lainnya,” ujar Prof Anuraga Jayanegara saat Konferensi Pers Pra Orasi Ilniah Guru Besar IPB University, (16/9).

    Dalam paparannya, Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University ini mengatakan bahwa sekitar 6-14 persen dari energi pakan yang dikonsumsi ternak ruminansia, dikonversi menjadi gas metana. Proporsi tersebut semakin tinggi pada ternak yang mengkonsumsi pakan berserat tinggi yang umumnya didapati di berbagai negara tropis, termasuk Indonesia. 

    “Dengan demikian, upaya mitigasi emisi gas metana tidak hanya bermanfaat bagi konservasi lingkungan dalam menurunkan laju pemanasan global. Tapi juga sebagai upaya menurunkan energi yang hilang dari ternak sehingga juga menunjang terhadap peningkatan produktivitas ternak ruminansia,” imbuh Profesor Termuda IPB University ini.

    Dalam risetnya, Prof Anuraga menemukan bahwa polifenol yang terdapat pada tanaman dapat digunakan untuk menekan emisi gas metana. Ada korelasi negatif antara kadar polifenol berupa tanin dalam hijauan dengan emisi gas metana. 

    “Artinya, pakan ternak yang ditambahkan tanaman mengandung tanin (yang sudah dipurifikasi) dapat menurunkan metana. Baik tanin terhidrolisis maupun tanin terkondensasi berkontribusi dalam mitigasi gas metana,” jelas dosen IPB University di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan ini.

    Menurutnya, penggunaan dua persen tanin di dalam pakan dapat menurunkan emisi gas metana sebesar 5,3 persen secara in vivo pada ternak ruminansia. 

    “Polifenol atau tanin juga memiliki efek lain yang bermanfaat terhadap ternak ruminansia. Tanin dapat meningkatnya produktivitas ternak ruminansia melalui proteksi protein dari degradasi rumen. Senyawa ini juga menekan infeksi nematoda saluran pencernaan sehingga meningkatkan status kesehatan ternak,” terangnya.

    Ia menambahkan, tanin juga dapat mempertahankan kualitas pakan fermentasi (silase) dengan cara menghambat proteolisis dan deaminasi yang terjadi selama proses fermentasi. Dan mampu meningkatkan konsentrasi sejumlah asam lemak yang bermanfaat terhadap kesehatan manusia pada daging dan susu. Seperti conjugated linoleic acid (CLA), asam lemak omega-3 dan asam lemak tak jenuh ganda. "Tanaman yang bisa dimanfaatkan untuk ini adalah kaliandra dan lamtoro, " ungkapnya

  • Prof Dewi Apri Astuti: Pakan Lalat BSF Tak Kalah Berkualitas Dengan Pakan Ternak Impor

    Dalam menghadapi krisis pangan dan lingkungan, berbagai inovasi produk pakan alternatif mulai bermunculan. Lalat Tentara Hitam atau Black Soldier Fly (BSF) merupakan salah satu inovasi produk pakan yang kaya akan nutrisi. Potensi BSF amat besar terutama sebagai pakan ternak alternatif dan pengendali lingkungan. Mengingat 30 persen bahan pakan di Indonesia masih diimpor dan sulit dicari pengganti yang berkualitas sebanding.

    Untuk menggali lebih dalam mengenai potensi BSF beserta status kehalalannya, Asosiasi Profesor Indonesia (API) bersama dengan Dewan Guru Besar (DGB) IPB University menyelenggarakan Webinar "Hermetia Illucens: Peningkatan Nilai Ekonomi dan Lingkungan", (2/3).

    Prof Evy Damayanthi, Ketua DGB IPB University berharap hasil diskusi webinar tersebut dapat berguna sebagai penyusunan policy brief bagi pemerintah dalam menanggapi kebijakan yang ada.

    Sementara itu, Prof Dewi Apri Astuti, Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan menyebutkan bahwa potensi BSF sebagai pakan hewan amat besar. Kandungan nutrisi dalam BSF juga tinggi dan keunggulannya adalah amat mudah dibudidayakan serta terjamin ketersediaannya.

    Untuk mendapatkan kualitas BSF yang konstan, diperlukan media dengan bahan berkualitas misalnya limbah sawit.  Limbah sawit digunakan karena ketersediaannya baik dan amat mendukung pertumbuhan BSF.  Produk BSF berumur muda cocok bagi unggas karena kadar lemaknya rendah dan proteinnya cukup tinggi.

    “Yang harus jadi perhatian adalah BSF ini rendah akan kalsium, fosfor dan juga metionin dan lisin sehingga esensial bagi pakan unggas, namun juga tidak bermasalah bagi ruminansia. Yang menarik, BSF juga mengandung asam laurat yang tinggi dan memiliki fungsi khusus sebagai antimikrobial dan juga asam linoleat dan oleat yang tinggi. Dari kajian saya, ternyata pakan BSF juga dapat meningkatkan reproduksi atau kesuburan ruminansia yang lebih baik,” jelasnya.

    Bahkan, limbah frass atau hasil sisa media pemeliharaan BSF juga dapat dijadikan pakan ruminansia. Selain itu dapat juga dijadikan susu formula pengganti bagi anakan kambing, pakan kucing dan anjing, serta pakan burung berkicau. BSF juga dapat dimanfaatkan dalam biokonvesi limbah organik rumah tangga menjadi kompos. Caranya pun tergolong sederhana dan tanpa menggunakan bahan kimia.  

    Penerapan BSF juga dinilai akan mendorong penurunan biaya pengelolaan limbah padat di perkotaan, bahkan bernilai ekonomi.

    Bila memandang dari status kehalalannya, Prof Khaswar Syamsu, Guru Besar IPB University dari Fakultas Teknologi Pertanian yang juga Kepala Halal Science Center, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (HSC LPPM) IPB University, menyebutkan bahwa larva BSF telah ditetapkan fatwanya. Yakni fatwa No 24 Tahun 2019.

    Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) berpandangan bahwa perlu adanya penetapan fatwa tentang hukum mengonsumsi, membudidayakan, serta memanfaatkan BSF. Hal tersebut juga berkaitan dengan faktor keamanaan pangan dan kebersihan serta kualitas produk.

    Larva BSF tersebut termasuk dalam kategori hasyarat atau hewan melata kecil sehingga mengonsumsinya dianggap haram. Namun, bila dimanfaatkan bagi keperluan pakan hewan hukumnya boleh atau mubah.

    “Larva ini barangkali hanya boleh dimakan apabila sudah tidak ada alternatif maupun sumber pangan lainnya,” imbuhnya

  • Prof Dr Asep Gunawan: Tiga Tahun Lagi, Indonesia Punya Daging Domba Premium

    Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan berhasil menemukan marker genomik pada domba yang dapat menghasilkan daging domba premium. Dalam kurun waktu tujuh tahun penelitian, Prof Dr Asep Gunawan menemukan marker CYP2AP, LEPR dan CYP2EI yang membuat daging domba menjadi lebih empuk, bobot karkasnya lebih tinggi dan rendah kolesterol.

    Hal ini dipaparkan Prof Asep dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah Guru Besar, (26/11) yang digelar secara daring.

    Menurutnya, saat ini masyarakat cenderung mencari produk pangan yang dapat memberikan efek terhadap kesehatan atau disebut pangan sehat.

    “Adanya kecenderungan masyarakat saat ini enggan mengkonsumsi produk daging dikarenakan kandungan asam lemak jenuh dan kolesterol tinggi yang berkorelasi negatif terhadap kesehatan. Diperlukan diversifikasi protein hewani asal daging ternak dalam upaya menghasilkan produk pangan sehat sesuai dengan gaya hidup masyarakat masa kini. Upaya penyediaan pangan sehat asal ternak dapat dilakukan diantaranya dengan memaksimalkan sumberdaya genetik ternak lokal Indonesia,” ujarnya.

    Pengembangan produk pangan asal ternak dapat diarahkan untuk peningkatan produksi daging baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Secara kuantitas produksi daging didorong pada peningkatan pertambahan sifat produksi dan pertumbuhan. Seperti bobot badan, bobot potong, dan karkas. Secara kualitas, perbaikan produksi daging diarahkan menghasilkan produk pangan sehat yang dapat memenuhi preferensi konsumen, aman dan positif untuk kesehatan. Di antaranya perbaikan komposisi asam lemak, kadar kolesterol, off odor flavor (bau prengus pada kambing atau domba, bau amis pada bebek) dan sifat keempukan daging.

    “Dengan teknologi milenum berbasis generasi omics high-throughput RNA sekuensing, kami berhasil meningkatkan nilai tambah daging sebagai pangan sehat asal ternak. Secara umum, dalam kurun waktu tujuh tahun ini, kami telah menemukan penanda seleksi cepat berupa kandidat marker spesifik (CYP2A6, LEPR, dan CYP2E1) untuk menghasilkan daging domba IPB kualitas premium. Keunggulan dari daging Domba IPB kualitas premium ini dibandingkan dengan domba biasa adalah kaya akan kandungan asam lemak tak jenuh, rendah kolesterol,  memiliki off odor dan flavour (prengus) yang rendah, menghasilkan bobot potong dan karkas besar serta memiliki keempukan daging tinggi,” terangnya.

    “Melalui kandidat marker tersebut dapat diketahui secara cepat kualitas daging domba yang dihasilkan. Diharapkan produk daging ternak yang dihasilkan dapat memperbaiki mutu genetik ternak lokal sebagai penyedia pangan sehat yang dalam jangka panjang akan mampu menegakkan kemandirian dan pemenuhan protein hewani,” imbuhnya.

    Menurut Prof Asep, Domba IPB Premium ini akan diperbanyak. Sekarang skalanya masih skala laboratorium dan belum divalidasi pada lingkungan yang sebenarnya. Untuk mendapatkan kondisi yang stabil, Prof Asep mengatakan bahwa diperlukan pemeliharaan hingga lima generasi atau sekitar tiga tahun.
    “Dari 350 ekor domba yang kami pelihara, hanya ada 60 ekor yang sesuai dengan karakteristik yang kita inginkan. Ini nanti yang kita kembangkan. Untuk persoalan harga, karena ke depannya daging ini spesifik, marketnya juga spesifik, pasarnya juga tertentu yang menyesuaikan kebutuhan konsumen, maka tentu harga akan sedikit lebih mahal dari normal. Tapi tidak menutup kemunginan ada grade-gradenya,” terangnya (ipb.ac.id)

  • Prof Dr Niken Ulupi Bicara Sudut Pandang Ilmiah Haramnya Telur dari Binatang Haram

    Telur yang dihasilkan oleh binatang halal sudah jelas dan disepakati bahwa telur tersebut juga halal untuk dikonsumsi. Lalu bagaimana hukumnya telur yang dihasilkan oleh binatang yang haram dikonsumsi seperti ular, buaya, penyu, katak dan lainnya?

    Memang ada sebagian orang yang berpendapat bahwa telur dari hewan haram hukumnya suci. Tetapi Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa telur yang berasal dari binatang yang tidak halal, haram untuk dikonsumsi.

    Prof Dr Niken Ulupi, Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan mengulas secara ilmiah tentang telur pada Rapat Bersama MUI, pekan lalu.
     
    "Saya diminta oleh MUI untuk mengulas tentang telur secara ilmiah, jadi tidak dilibatkan secara langsung dalam memutuskan halal atau haramnya. Sebenarnya jenis kandungan gizi (protein, asam lemak, vitamin atau mineral) dalam telur dari hewan halal dan haram hampir sama komposisinya. Yang membedakan adalah konsentrasinya. Hal tersebut sesuai dengan kebutuhan perkembangan embrio dari spesies yang menghasilkannya. Oleh karenanya hal tersebut juga berpengaruh pada lama waktu yang dibutuhkan untuk proses pengeramannya," terang Prof Niken.

    Secara umum, semua telur memiliki struktur yang sama, yaitu kerabang, membran telur, putih telur (albumen), dan kuning telur (yolk) yang di dalamnya terdapat keping germinal.

    Dalam pemaparannya, Prof Niken menerangkan tentang telur penyu yang telah mendapatkan fatwa haram. "Kandungan kolesterol penyu itu tinggi. Jadi apabila ada yang bilang bahwa telur penyu itu menyehatkan, maka itu terbantahkan secara ilmiah. Telur penyu juga tidak memiliki cangkang yang keras sehingga berpeluang besar terkena kontaminasi kuman dari lingkungannya. Pada penyu, baik pada daging maupun telurnya ditemukan senyawa beracun PCB (Poly Chlorinated Biphenyl), dalam kadar 300 kali di atas ambang batas harian manusia (menurut WHO). Hal ini terjadi karena habitatnya tercemar merkuri maupun logam berat lainnya," tambahnya.

    Keputusan MUI memberikan fatwa haramnya telur dari binatang haram ini, masalahnya bukan hanya berdasarkan faktor keamanannya saja. Meskipun telur binatang haram yang dihasilkan oleh induk dan pejantan yang sehat dan berasal dari lingkungan hidup yang sehat, sebenarnya masuk kategori aman dikonsumsi, tetapi telur yang dihasilkan tersebut membawa materi genetik dari tetuanya (binatang haram). Maka tetap saja status telur tersebut adalah haram.

    "Telur yang dihasilkan dari tetua jantan maupun betina menurunkan materi genetiknya. Materi genetik inilah yang merupakan pertimbangan mendasar untuk memutuskannya. Selama telur itu mengandung materi genetik induknya, yang berasal dari binatang haram, maka tetap diputuskan sebagai produk yang haram" tutup Prof Niken (ipb.ac.id)

  • Prof Dr Ronny R Noor Bicara Artificial Meat, Benarkah Akan Jadi Masa Depan Kita?

    Menanggapi hebohnya pemberitaan terkait pemasaran daging buatan (artificial meat) dimana Singapura mengijinkannya secara komersil, Prof Ronny R Noor menyatakan bahwa isu daging buatan ini memang tidak dapat dikesampingkan.

    Menurut Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan ini, fenomena ini terkait erat dengan pemenuhan protein hewani yang menjadi masalah nyata di masa depan. Pada tahun 2050, diperkirakan penduduk dunia akan mencapai 9 milyar orang.  Dengan tingkat produktivitas yang telah dicapai saat ini, dunia hanya mampu memberi makan untuk sekitar 8 milyar orang.

    Menurutnya, di tengah tekanan peningkatan penduduk dunia, industri peternakan harus meningkatkan produksi daging  sekitar 65 persen di tahun 2020 untuk memenuhi kebutuhan daging dunia.  "Jadi memang sangat wajar jika pemenuhan akan daging ini harus dilakukan tidak saja melalui sistem peternakan komersil yang ada saat ini  namun juga melalui berbagai alternatif lain seperti misalnya daging buatan,” ujarnya.

    Prof Ronny menyatakan bahwa isu terkait daging buatan bukanlah sesuatu yang baru. Era daging buatan dimulai pada tahun 1998 lalu ketika Jon Vein mempatenkan daging buatannya yang dikembangkan di laboratorium dengan menggunakan teknik kultur sel dan jaringan untuk tujuan konsumsi manusia.

    Sejak saat itu daging buatan mendapat perhatian dan teknologinya mengalami perkembangan yang pesat. Bahkan di tahun 2009, majalah TIME menjuluki daging buatan sebagai terobosan besar.
    Pada tahun 2013 lalu, perhatian dunia terpusat pada pengumuman keberhasilan pembuatan burger berbahan daging buatan pertama yang ditumbuhkan dengan menggunakan kultur jaringan di laboratorium dengan total biaya penelitian dan pengembangan mencapai US $300.000.  
    Keberhasilan ini tentunya membawa imajinasi masyarakat bahwa ke depan kemungkinan daging buatan ini akan dapat menggantikan peran daging tradisional yang didapat dengan cara beternak.

    “Perkembangan teknologi daging buatan memang sangat pesat. Sebagai contoh di tahun 2015 Maastricht University melakukan konferensi internasional pertama yang khusus membahas perkembangan teknologi daging buatan ini,” imbuhnya.

    Di tahun 2018 lalu, salah satu perusahaan bernama Meattable juga menyatakan akan memproduksi daging buatan secara komersil yang dikembangkannya melalui teknologi kultur jaringan asal tali pusar ternak.  Melalui pengamatan perkembangan teknologi, daging buatan umumnya dapat dikategorikan dalam empat kelompok, yaitu daging alternatif (alternative meat) yang umumnya dibuat dengan menggunakan sumber protein dari tanaman dan jamur atau yang disebut juga dengan mycoprotein.
    Kelompok kedua dinamakan daging substitusi (meat substitute) atau dikenal juga dengan in vitro meat yang dibuat berbasis pengkulturan sel dan jaringan di laboratorium.
    Kelompok ketiga melibatkan rekayasa blueprint genetik ternak untuk menghasilkan daging dengan spesifikasi tertentu yang biasanya disesuaikan dengan keinginan konsumen ataupun kebutuhan kesehatan.
    Kategori keempat didapat dengan cara melakukan cloning dengan menggunakan teknologi somatic cell cloning. Yaitu menggandakan ternak dengan cara mencopy ternak untuk menghasilkan ternak lainnya tanpa melalui teknik perbuahan alami untuk memproduksi daging dengan spesifikasi dan kualitas tertentu.

    Dalam pemenuhan kebutuhan daging dunia ini, menurut Prof Ronny, harus dicari alternatif lain disamping apa yang sudah dilakukan saat ini, termasuk mencari alternatif sumber protein lainnya. Seperti protein asal tanaman, jamur, ganggang dan juga serangga yang kesemuanya memiliki kandungan protein yang tinggi yang bermanfaat bagi kesehatan manusia.
    Lebih lanjut Prof Ronny mengemukakan bahwa sangat wajar jika banyak kalangan yang berpendapat bahwa keberadaan daging buatan dapat mengurangi risiko kita tertular penyakit dari ternak. Namun demikian, tetap harus diperhatikan dampak positif dan negative dari keberadaan teknologi ini.

    "Secara teoritis proses pembuatan daging buatan memang memerlukan kontrol proses dan lingkungan yang sangat ketat dan berdampak pada pengurangan tingkat kontaminasi dan bakteri pathogen yang ditularkan melalui makanan seperti Salmonella dan E. Coli.
    Namun demikian dalam melakukan kultur sel dan jaringan, dampak negatifnya tidaklah dapat seratus persen dikontrol secara pasti karena melibatkan proses biologi yang sangat kompleks. Oleh sebab itu sesuatu yang berdampak negatif dapat saja terjadi walaupun prosesnya sudah dikontrol secara ketat, " jelasnya.

    Menurutnya, kekhawatiran sel mengalami modifikasi melalui proses yang dinamakan epigenetic tetap saja dapat terjadi selama proses pengkulturan jaringan dan dapat saja berdampak negatif pada metabolisme dan kesehatan manusia.
    Terkait dengan kemungkinan beredarnya daging buatan di Indonesia, Prof Ronny berpendapat bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa konsumen umumnya akan membeli daging dengan bentuk, warna dan tekstur yang sudah biasa dikonsumsi.  Oleh sebab itu akan menjadi tantangan tersendiri bagi produsen daging buatan untuk membuat daging buatan yang mirip dengan daging yang ada di pasaran.

    Tantangan lain yang akan dihadapi oleh daging buatan ke depan menurutnya adalah aturan dan sertifikasi yang harus secara jelas menyatakan bahwa daging buatan itu aman untuk dikonsumsi, tidak membahayakan kesehatan dan harus halal.

    Di pasaran, daging buatan harus dapat bersaing dengan daging tradisional dari segi penerimaan konsumen, rasa dan tekstur.  Sehingga menurutnya saat ini daging buatan berbasis protein tumbuhan masih sangat terbatas seperti misalnya untuk vegetarian.

    “Saat ini dunia peternakan yang lebih ramah lingkungan dan memperhatikan animal welfare memang menjadi keharusan.  Perkembangan teknologi peternakan ke depan mamang harus mengakomodasi isu ini,” jelasnya.

    Sebagai contoh, Uni Eropa di abad 21 mendatang akan menerapkan konsep agroecology dan industrial ecology dalam dunia peternakan. Melalui konsep ini, peternakan akan menggunakan hanya jenis ternak yang telah diseleksi dan dikembangkan selama ratusan tahun dan dinilai  cocok pada lingkungan peternakan dan juga sistem produksi yang akan diterapkan.
    Dengan visi baru ini diharapkan industri peternakan mendatang diharapkan akan lebih ramah lingkungan dan juga memperhatikan dengan baik animal welfare yang menjadi kunci industri peternakan masa depan.

    Arah perbaikan industri peternakan dalam menghasilkan susu, daging dan telur yang ramah lingkungan ini memang menjadi keharusan mengingat peternakan akan tetap menjadi tulang punggung dunia dalam pemenuhan akan protein hewani.
    Ke depan diperkirakan walaupun teknologi daging buatan akan terus berkembang dan tingkat penerimaan konsumen meningkat, namun peran daging tradisional tidak akan pernah tergantikan (ipb.ac.id)

  • Prof Dr Ronny R Noor Sebut Indonesia Bisa Berperan dalam Penerapan Teknologi Pengeditan Gen

    Prof Dr Ronny Rachman Noor, Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan, sebut Indonesia bisa berperan dalam Penerapan Teknologi  Pengeditan Gen (gene editing).

    Teknologi pengeditan gen (gene editing) merupakan teknologi baru yang diterapkan pada ternak  dan tanaman untuk keperluan peningkatan kualitas dan produktivitas pangan. Teknologi pengeditan gen (gene editing) merupakan tren teknologi  yang tidak dapat dihindari lagi.

    Di Indonesia teknologi ini sudah mulai diterapkan terutama pada tanaman pangan dan tingkat keamanan dan regulasinya sudah mulai didiskusikan dan dirumuskan sekitar tiga tahun yang lalu. Dan sampai saat ini masih dalam tahap pembahasan yang mendalam.

    “Bagi Indonesia, kemajuan dan perkembangan teknologi gen editing ini memang tidak dapat dihindari dan ke depan seharusnya Indonesia dapat berperan dalam pengembangan dan penerapan teknologi ini. Jika Indonesia terlambat mengantisipasinya, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi pasar produk pangan hasil teknologi ini,” ujarnya.

    Melalui teknik mengedit gen ini, Prof Ronny menyampaikan bahwa para ilmuwan secara teknologi dapat melakukan pengaturan kembali DNA tanaman maupun hewan untuk menghasilkan varietas baru. Terobosan baru di bidang Biologi Molekuler ini merupakan salah satu bidang ilmu yang paling dinamis sehingga hampir setiap saat ditemukan hal hal baru.

    Perkembangan bidang ilmu biologi molekular ini sangat dinamis dan cepat.  "Di era tahun 70 an misalnya, ditemukan teknologi bayi tabung dan tikus hasil rekayasa genetik, tahun 90 an menghasilkan domba kloning sel somatik,” jelasnya.

    Tahun 2003, melalui berbagai perkembangan teknologi ini, gen manusia berhasil dipetakan. Perkembangan yang sangat pesat ini ternyata tidak berhenti sampai di sini saja karena di tahun 2012 lalu ditemukan teknik pengeditan gen yang dikenal dengan CRISPR-Cas9 yang membuka kembali kotak pandora ilmu pengetahuan dan teknologi.

    Teknologi pengeditan gen ini tidak melibatkan teknik rekayasa genetik (genetic engineering) dengan cara mengintroduksikan materi genetik dari spesies yang berbeda, namun hanya melakukan perubahan dan pengaturan kembali gen suatu individu sebagaimana halnya teknologi yang selama ini telah lama diterapkan yaitu pemuliaan secara konvensional.

    “Teknologi pengeditan gen memang memungkinkan para ilmuwan secara akurat melakukan perubahan DNA yang memungkinkan dihasilkannya varietas tanaman dan ternak baru yang ke depan berperan besar dalam menciptakan produksi produksi pangan yang berkelanjutan,” tambahnya.

    Teknologi baru ini memungkinkan para pemulia tanaman dan ternak menghasilkan tanaman maupun ternak yang dapat bertahan di lingkungan ekstrim, marjinal dan tahan penyakit. Di samping itu, dengan menggunakan teknik pengeditan gen ini, dapat diproduksi pangan yang lebih sehat.
    Keberadaan teknologi baru ini memang memunculkan harapan baru akan kekurangan pangan dan ketahanan pangan dunia yang di tahun 2050 dunia dikhawatirkan tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan yang meningkat tajam.

    Berdasarkan asal usul DNA yang diedit, teknologi pengeditan gen dikategorikan sebagai teknologi yang berbeda dengan Rekayasa Genetik (Genetic Engineering) karena teknologi ini hanya melakukan pengaturan kembali DNA yang ada pada suatu individu, sedangkan rekayasa genetik melakukan pengaturan dan mengkombinasikan DNA yang berasal dari organisme yang berbeda.

    Kontroversi perbedaan antara rekayasa genetik dan pengeditan gen ini memang terus berlanjut, sehingga pada tahun 2018 lalu misalnya pengadilan di Eropa memutuskan bahwa kedua teknologi ini sama dan penerapannya di negeri Eropa harus berdasarkan prosedur yang sangat ketat.

    Bagi kalangan tertentu teknologi pengeditan gen ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak negatif dari teknologi ini pada manusia dan lingkungan.

    Akan tetapi Prof Ronny menyampaikan jika di analisis lebih dalam, maka teknologi pengeditan ini sebenarnya meniru teknik pemuliaan secara konvensional yang pada intinya menyeleksi tanaman dan ternak yang memiliki tingkat produktivitas yang tinggi dan juga dapat bertahan di lingkungan tertentu. Hanya saja bedanya jika pemuliaan konvensional melakukannya ini melalui rekayasa.

    Jadi pada intinya teknologi pengeditan gen ini masih erat hubungannya dengan hukum alam yang secara alami, perlahan namun pasti mempengaruhi tanaman dan ternak sehingga terjadi perubahan agar dapat bertahan di lingkungan yang selalu berubah.

    Teknologi pengeditan gen ini bahkan sudah digunakan dalam bidang pengobatan dan juga menimbulkan harapan besar sebagai salah satu teknologi terobosan untuk memecahkan masalah yang dihadapi di bidang pertanian yang terkait dengan keamanan pangan, perubahan iklim dan pertanian yang berkelanjutan.

    Sebagai contoh dengan menggunakan teknologi ini pemulia tanaman dan ternak dengan melakukan pengeditan gen, yang terkait langsung dengan ketahanan terhadap penyakit, dapat menghasilkan tanaman dan ternak yang tahan penyakit, sehingga dapat secara signifikan mengurangi penggunaan pestisida dan obat obatan yang tidak saja berdampak pada lingkungan namun juga pada kesehatan
    manusia.

    Penggunaan teknologi pengeditan gen ini tentunya akan berdampak besar pada pengurangan penggunaan antibiotik, pestisida dan secara langsung meningkatkan animal welfare dan tentunya menghasilkan pangan yang lebih sehat dan mengurangi limbah. Melalui teknologi ini masa simpan buah buahan, sayuran, produk peternakan dapat diperpanjang.

    “Kehadiran teknologi baru memang selalu menghadapi tantangan karena pasti ada pro dan kontranya. Meski tidak memasukkan gen baru karena hanya mengedit gen yang ada, namun tetap saja teknologi ini perlu dipagari oleh peraturan yang memadai agar dampak negatif nya di masa mendatang dapat diminimalisir,” tandasnya. (ipb.ac.id)

  • Prof Dr Ronny R Noor: Program Swasembada Daging Gagal Redam Gejolak Harga Daging

    Berita  tentang para pedagang daging sapi yang mogok jualan di wilayah Jabobetabek mulai hari Rabu sampai Jumat (20-22 Januari 2021) dengan alasan melonjaknya harga daging yang membuat omset penjualannya menurun drastis, kembali terulang.

    “Kalau diibaratkan seorang pasien yang sedang sakit, perdagingan nasional kita dapat dikatakan sedang mengidap kanker stadium satu. Artinya kita memang sedang sakit namun kalau ditangani dengan serius sakit tersebut masih dapat disembuhkan,” ujar Prof Dr Ronny Rachman Noor, Dosen IPB University dari Divisi Pemuliaan Dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan (IPTP-Fapet).

    Tertumpunya impor sapi dari Australia dengan jumlah yang demikian besar menurutnya telah lama membuat terlena semua pihak. Pola pemikiran instan untuk mencari untung sesaat dan kemudahan mencari solusi, sehingga sebagian pihak yang terlibat di dalam dunia peternakan sapi ini enggan untuk keluar dari kotak pemikiran tradisionalnya dan menjadikan bangsa ini kecanduan impor.  Puncak impor sapi dari Australia yang pernah mencapai setara dengan 1 juta ekor sapi hidup mencerminkan besarnya gap antara produksi dan permintaan daging nasional. Oleh sebab itu, program swasembada daging nasional, yang sampai saat ini masih belum tercapai, lebih tepat diartikan sebagai kecukupan daging nasional yang di dalamnya ada komponen produksi daging dalam negeri dan komponen impor daging.

    Impor sapi dari Australia dengan jumlah yang sangat besar dan sudah dilakukan dalam kurun waktu yang sangat lama ini sebenarnya tidak saja membuat Indonesia tergantung pada Australia tapi Australia juga tergantung dengan Indonesia.

    “Syarat utama terjadinya impor dari negara lain untuk mengurangi ketergantungan impor sapi dari Australia adalah merevisi isi larangan yang tercantum dalam peraturan dan undang-undang yang sekarang masih diberlakukan. Dengan kemajuan teknologi seperti misalnya karantina terbatas dan pengembangan dan penerapan sistem biosekuriti yang baik, tentunya kita tidak harus melarang secara total impor sapi dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku,” ujarnya.

    Menurutnya, pemasalahan sapi ini memang kompleks namun apabila ada keinginan kuat, benang kusut ini dapat diurai untuk dicarikan jalan pemecahannya. Salah satu hal yang harus segera dilakukan adalah penyederhanaan tata niaga sapi dan daging. Pengangkutan sapi dari pulau Bali dan Lombok ke wilayah Jabodetabek lewat darat, melewati terlalu banyak titik pungutan restribusi, baik yang legal maupun yang illegal. Pembelian kapal pengangkut ternak dan produk pertanian lainnya yang sudah dilakukan, perlu diintensifkan penggunaannya untuk memotong rantai yang panjang ini.

    Penunjukan Bulog sebagai aktor utama untuk mengimpor sapi diharapkan dapat mengontrol gejolak harga jual daging sapi, disamping itu Bulog dapat difungsikan sebagai penjaga stok sapi nasional.

    Lebih lanjut Prof Ronny mengatakan, pengalaman menunjukkan bahwa kuota impor yang diberikan oleh pihak tertentu selama ini terbukti tidak dapat mengendalikan harga daging di pasar.  Bulog dalam hal ini harus berfungsi sebagai regulator harga daging sapi sekaligus sebagai stabilisator pasokan daging. Dalam mengemban tugas yang cukup mulia ini, pemerintah dan Bulog harus menghitung secara cermat kebutuhan impor sapi untuk menutupi kekurangan pasokan daging dari sapi lokal.

    “Keberhasilan Bulog dalam menjaga stabilitas harga beras dan cadangan pangan nasional diharapkan dapat juga dilakukan untuk komoditas daging sapi,” imbuhnya.

    Dengan perhitungan yang cermat, maka kekhawatiran yang menghinggapi pikiran sekelompok orang akan terkurasnya sapi betina produktif tidak terjadi. Apalagi jika didukung oleh kebijakan pemerintah untuk mengimpor sapi betina produktif untuk dijadikan indukan yang akan dikembangkan oleh peternak rakyat.

    Menurutnya ada satu hal yang sangat jarang dibahas dalam kebijakan impor daging sapi ini, yaitu pelemahan nilai rupiah kita dalam kurun wakti 35 tahun terakhir. Sehingga kita cenderung salah kaprah menyimpulkan bahwa harga daging terus melambung tinggi semata-mata terkait dengan permasalahan daging impor dan pedagingan nasional.

    “Jika kita analisa, perubahan harga daging sapi di Australia sebagai pemasok utama daging impor, maka pergeseran harga daging dalam kurun waktu 30 tahun terakhir sangat kecil bahkan relatif stabil. Harga daging kualitas biasa kisarannya antara AUD$20-28 setiap kilogram (tergantung kualitas dagingnya). Coba bandingkan nilai tukar rupiah sekitar 30 tahun lalu dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar Australia sekarang.  Nilai tukar rupiah di era tahun 1980-an hanya sekitar Rp 3000 untuk setiap satu dolar Australia, namun sekarang sudah mencapai Rp 9000. Artinya peningkatan harga daging di Indonesia salah satu penyebab utamanya adalah pelemahan nilai rupiah,” jelasnya.

    Hal yang perlu diingat juga adalah konsumen daging tentunya memiliki keterbatasan kemampuan daya belinya. Jika harga daging terlalu tinggi, konsumen akan mengalihkannya kepada jenis daging lainnya seperti ikan, ayam dan telur yang suplainya dapat sepenuhnya dipenuhi dari dalam negeri. Pada situasi dimana daya beli daging sapi berkurang, harga daging akan turun. Pertemuan antara kemampuan daya beli konsumen dan harga daging yang realistis inilah yang perlu diupayakan oleh pemerintah.

    "Kita harus berpikir lebih realistis bahwa permasalahan gejolak dan tingginya harga daging di Indonesia sebagian besar bersumber dari dalam negeri bukan dari impor. Keterbatasan lahan, masalah perbibitan  dan rendahnya produktivitas sapi lokal yang menyebabkan produksi daging nasional belum mampu memenuhi tekanan permintaan daging yang terus meningkat tajam dan  bukan hal yang gampang untuk diselesaikan.
    Saat ini daging impor hanya ditujukan untuk memenuhi kekurangan pasokan daging dalam negeri yang diperkirakan telah mencapai 20-25 persen dari kekurangan pasokan daging secara nasional, " jelasnya.

    Ia mengurai, hal lain yang harus kita sadari bahwa pemenuhan kebutuhan protein hewani ini bukan hanya berasal dari daging sapi saja. Daging kerbau, domba, kambing, ayam dan telur ayam serta protein yang berasal dari laut seperti ikan dapat dijadikan andalan. Oleh sebab itu, menurutnya pemerintah perlu lebih mendorong upaya diversifikasi sumber protein hewani

    "Mengubah kebiasaan dan selera itu memang bukan hal yang gampang dilakukan, namun jika sosialisasi gencar dilakukan, bukan tidak mungkin daging kerbau, misalnya, secara perlahan akan diterima oleh masyarakat luas. Impor sapi memang mau tidak mau harus dilakukan karena kebutuhan akan daging sapi kita masih melebihi suplai daging, namun tentunya impor harus dilakukan secara terbatas dan tidak hanya dari satu dua negara saja, " urainya.

    Pengurangan impor memang pada awalnya akan mengguncang harga dan pasokan daging, namun dalam jangka panjang akan dapat membuat bangsa ini menjadi mandiri dan tidak malas untuk terus berupaya memajukan dunia peternakan.

    “Negara Indonesia memang tidak harus menjadi negara anti impor, namun membiarkan negara ini menjadi negara yang kecanduan impor akan selalu diingat oleh anak cucu kita sebagai suatu tindakan yang menunjukkan ketidakmampuan kita menjadikan negara ini sebagai negara yang berdaulat pangan. Kemandirian pangan merupakan harga diri bangsa, oleh sebab itu langkah nyata harus segera dilakukan, dalam kasus sapi ini retorika tidak diperlukan lagi,” tuturnya.

    Ia menandaskan, para insan yang bergerak dalam bidang peternakan harus mulai keluar dari pola pikir tradisionalnya. Keberpihakan pemerintah pada dunia peternakan melalui kebijakan fasilitasi modal, penyederhanaan aturan, bantuan teknik peternakan dan investasi jangka panjang dalam membangun pembibitan sapi sangat diperlukan untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa mandiri pangan

  • Prof Erika Budiarti Laconi, Wakil Rektor Perempuan Pertama di IPB University Sebut Peran Penting Perempuan dalam Pembangunan Pertanian Indonesia

    Prof Erika Budiarti Laconi, Wakil Rektor Bidang Inovasi dan Bisnis IPB University menyebutkan peran Kartini sebagai sosok yang inspiratif. Kartini telah mendorong para perempuan Indonesia untuk maju dalam pendidikan.  Perempuan Indonesia harus senantiasa meningkatkan kemampuan dan keilmuannya.
    “Perempuan Indonesia mesti cerdas wawasannya dan berpandangan luas. Tidak ada pemberdayaan yang lebih kekal berkelanjutan tanpa melibatkan perempuan. Bahkan, sosok perempuan menjadi kunci dalam keberhasilan pasangan dan anak-anaknya,” ujarnya dalam dalam Webinar ProPakTani dengan tema istimewa memperingati Hari Kartini “Wanita Tangguh Dalam Pembangunan Pertanian dan Tanaman Pangan”, (21/04).

    Menurut Prof Erika, pentingnya perempuan dalam dunia pendidikan dan kemajuan bangsa tidak bisa dipungkiri lagi. Ia juga turut bangga dapat menjadi perempuan pertama sebagai Wakil Rektor IPB University. Tugas yang diembannya menjadikannya ingin terus berkiprah dan berkontribusi dalam pembangunan nasional terutama dalam sektor pertanian.

    Ia mengajak para perempuan Indonesia untuk menjadi kaum yang cerdas dan pintar melalui pendidikan. Perempuan juga harus sehat agar dapat memajukan pertanian. Ditambah lagi harus cantik, baik hati, pikiran, perbuatan dan etikanya.

    “Pendidikan merupakan barometer bagi perempuan untuk memenuhi ketiga kategori tersebut,” terangnya.  Sudah diakui, lanjutnya, bahwa perempuan memiliki multi peran dalam berbagai bidang kehidupan. Peran perempuan sebagai anak, isteri, ibu dan sebagai masyarakat. Perempuan harus berani dan bertanggung jawab menjalankan tugas bersama dan sejajar dengan laki-laki. Sebagai tiang negara, perempuan juga mesti turun ke lapangan untuk mendongkrak produk pertanian agar lebih maju.

    “Peran perempuan sebagai ibu dititikberatkan sebagai pendidik utama. Pendidikan bermula dari keluarga, di sinilah ibu berperan. Bila pendidikan itu ada di rumah melalui tangan dingin seorang ibu dengan kasih sayang, saya yakin generasi ke depan adalah generasi milenial yang penuh kasih sayang dan etika,” katanya.

    Untuk itu, katanya, pendidikan sangat penting bagi ibu agar dapat mendampingi anak sebagai generasi digital. Ibu harus mampu terus memperluas wawasannya agar tidak tertinggal di era digital ini.

    “Pendidikan perempuan di Indonesia di atas rata-rata Asia dan dunia. Sebanyak 56 persen mahasiswi di perguruan tinggi dan tingkat kecepatan penyelesaian studi ada pada mahasiswi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak perempuan yang berdaya dengan pendidikan maka akan semakin banyak perempuan yang mengakselerasi pembangunan Indonesia,” imbuhnya.

    Ia menambahkan, seorang ibu memiliki peran penting untuk menciptakan rumah sebagai tempat yang nyaman bagi tumbuh kembang anak.
    “Saya percaya bahwa pendidikan yang diberikan ibu akan meningkatkan kreativitas anak karena telah terasah sejak dini,” katanya. 

    Ia menambahkan bahwa begitu banyak tokoh perempuan Indonesia yang menginspirasinya. Di dalam bidang pendidikan, ia menjadikan Prof Siti Baroroh Baried, profesor perempuan pertama di Indonesia pada tahun 1964 sebagai inspirasi utamanya. Sosok Prof Siti telah mendongkrak semangatnya untuk menjalankan tugasnya sebagai wakil rektor perempuan pertama di IPB University (ipb.ac.id)

  • Prof Irma Isfania Bagikan Tips Sajikan Yoghurt Probiotik dalam Berbagai Menu

    Dalam masa Work from Home (WFH) dan Study from Home (SFH) ini tentunya kita ingin memberikan makanan terbaik yang menyehatkan untuk keluarga. Apalagi dengan ancaman virus COVID-19, kesehatan tubuh kita perlu ditopang oleh makanan sehat yang menunjang imunitas tubuh. Salah satunya Yoghurt Probiotik.

    Pakar Yoghurt Probiotik yang juga dosen IPB University dari Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Prof Dr Irma Isnafia Arief SPt, MSi berikan tips menyajikan yoghurt probiotik dalam berbagai menu yang sehat dan tidak membosankan untuk keluarga.

    “Yoghurt probiotik bisa disajikan dalam berbagai menu. Contohnya yoghurt drink, es buah yoghurt, salad yoghurt probiotik, puding yoghurt probiotik, roti vla yogurt probiotik, cereal yoghurt probiotik, es pisang ijo yoghurt probiotik, kopi drip yoghurt probiotik, es krim yoghurt probiotik. Es krim ini bisa dibuat sendiri di rumah menggunakan alat ice cream maker,” ujarnya.

    Penyajian dalam berbagai menu ini dapat divariasikan setiap hari sehingga keluarga semakin suka dan tidak bosan mengkonsumsi yoghurt probiotik. Selain itu, seberapa wanita juga sangat menginginkan kulit wajah yang cerah dan glowing apalagi saat WFH.

    “Supaya tetap terlihat cantik maka yoghurt dapat dijadikan masker yang secara teratur diulaskan ke wajah. Selamat menikmati Yoghurt Probiotik yang menyehatkan dan menyajikannya untuk keluarga tercinta,” imbuhnya (ipb.ac.id)

  • Prof Irma Isnafia: Tingkatkan Imunitas Hadapi COVID-19 dengan Konsumsi Yoghurt Probiotik

    Di masa pandemi COVID-19 masyarakat dituntut untuk melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat. Salah satu cara agar terhindar dari COVID-19 adalah dengan cara menjaga stamina tubuh tetap kuat. Berbagai cara dilakukan untuk menjaga stamina tubuh tetap kuat, mulai dari berolahraga, berjemur serta konsumsi makanan beragam dan bergizi.

    Lalu, apakah anda pernah mencoba minum yoghurt probiotik? Nah minuman ini ternyata sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Guru Besar IPB University sekaligus Ketua Departemen llmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Prof Dr Irma Isnafia Arief, SPt, MSi, ajak masyarakat untuk mengkonsumsi Yoghurt Probiotik.

    Yoghurt Probiotik ini merupakan hasil inovasi Prof Irma. Menurutnya yoghurt ini mengandung bakteri baik untuk saluran pencernaan dengan populasi bakteri baik lebih dari 1 juta/mililiter. Jika meminum sehari 100 mililiter Yoghurt Probiotik, maka manfaat kesehatannya adalah dapat meningkatkan imunitas tubuh, mampu menjaga stabilitas tekanan darah, mengurangi diare dan menekan bakteri jahat di saluran pencernaan.

    “Yoghurt probiotik juga merupakan minuman pendamping yang baik untuk penderita penyakit thypus, diabetes dan hyperkolesteromia karena beberapa jenis bakteri probiotik terbukti mampu mempunyai sifat fungsional tersebut. Minuman sehat selama masa Work From Home (WFH) mampu ikut menjaga kesehatan keluarga tercinta,” ujarnya. (ipb.ac.id)

  • Prof Jakaria Paparkan Peluang Sapi Bali Jadi Daging Premium

    Prof Jakaria, Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University paparkan keunikan Sapi Bali dalam Konferensi Pers Pra Orasi Guru Besar, (24/11). Dalam paparannya, Prof Jakaria menyebutkan bahwa dari jumlah populasi sapi nasional, Sapi Bali berkontribusi sebanyak 26.5 persen. Populasi utamanya tersebar di Pulau Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan dan Lampung.

    “Dilihat dari jumlah penduduk Indonesia (272 juta jiwa), kebutuhan daging nasional masih belum dapat dipenuhi dan bahkan masih defisit sebesar 39 persen. Selain itu, secara nasional, kebutuhan bibit masih sangat tinggi (7.745 ekor). Baru ada sekira 2.409 ekor bibit bersertifikat yang dihasilkan,” jelasnya.

    Ia menambahkan, upaya peningkatan produktivitas sapi pedaging di Indonesia terus dilakukan dengan berbagai pendekatan seperti peningkatan kualitas dan kuantitas pakan berbasis bahan baku lokal, manajemen pemeliharaan, manajemen reproduksi, dan penanganan serta pencegahan penyakit. Selain itu, upaya peningkatan kualitas juga tidak kalah pentingnya yaitu melalui peningkatan terhadap mutu genetik khususnya Sapi Bali.

    “Arah pengembangan dan pemanfaatan Sapi Bali ke depan dapat difokuskan sebagai penghasil daging premium. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendekatannya bisa berbasis pada pemuliaan konvensional dan non-konvensional. Yaitu menggunakan data genom yang telah diperoleh, memperkuat kerjasama antar akademisi, pebisnis, pemerintah, masyarakat dan media. Selain itu, melibatkan bidang ilmu lain terutama teknologi multi omik (genomik, trankriptomik, proteomik dan metabolomik),” tuturnya.

    Menurutnya, hasil analisis genom yang ia peroleh dalam risetnya dapat menjadi rujukan dalam strategi pemuliaan Sapi Bali ke depan. Gen-gen yang berasosiasi dengan sifat pertumbuhan dan kualitas daging dapat dijadikan sebagai kandidat marka genetik atau marker assisted selection (MAS).

    “Saat ini, pemanfaatan teknologi genomik telah diterapkan di negara lain sebagai salah satu metode dalam menentukan bibit. Contohnya Sapi Limousin dan Sapi Belgian Blue,” tambahnya (ipb.ac.id)

  • Prof Muladno Sebut Pentingnya Roadmap Kebijakan Sektor Peternakan Sapi dan Peran Peternak Muda Milenial

    Sudah menjadi rahasia umum bila angka konsumsi daging masyarakat Indonesia masih jauh di bawah negara-negara lainnya. Rendahnya angka konsumsi daging dapat dipastikan terjadi karena pasokan daging yang kurang mencukupi kebutuhan masyarakat. Pemerintah sendiri telah menerapkan kebijakan impor daging yang membawa permasalahan lainnya yakni dapat mengancam keberlangsungan peternak kecil.

    Prof Muladno, Guru Besar IPB University membahas mengenai pentingnya roadmap kebijakan sektor peternakan sapi dan peran strategis peternak muda dalam Seri Webinar  Kesatriaan Entrepreneur  pertamayang mengambil tema “Tantangan Alih Generasi Peternak Muda Menuju Swasembada Daging Sapi Nasional”, Senin (26/04).

    Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University ini menyebutkan bahwa bisnis sapi pedaging di Indonesia khususnya pada bidang pembibitan masih dikuasai oleh pemerintah. Sedangkan peternak kecil mayoritas berbisnis pada bidang pembiakan.

    Bisnis sapi pedaging dikuasai sebagian besar oleh perusahaan feedlotter dengan jenis sapi impor  khususnya dari Australia. Ribuan sapi impor tersebut rata-rata hanya dipelihara hingga empat bulan sebelum dipotong untuk dikonsumsi.  Sementara untuk peternak kecil, sapi yang dipelihara (hanya berjumlah sekitar tiga hingga sepuluh ekor) kemudian dipotong langsung ke rumah pemotongan hewan atau dijual melalui pengepul.
    Fakta yang tidak dapat dipungkiri yakni masih banyak peternak rakyat yang membiakkan sapi campuran yakni sapi bakalan dan indukan. Sapi jantan tidak banyak dijual sebagai bakalan namun hanya dijadikan kurban. Fakta ironis lainnya yakni banyak sapi indukan produktif yang turut dipotong walaupun para peternak tahu bahwa hal tersebut menyalahi aturan.

    “Dengan alasan kekurangan pasokan daging, pemerintah memberlakukan kebijakan impor daging beku. Namun demikian daging beku tersebut seharusnya hanya digunakan sebagai bahan baku pangan bukan dikonsumsi langsung dari pasar. Bagi industri pangan, kebijakan daging beku impor harusnya dimanfaatkan untuk menghasilkan produk sekunder yang relatif lebih murah,” jelasnya.

    Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih cermat dalam memberlakukan kebijakan. Ia berpendapat bahwa impor sapi yang baik adalah impor sapi bakalan yang produktif, bukan yang bersifat konsumtif. Hal tersebut juga patut dipahami oleh peternak-peternak muda.
    Generasi milenial memiliki peran dan peluang yang besar agar sukses sebagai peternak. Generasi milenial dikenal atas kreativitas dan kemajuan teknologi tanpa batas. Keunggulan tersebut dapat memberikan cara-cara dan kesempatan yang bagus serta efisiensi tinggi dalam sektor peternakan.

    Dengan peluang yang ada, ia mengingatkan pada generasi milenial agar turut membantu peternak rakyat yang sebagian besar tinggal di pinggiran supaya dapat bertahan hidup melalui komunitas yang terkonsolidasi. Mengingat 98 persen sapi di Indonesia dimiliki oleh komunitas peternak rakyat, sehingga perlu dijaga dan dibimbing misalnya melalui Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) yang diprakarsai oleh Prof Muladno.  

    “Kaum muda dapat berperan dengan bersinergi pada komunitas peternak untuk membangun semangat saling menguatkan terus menggalakkan SPR yang sudah terkonsolidasi. Selain itu membesarkan dalam kebersamaan, membangun koperasi yang benar (bottom up), bermitra dalam bisnis dengan komunitas peternak rakyat, ataupun menjadi pengusaha secara kolektif maupun individual,” imbuhnya (ipb.ac.id)

  • Prof Muladno Ungkapkan Penerapan Sekolah Peternakan Rakyat Untuk Atasi Oversupply Perunggasan

    Diskusi terkait dengan kebijakan pangan selalu menimbulkan perdebatan panjang, khususnya mengenai urgensi swasembada pangan di Indonesia. Isu terkait swasembada daging masih terus bergulir baik terkait dengan daging sapi maupun unggas. Namun demikian, daging unggas terutama ayam negeri sudah mengalami surplus. Masalahnya, daging unggas rentan mengalami oversupply sehingga pengelolaannya agak sulit.  

    Menanggapi hal tersebut, dibutuhkan suatu kajian mendalam untuk membahas pengendalian oversupply perunggasan. IPB University bekerja sama dengan PATAKA (Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi ) dan AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia) menggelar Talkshow Daring Seri-4 dengan topik “Kebijakan Berbasis Evidence dalam Pengendalian Oversupply Perunggasan”,  (25/03).
    Talkshow tersebut menghadirkan beberapa ahli di bidang perunggasan dan juga pihak pemerintah.

    Dalam kesempatan tersebut, Prof Muladno Basar Guru Besar IPB University dari Fakultas Perternakan turut menyampaikan penerapan konsep Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) yang dinilai akan membantu para peternak kecil untuk bertahan hidup di industri perunggasan.  Ia menyebutkan bahwa secara makro, kondisi industri perunggasan saat ini cukup mengkhawatirkan. Penurunan harga ayam hidup telah berlangsung sekitar dua tahun terakhir dan makin diperparah oleh pandemi COVID-19. Di sisi lain, harga daging ayam tetap tinggi sehingga menyebabkan oversupply. Hal tersebut mengindikasikan ada sesuatu hal yang janggal sehingga peternak kecil sangat dirugikan.

    Dikatakannya, penampungan live bird untuk menyimpan unggas dalam bentuk hidup maupun beku juga belum ada kesiapan yang jelas. Padahal dengan adanya penampungan live bird akan membantu menurunkan harga daging ayam di pasaran.

    “Sehingga perlu ada kebijakan pemerintah yang lebih komprehensif, namun tidak harus selalu bergantung pada pemerintah dan juga bias ke peternak rakyat untuk tegaknya keadilan ekonomi,” ungkapnya.

    Berdasarkan data supply dan demand per tahun 2021, kejadian oversupply sudah hampir menyentuh setengah milyar ekor. Untuk membantu mengatasi masalah tersebut dan mendongkrak kesejahteraan peternak rakyat, ia menekankan pentingnya pengimplementasian SPR sebagai salah satu jalan yang dinilai efektif. Kegiatan tersebut berguna untuk membangun sinergi antara pemerintah, koperasi, perguruan tinggi (IPB University) dengan mitra bisnis yang kini masih dalam tahap perintisan.  

    “Jadi semua harus terikat, komitmen perguruan tinggi sebagai penyedia IPTEK serta menjaga independensi dan kredibilitas, sedangkan pemerintah kabupaten menjamin regulasi yang kondusif, lalu pemerintah pusat selalu mendukung kebutuhan koperasi untuk tetap bersatu, asalkan koperasi selalu komitmen,” urainya.

    Dengan begitu, menurutnya peternak kecil dapat mudah untuk menjalin kerjasama dengan berbagai vendor serta melakukan kegiatan  budidaya dan farm estate. Sehingga ada kesempatan untuk mengembangkan ekonomi, pendidikan dan rekreasi dengan dikawal oleh empat instansi. Sedangkan produk yang dihasilkan dapat berbentuk trading maupun langsung dijual ke pasaran.

    Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang diwakili Koordinator Unggas dan Aneka Ternak, Iqbal Alim menyebutkan bila pemerintah sendiri telah berupaya mengatasi oversupply dengan jalan cutting atau penyesuaian produksi. Pelaksanaan cutting tersebut dilakukan melalui pengawasan untuk memastikan pelaksanaannya sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP).

    Selain itu, dikatakannya, upaya perlindungan peternak UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) dilakukan dengan merujuk kepada Permentan No. 13 Tahun 2017 tentang Kemitraan Usaha Peternakan. "Dengan didukung model kerjasama yang bersifat saling ketergantungan dimana perusahaan terintegrasi memberikan jaminan terhadap kelompok peternak untuk menciptakan harga pasar yang sesuai, " jelasnya (ipb.ac.id)

  • Prof Nahrowi Rekomendasikan Teknologi Ensilase pada Jagung sebagai Hijauan Pakan

    Prof Nahrowi Guru Besar Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB University mengungkapkan permasalahan pakan sapi ke depan adalah pada teknologi pasca panennya.
    Ia menyebutkan harus ada strategi pengelolaan hijauan pakan untuk ketahanan pakan ternak ruminansia. Terlebih semakin hari kebutuhan pakan ternak kian meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk. Namun karena terdapat isu akses dan harga, pemakaian bahan pakan di industri ikut menurun karena kurangnya ketersediaan.

    Menurutnya, formulator memerlukan strategi khusus untuk mencari bahan pakan jagung sebagai hijauan. Harus diwaspadai juga bahwa jagung sebagai pakan ternak harus menguntungkan bagi petani. "Saya jelaskan bahwa ini perlu aturan, perlu arahan agar nanti jangan semuanya ke arah hijauan karena kebutuhannya memang besar,” jelasnya dalam Webinar Propaktani “Budidaya Jagung Tebon (Panen Muda) Sebagai Pakan Hijauan Sapi” yang diadakan oleh Kementerian Pertanian RI (29/11).

    Ia menjelaskan bahwa harus ada upaya harmonisasi agar petani dan peternak sama-sama untung. Jagung merupakan sumber pakan yang sangat berkualitas namun terjadi penurunan penggunaannya. Kunci pemakaian bahan pakan yang harus diperhatikan yakni jaminan kualitas, ketersediaan dan jaminan harga. Peternak akan lebih tahan banting bila menggunakan bahan pakan lokal ketimbang impor.

    “Pertama ketersediaan dulu. Bagaimana kita bisa menyediakannya secara berkesinambungan dengan harga yang bersaing dan kualitas di setiap peternak itu punya standar untuk membeli jagung tadi,” sebutnya.
    Menurutnya, jagung sebagai bahan hijauan pakan menjadi salah satu sumber protein dan energi yang baik bagi ruminansia. Di Indonesia saat ini, masih miskin produk hijauan pakan yang memiliki kandungan nutrisi yang cukup baik.

    “Produksinya masih mengandalkan musim sehingga harus ada teknologi penyimpanan yang baik. Belum lagi kondisi pengolahan pasca panen di Indonesia masih banyak perbaikan. Terutama bila bisnis hijauan pakan Indonesia ingin maju,” ujarnya.
    Ia menambahkan teknologi pasca panen secara tersistem harus segera diterapkan. Mengingat teknologi pengolahan hijauan masih belum efisien. 

    “Maka dari itu, saya rekomendasikan untuk hijauan pertama kita jadikan silase karena biasanya diproduksi di musim hujan. Bila sudah memasuki musim panas akan kita keringkan. Saya menilai teknologi ensilase yang lebih ekonomis,” ujarnya.
    Harga dan kualitas hijauan, lanjutmya, juga masih bervariasi terutama pada musim kemarau. Perlu untuk mencari jalan agar permasalahan ini tidak terus terjadi. Rantai pasok dan sistem transportasi juga masih sembarangan sehingga harga cenderung tidak stabil. Begitu pula dengan manajemen penyimpanannya yang kurang baik.

    Padahal, imbuhnya, pemberian pakan yang berkualitas sangat mempengaruhi produktivitas dari ruminansia. Hal ini menyebabkan produksi daging potong dan susu Indonesia masih rendah.
    “Kita perbaiki dengan penerapan teknologi pasca panen, penerapan teknologi ensilase. Ini teknologi yang sangat saya rekomendasikan untuk hijauan. Jika teknologi ini sudah semua (diterapkan) maka kita bisa menyediakan pakan dengan baik,” tambahnya. (ipb.ac.id)

    Menurutnya, teknologi ensilase tidak memerlukan investasi yang besar. Namun teknologi ini belum berkembang di Indonesia padahal dapat diterapkan pada produk jagung. Dukungan terhadap program dari Direktorat Pakan dengan membuat bank pakan di berbagai wilayah juga penting. Bank pakan ini dapat menjadi sentra produksi pakan. Didukung juga dengan digitalisasi sistem logistik dan informasi pakan

  • Prof Nahrowi Ungkap Fakta Permasalahan Pakan

    Himpunan Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (Himasiter) Fakultas Peternakan (Fapet) IPB University melaksanakan webinar dengan tema “Mengulik Teknologi Pakan yang Dapat Menjamin Keamanan Ternak,” 23/5. Webinar ini menghadirkan Prof Nahrowi, Pakar Teknologi Pakan dari IPB University.

    Melalui webinar tersebut, Prof Nahrowi memberikan materi tentang strategi pengolahan pakan yang memiliki kadar air tinggi untuk ternak ruminansia. Dirinya juga menyampaikan kondisi serta fakta-fakta di lapangan.

    “Fakta-fakta di lapangan terkait dengan permasalahan pakan harus saya sampaikan agar semua peserta yang mengikuti webinar sadar permasalahan pakan yang sedang kita hadapi,” Jelas Prof Nahrowi.

    Dosen IPB University dari Fakultas Peternakan ini mengungkapkan beberapa fakta permasalahan pakan yang ada. Beberapa fakta tersebut seperti kadar air yang tinggi, pengelolaan pasca panen, dan harga pakan yang bervariasi.

    Menurutnya, salah satu solusi mengatasi permasalahan pakan adalah dengan mengelola bahan pakan yang memiliki kadar air tinggi. Hal ini dimaksudkan supaya bahan pakan aman dan awet untuk ternak.

    “Teknologi yang tepat untuk mengatasi permasalahan bahan pakan berkadar air tinggi adalah dengan menggunakan teknologi fermentasi anaerob atau ensilase,” ungkap Guru Besar IPB University bidang Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan ini.

    Dosen IPB University itu juga menyebut, teknik ensilase dinilai tepat untuk dilakukan. Hal ini karena didukung oleh kondisi cuaca dan produksi hijauan paling banyak terjadi pada musim hujan.

    “Beberapa keunggulan teknik ensilase adalah memiliki tingakat kegagalan yang kecil, memiliki nilai gizi lengkap, dan proses lebih lengkap,” tandas penemu metode proses produksi silase ransum komplit dari IPB University ini (ipb.ac.id)

  • Prof Nahrowi: Beternak di Pekarangan Bisa Jadi Obat Anti Stres Saat WFH

    Berdiam diri di rumah saat Work From Home (WFH), seringkali membuat orang merasa bosan dan stres. Namun hal itu tidak berlaku bagi guru besar IPB Univerity satu ini. Prof Dr Ir Nahrowi, MSc Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University menjalani WFH dengan cara mengasyikkan. Ya, dengan beternak, Prof Nahrowi meyakini bisa menjadi obat anti stres yang mujarab.

    “Bukan tidak mungkin beternak di tengah kondisi pandemi ini. Di belakang rumah saya alhamdulillah sudah ada beberapa hewan ternak sejak sebelum adanya COVID-19. Saya pelihara hewan sejak 10 tahun lalu.  Pertama yang saya pelihara adalah ternak kelinci dan ikan lele. Alhamdulillah terus berkembang.  Kini, sudah lebih dari 14 jenis hewan,” tutur Prof Nahrowi.

    Keempat belas hewan tersebut, secara umum Ia bagi menjadi hewan pemakan bijian dan pemakan hijauan. Hewan pemakan hijauan seperti sapi, domba, kambing, kelinci, marmut dan menyusul kuda. Sementara sisanya, untuk pemakan bijian, Prof Nahrowi memelihara ayam layer dan ayam kate, angsa, entok, kalkun, burung dara, burung tekukur, burung puter, burung perkutut, ikan lele dan nila. Ia juga memelihara kucing, sugar glider dan hamster sebagai hewan kesayangan.

    Dibantu dua orang pekerja, hewan-hewan tersebut dipelihara Prof Nahrowi dengan sistem pertanian terintegrasi. Selain beternak, di belakang rumahnya juga terdapat beberapa kolam serta lahan pertanian yang ditanami sayur-sayuran seperti pohon melinjo, pohon salam, kangkung, bayam, daun-daun lalapan, kunyit, jahe dan sebagainya. Ia juga menanam buah-buahan seperti jambu biji merah, jambu air, jambu bol, rambutan, mangga, pisang, jambu mete, markisa, matoa, timbul, petai dan pohon kelapa serta beberapa tanaman obat-obatan.

     

  • Prof Niken Ulupi Beberkan Penyebab Anjloknya Harga Telur Ayam

    Belakangan ini, harga telur ayam terjun bebas yang berdampak pada kerugian bagi peternak. Melihat fenomena ini, Profesor Niken Ulupi, pakar peternakan dari IPB University menyebut telah terjadi ketidakseimbangan antara supply dan demand telur ayam.

    "Pengaruh buruk akibat harga telur yang anjlok adalah beberapa peternak rakyat atau peternak mandiri mulai menutup usahanya. Apabila ini tidak segera diatasi maka ke depannya masyarakat akan mengalami krisis pangan khususnya telur ayam sebagai pangan bergizi tinggi sumber protein hewani," ujar Prof Niken.

    Harga telur di beberapa daerah di Indonesia, seperti Blitar mencapai 13 ribu per kilogram. Harga ini sangat jauh dibandingkan dengan harga telur di Bogor atau Jakarta yang masih berada pada kisaran 22 ribu per kilogram.

    Dosen IPB University dari Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan ini menjelaskan, ketidakseimbangan antara supply dan demand dapat disebabkan oleh banyaknya usaha baru di sektor peternakan ayam ras petelur. Prof Niken juga menyebut, dibangunnya closed house ayam petelur komersil dan perlakuan pembatasan kegiatan masyarakat turut berkontribusi dalam penurunan permintaan telur secara besar.

    Prof Niken menyarankan kepada seluruh pelaku usaha di bidang produksi ayam petelur komersial sebaiknya tidak hanya memahami teknik budidaya. Namun, peternak dituntut lebih berkonsentrasi dan memastikan pangsa pasar yang menjadi tujuan usahanya sebelum memulai usaha tersebut.

    "Memulai usaha peternakan ayam petelur komersial dengan pola kemitraan bisa menjadi solusi, karena dengan pola tersebut keseimbangan supply dan demand bisa lebih didekati," tambah Prof Niken Ulupi, Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan.

    Ia berharap, fenomena anjloknya harga telur ayam tidak terulang di kemudian hari. Menurutnya, salah satu upaya untuk menjaga stabilitas harga telur dapat dilakukan dengan mendirikan usaha industri pengolahan telur terutama di wilayah sentra produksi.

    Sementara itu, hal lainnya adalah dengan menurunkan dan menstabilkan harga jagung yang merupakan komponen terbesar dari pakan ayam. Upaya ini dapat membantu para peternak mandiri.

    “Dengan demikian sangat diperlukan peran aktif pemerintah dalam menjaga kestabilan harga jagung dan ketersediaan pasokan jagung yang dibutuhkan," pungkasnya. (ipb.ac.id)