Indonesia Sudah Swasembada Daging

Apabila merujuk pada blue print program swasembada daging sapi 2014, sebenarnya Indonesia sudah berswasembada daging sampai tahun 2012 ini. Sebab, berdasarkan hasil sensus ternak yang dilakukan bulan Juni lalu, populasi sapi dan kerbau pada tahun 2012 sudah mencapai 15,6 juta ekor.

Hal ini diungkapkan Guru Besar Pemuliaan dan Genetika Ternak Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga ketua Himpunan Ilmuwan Peternakan Indonesia, Prof. Muladno di Bogor, Rabu (27/7) pada kegiatan Coffee Morning IPB. Dikatakan Muladno swasembada daging didefinisikan oleh pemerintah sebagai kecukupan daging yang dipenuhi oleh ternak lokal sebanyak 90 persen serta sisanya 10 persen impor.

Sementara, dalam blue blue print program swasembada daging sapi 2014 disebutkan swasembada daging dapat terwujud apabila pada tahun 2014 tersedia 420,3 ribu ton daging asal ternak lokal; 15,4 ribu ton daging asal sapi bakalan impor; serta 31,2 ribu ton daging beku impor. Ketersediaan 90 persen daging lokal tersebut tercapai jika ada 14,4 juta sapi pada tahun 2014.
 
"Selama ini baik pemerintah maupun swasta selalu beralasan kita perlu impor karena produksi ternak lokal tidak mampu mencukupi kebutuhan daging nasional. Padahal, jika merujuk pada program pemerintah dan hasil sensus itu terbukti kita sudah bisa swasembada daging," tuturnya.

Dengan kondisi yang ada saat ini, lanjut Muladno, seharusnya tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk menunda pengendalian impor sapi bakalan maupun daging beku dari negara lain. "Impor daging beku dan sapi bakalan harus segera dikendalikan supaya harga terus stabil," tambahnya.

Berdasarkan pemantauan Muladno, jumlah daging maupun sapi bakalan impor masih lebih dari 10 persen. Kondisi paling parah terjadi pada tahun 2009 lalu ketika pemerintah mengimpor hingga satu juta ton lebih daging, padahal kuotanya impor seharusnya hanya 700 ton.

Menurut Muladno, impor sapi dan daging harus direncanakan dengan baik dan hanya dilakukan untuk memenuhi segmen pasar khusus, seperti hotel dan restoran. "Bukankah sangat mudah menghitung berapa jumlah hotel dan restoran sehingga kebutuhan daging impor kita ketahuan dengan jelas. Jangan sampai daging impor masuk ke pasar tradisional. Itu yang nantinya akan membunuh peternak lokal, termasuk daging lokal," ujar Muladno.

Lebih lanjut dikatakan Muladno, jumlah populasi ternak sapi dan kerbau yang begitu banyak itu ternyata tersebar di seluruh wilayah yang ada di Indonesia. Akibatnya, produktivitasnya masih belum tergali dengan optimal. Hal ini pula yang menyebabkan daya saing ternak lokal kurang karena lokasinya yang berserakan di seluruh wilayah, termasuk kepulauan yang ada di Indonesia.

Selain itu, penataan pembibitan sapi lokal juga perlu dilaksanakan secara sistematis dan berjangka panjang untuk meningkatkan kualitas ternak lokal. "Orientasi pemerintah seharusnya diubah, jangan hanya pada peningkatan populasi, tetapi sudah mulai pada peningkatan kualitas," tuturnya.

Muladno menilai, selama ini kebijakan yang dijalankan pemerintah salah jalan karena menggunakan justifikasi yang kurang tepat. Pembibitan yang masih fokus pada kuantitas atau jumlah kilogram daging sapi mengakibatkan produktivitas ternak lokal tidak terwujud. Selain itu, pembibitan yang dilakukan juga belum sampai pada peningkatan mutu genetik.

Dicontohkan Muladno, pemerintah belum melirik pembibitan sapi Bali yang sebenarnya merupakan sapi lokal Indonesia. Sejumlah inseminasi buatan yang dilakukan oleh pemerintah melalui balai pembibitan masih berkutat pada persilangan sapi unggulan dari luar, seperti sapi metal dan sapi limousin yang berasal dari Australia. "Jika pemerintah tidak juga menangani pembibitan sapi bali, jangan-jangan negara lain nanti yang akan menggarapnya. Padahal, itu sapi lokal punya kita," ucap Muladno. Padahal, jika hal ini terus dibiarkan, maka akan mengancam keberadaan sapi lokal kita. "Nanti yang ada sapi lokal kita hilang digantikan sapi silangan semua," tambah Muladno. (A-155/A-147/man)***