News


Peternakan merupakan industri strategis dalam mendukung ketersediaan protein hewani yang sangat bermanfaat bagi pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan manusia. Namun peternakan sering dituding sebagai salah satu sektor yang berperan dalam mendegradasi lingkungan terutama dalam menghasilkan gas metana, komponen utama dalam emisi gas rumah kaca (greenhouse gases).

Menanggapi permasalahan lingkungan ini Prof Ronny Rachman Noor, Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan menyatakan, “Memang benar hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 100 tahun terakhir ini, dampak metana dalam pemanasan global 25 kali lebih besar dibandingkan  dengan CO2 atau karbondioksida”.  

Dikatakannya, di dunia, sektor peternakan berkontribusi sekitar 14,5 persen dari total emisi gas rumah kaca tahunan yang dihasilkan dari aktivitas manusia.
Prof Ronny selanjutnya menjelaskan bahwa ternak ruminansia (sapi, kerbau, domba dan kambing) menghasilkan gas metana dari aktivitas mikroba primitif yang dinamakan archaea yang ada di saluran pencernaan.  Bakteri ini dapat hidup dengan memanfaatkan hidrogen dan CO2 yang dihasilkan dari proses pencernaan pakan.

“Sayangnya proses pemanfaatan hidrogen dan CO2 oleh bakteri ini menghasilkan gas metana yang biasanya dikeluarkan oleh ternak melalui mulut, pernafasan, kentut  dan mekanisme pengeluaran gas lainnya,” imbuhnya.

Namun menurut Prof Ronny dalam kurun waktu 25 tahun terakhir ini teknologi peternakan mulai diarahkan untuk menanggulangi pencemaran udara dan juga lingkungan.
Sebagai contoh penelitian di bidang nutrisi ternak telah menghasilkan teknologi tepat guna yang berdampak sangat besar bagi pengurangan gas metana yang dihasilkan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian suplemen sebanyak 0,25-0,50 persen rumput laut merah jenis Asparagopsis taxiformis (tumbuh di sekitar pantai Australia) dari kebutuhan pakan harian sapi mengurangi secara drastis gas metan yang dihasilkan sebanyak  50 -74 persen dalam masa 147 hari pemberian suplemen pakan ini.
“Para pakar nutrisi juga membuktikan bahwa pemberian rumput laut merah ini tidak saja mengurangi gas metana secara drastis namun juga meningkatkan konversi pakan sapi sehingga sapi mengalami peningkatan peningkatan pertambahan bobot badan hariannya,” lanjut Prof Ronny Rachman Noor.

Prof Ronny menjelaskan lebih lanjut, menurut pakar teknologi lingkungan dan pakar nutrisi, temuan yang tampak sederhana ini memberikan harapan besar bagi upaya dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara drastic. Karena jika diterapkan pada industri peternakan maka dampaknya dapat  disetarakan dengan meniadakan 100 juta mobil yang ada di dunia saat ini dalam hal emisi gas yang dihasilkannya.

Hasil penelitian pakar nutrisi juga menunjukkan bahwa Asparagopsis taxiformis mengandung bromoform yang berfungsi memutus rangkaian proses akhir pembentukan gas metana sehingga menghalangi terbentuknya gas metana.

Penemuan ini tentunya membuka lebar peluang pembuatan pakan berbasis suplemen rumput laut terutama pada industri penggemukan sapi di feedlot dimana pemberikan pakannya disediakan setiap harinya tanpa digembalakan.

“Dari hasil analisa berbagai hasil penelitian disimpulkan bahwa jenis sapi yang berbeda menghasilkan gas metana yang relatif hampir sama.

Tampaknya pengurangan gas metana dari industri peternakan ini akan lebih efektif jika didekati melalui inovasi teknologi pakan dibandingkan dengan teknologi pembibitan alami untuk menghasilkan jenis sapi yang menghasilkan gas metan yang lebih rendah,” ujar Prof Ronny.

Ke depan menurutnya, ditemukannya teknologi tepat guna yang berdampak besar pada pengurangan emisi gas rumah kaca ini akan menjadikan industri peternakan lebih ramah lingkungan (ipb.ac.id)

Departemen Kajian, Aksi Strategis dan Advokasi (Kastrad) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Peternakan IPB University menggelar acara Diskusi Kandang Chapter 1 dengan Tema "Mengungkap Permasalahan Komoditas Susu di Indonesia" (21/3). Diskusi Kandang merupakan forum diskusi dalam bentuk symposium dengan narasumber dari berbagai pihak yaitu akademisi, pemerintahan, dan pelaku peternakan. Tujuan acara ini  adalah untuk mengungkap permasalahan susu nasional yang terjadi di dalam  negeri dengan mensinkronkan kejadian dilapang  antara  di pemerintah, peternak  dan data akademisi. Oleh karena itu acara webinar Diskusi Kandang kali ini dihadiri oleh para narasumber yang sesuai bidangnya.

“Ada banyak hal yang harus kita selesaikan dalam bidang persusuan, di sisi lain kalau kita lihat populasi dan juga produktivitas sapi perah di Indonesia juga relatif masih tetap, kalau kita lihat di data BPS saat ini angka populasi sapi perah ada sekitar 580.000 ekor dengan rata-rata kepemilikan sekitar 4 atau 5 ekor per peternak, hal ini menunjukkan bahwa iklim investasi di persusuan ini belum begitu menarik di mata para investor” ujar  Dekan Fakultas Peternakan Dr. Ir. Idat Galih. Permana, M. Sc.Agr di hadapan sekitar 110 peserta diskusi. Lebih lanjut, Dr. Idat menambahkan bahwa kunci yang bisa memicu investasi adalah masalah harga. Insentif harga ini sangat penting bagi para peternak, sehingga menumbuhkan gairah untuk kembali bekerja atau kembali menekuni bisnis peternakan ini, khususnya sapi perah.

Beberapa Narasumber pengisi  acara Diskusi Kandang  yaitu Dr. Epi Taufik, S.Pt., MVPH., M.Si (Dosen Fakultas Peternakan IPB University) yang pertama kali memaparkan materi dan menjelaskan tentang persusuan dalam negeri dari data yang  ada sesuai dengan segi akademisi. Selanjutnya ada Ir. Cisilia Esti Sariasih (Koordinator Bidang Substansi Ruminansia Perah) mewakili Ir. Sugiono, M.P (Direktur Pembibitan dan Produksi Ternak Ditjen PKH, Kementan RI). Dalam pemaparannya, Ir. Cisilia Esti Sariasih menjelaskan  tentang strategi pemerintah dalam  peningkatan  dan pemenuhan  kebutuhan sapi perah dengan berbagai  kebijakan dan peraturan serta data-data yang ada tentang produksi susu perah dalam negeri segi pemerintah. Hadir pula pemateri dari Dewan Persusuan Nasional Teguh Budiayana memberi informasi  yang  ada terkait permasalahan persusuan dengan data di lapangan.