News

Hingga saat ini sebagian besar pakan ternak di Indonesia masih mengandalkan impor. Perlu adanya suatu inovasi pakan alternatif serta kebijakan yang mendukung.
Demi membahas tantangan tersebut, IPB University bekerja sama dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA) menggelar Talkshow Daring Seri-3 berjudul “Kebijakan Berbasis Evidence dalam Pakan Berdaya Saing”, 04/3.

Prof Arif Satria, Rektor IPB University mengungkapkan bahwa kegiatan tersebut merupakan kesempatan baik dalam mengeksplor kemungkinan-kemungkinan dasar dalam mendorong kedaulatan bidang peternakan terutama dalam hal pakan. Formulasi kebijakan dan formulasi bisnis berbasis scientific evidence sangat diperlukan dengan perguruan tinggi yang memegang perannya. Sehingga dapat dihasilkan inovasi pakan alternatif yang berkualitas tinggi.

Prof Muladno, Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan menyebutkan bahwa regulasi bagi bahan pakan sangat penting agar peternak nyaman untuk melakukan usahanya. Di pasaran, harganya masih cenderung fluktuatif dan beragam kualitasnya sehingga perlu adanya pengawasan. Limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan pun faktanya malah diekspor sehingga peternak menjadi kurang berdaulat.

Peternak belum tersentuh teknologi terkini sehingga menyebabkan produktivitas dan kualitas ternak rendah. Regulasi saat ini juga masih berpandangan bahwa impor bahan pakan kurang baik padahal ketersediaan bahan pakan belum mencukupi.

Menurutnya, keperluan impor untuk dijadikan produk lain tidak selalu buruk. Ia juga menyebutkan bahwa terdapat beberapa fakta di lapangan yang membuat pengelolaan pakan menjadi tidak efisien serta merugikan petani. Misalnya, integrator vertikal yang menguasai hulu-hilir sehingga petani tidak bisa berdaulat. Di samping itu, petani masih sulit mendapatkan limbah pertanian untuk pakan ternak dan pemeliharaan ternaknya masih mandiri.

Ia menawarkan beberapa solusi. Yakni impor bahan baku pakan seperti tanaman jagung jika dapat dipastikan harganya lebih murah. Pertimbangan panen tanaman pada usia 80 hari daripada 120 hari lebih menguntungkan. Sehingga nantinya pakan sapi sehingga lebih murah, untuk ayam dapat menggunakan bahan pakan impor karena ketersediiaannya lebih mudah. Spesialisasi pekerjaan atau ia sebut “bagi-bagi kavling” antara petani dan peternak juga dinilai efisien. Nantinya, petani hanya menanam pangan atau pakan, sedangkan peternak hanya beternak saja.
Peternak juga harus berkonsolidasi untuk berhimpun membentuk integrasi horizontal seperti koperasi sehingga dapat bersanding dengan integrasi vertikal. Konsolidasi tersebut harus didorong kuat dengan perguruan tinggi menjadi lembaga riset dan pengembangan bagi komunitas pertanian rakyat.

“Nanti lembaga negara harus berbuat maksimal kepada rakyatnya, pemerintah pun sama. untuk mendorong betul koperasi-koperasi tersebut hingga ada keberpihakan dan fasilitasi agar bisnis tersebut tidak hanya murni dari peternak. Perguruan tinggi pun bisa dengan ilmu dan pengetahuannya dan pemerintah dengan regulasinya,”ungkapnya.

Keterlibatan perguruan tinggi dan pemerintah tersebut bersifat mutlak. IPB University dengan Sekolah Pertanian Rakyat menjadi salah satu bukti betapa pentingnya peran dua lembaga. Diawali dengan pemerintah kabupaten yang bersinergi dengan perguruan tinggi. Kerja sama yang baik antara rektor dan bupati telah secara efektif menggerakkan dosen dan mahasiswa beserta birokratnya untuk bersama membawa peternak-peternak tersebut untuk berkonsolidasi.

Prof Nahrowi Ramli, Guru Besar IPB University dari Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan turut merekomendasikan bahwa perlu adanya perluasan lahan untuk produksi bahan pakan terutama untuk keperluan ruminansia. Begitu pula perlu adanya industrialisasi kedelai sebagai bahan pakan alternatif dan perbaikan sistem informasi dan logistik. Selain itu, penanganan dan kebijakan yang berbeda terhadap bahan pakan lokal juga perlu diterapkan (ipb.ac.id)

Ulat tepung yang sering digunakan pakan burung ternyata memiliki banyak protein yang baik dikonsumsi oleh manusia. Koes Hendra, Alumnus IPB University berhasil memanfaatkan ulat tepung menjadi pangan bergizi. Peternakan King Worm, Cibungbulang Kabupaten Bogor Jawa Barat yang dikelolanya berhasil mendapatkan binaan dari Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). Di bawah naungan PT Sugeng Jaya Grup yang berdiri bulan April 2019 ini, Koes selaku CEO berhasil mengekspor ulat tepung kering ke berbagai negara seperti Belanda, Singapura, dan Malaysia.

“Pengolahan ulat tepung cukup sederhana. Yakni dengan dikeringkan pada suhu 200 derajat celsius lalu didiamkan selama tujuh menit. Setelah itu ulat tepung pun siap disajikan dengan rasa yang gurih tanpa ditambah bumbu apapun,” jelasnya.

Menurutnya, hewan kecil ini bisa menjadi alternatif sumber protein bagi manusia. Satu ekor ulat tepung mengandung 47 persen protein. Selain itu, di dalam ulat tepung juga terdapat omega-3 sebanyak 37.48 persen dan omega-6 sebanyak 35.52 persen.

Selain dikeringkan, Koes berhasil mengubah ulat tepung menjadi abon. Masih dengan proses yang sederhana. Ulat tepung kering yang sudah dihaluskan ditambah bawang putih, gula, daun jeruk dan cabai, lalu aduk hingga merata dan abon ulat tepung pun siap disajikan.

“Abon ulat tepung ini juga sudah dipasarkan dan terjual sebanyak 200 botol ukuran 30 gram dalam kurun waktu kurang lebih satu bulan. Nama lain abon ulat tepung ini disebut dengan mealworm furikake di Jepang,” tuturnya.

Keunggulan lain dari budidaya ulat tepung ini ialah hanya dibutuhkan tempat seluas satu meter persegi untuk menampung 60 kilogram ulat tepung. Ini jauh efisien dibandingkan peternakan ayam yang hanya bisa menampung empat ekor.

“Jenis peternakan ini ialah urban farming, yang bisa dilakukannya budidaya di rumah. Selain itu, kandangya juga tidak mengeluarkan bau,” tandasnya (ipb.ac.id)