News

oleh : Yuni Cahya Endrawati (D-IPTP Fapet IPB)

Tidak dapat dipungkiri pandemi Covid-19 telah merubah gaya hidup kita. Kita yang tadinya tidak terlalu perduli dengan kebersihan  kini sudah mulai terbiasa dengan mencuci tangan secara rutin dan juga menjaga kebersihan rumah dan lingkungan kita. Di sisi lain pembatasan pergerakan dan aktivitas keseharian kita tentunya membuat kita harus menyesuaikan pola hidup kita walaupun tentunya sangat berat.

Stress dan perubahan gaya hidup

Sebagai orang yang terbiasa aktif tentunya perubahan gaya hidup terutama pembatasan pergerakan dan aktivitas ini dapat saja membuat frustrasi karena ada sebagian dari kebiasaan rutin kita yang berkurang intensitasnya atau bahkan tidak dapat dilakukan lagi. Tidak banyak yang mengetahui bahwa dari segi kumunikasi ternyata kaum wanita tingkat stress nya lebih tinggi akibat pembatasan komunikasi yang kini sebagian besar hanya dapat dilakukan melalui media sosial tanpa berkomunikasi secara langsung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam satu hari rata rata wanita mengucapkan  kata kata sebanyak 20.000 kata sebaliknya kaum laki laki hanya sekitar 7.000 kata kata per hari. Perbedaan jumlah kata kata yang diucapkan oleh wanita dan pria ini menurut hasil penelitian  yang dipublikasikan di Journal of Neuroscience erat kaitannya  dengan keberadaan protein FOXP2. Level protein FOXP2 di otak wanita lebih tinggi dibanding dengan laki laki.  Hal inilah yang mendasari wanita lebih banyak mengungkapkan perasaannya melalui ucapan.

Kondisi saat ini memaksa wanita agar dapat terbiasa  lebih  pendiam karena adanya keterbatasan lawan bicara yang tentunya secara emosional akan berbeda.

Saat berkomunikasi tidak langsung kita hanya dapat mengartikan ekspresi lawan bicara atas dasar ucapannya saja. Namun sebaliknya melalui komunikasi langsung emosi dan tingkat hormon yang diproduksi oleh otak kita saat berkomunikasi akan lebih dinamis karena disamping mendengarkan kata juga dapat melihat dan mengartikan bahasa tubuh lawan bicara kita.

Bagi orang yang terbiasa aktif baik secara sosial maupun aktif di tempat kerja dan melakukan pergerakan fisik yang cukup dalam kesehariannya maka level dopamine di otak akan meningkat.  Dopamine ini bermanfaat bagi otak  kita karena termasuk kategori sistem reward yang akan membuat kita lebih  segar, lebih senang dan lebih ceria.

Di masa pandemi dimana aktivitas dan pergerakan kita  akan sangat terbatas maka tubuh kita kurang dalam memproduksi dopamine.

Gejala penurunan kesehatan otak itu sebenarnya dapat dengan mudah kita deteksi seperti misalnya  jika kita sudah merasakan sering lupa, kelelahan  dan sangat mudah terpicu emosinya. Masalah kesehatan otak  dikategorikan dalam tahap yang membahayakan jika sudah  terkait dengan mulai melemahnya fungsi kognitif.

Hubungan antara stress dan penurunan fungsi kognitif ini  bukanlah sesuatu yang baru namun   sudah mulai terindentifkasi dan dipelajari ratusan tahun yang lalu dan dengan semakin berkembangan ilmu kesehatan rahasianya sudah mulai terkuak.

Stress yang berlanjutan akan sangat berdampak pada wanita tidak saja secara emosional namun juga secara fisik.

Salah satu dampat stress yang paling ditakuti kaum wanita adalah perubahan elastisitasitas dan struktur kulit wajah yang berdampak pada munculnya kerutan.

Stress pada wanita  memicu munculnya kerutan pada wajah ini  tentunya sangat tidak diharapkan oleh kaum wanita karena akan menyebabkan penampilannya tampak jauh lebih tua.

 Bagaimana cara Mengatasinya?

Read more: Perawatan kulit wajah dengan kokon sutera

Wageningen University bersama Fakultas Peternakan, IPB University mengadakan webinar dengan tema: “Building Block for Sustainable Development in Indonesia Dairy Sector”. (13/01/2021)

Selaku Moderator Webinar Dr Rudi Afnan, Wakil Dekan Fakultas Peternakan IPB University, dengan key note speaker Dr Nasrullah dari Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI, Gemma Verijdt dari Kementrian Pertanian, Alam, dan Kualitas pangan Belanda dan Dr Marion De Vries, dari Wageningen University and Research (WUR). webinar tersebut menyoroti pentingnya pembangunan berkelanjutan dari sektor susu Indonesia. Acara tersebut diselenggarakan dalam semangat akhir dari proyek Intensifikasi Produksi Susu Berkelanjutan di Indonesia (SIDPI) di Jawa Barat, Indonesia.

Dr. M Marion de Vries, yang memimpin proyek SIDPI (2016-2020), menjelaskan bahwa peternakan sapi perah di Indonesia dihadapkan pada pengelolaan limbah kotoran hewan yang buruk, pemberian pakan yang kurang baik, reproduksi yang kurang baik dan permasalahan kesehatan ternak. Hal ini menyebabkan produktivitas rendah dan dampak buruk terhadap lingkungan, terutama karena sebagian besar kotoran ternak dibuang ke lingkungan.

Dalam webinar ini, solusi yang mungkin untuk pengelolaan pakan dan pupuk kandang yang berkelanjutan dijelaskan oleh Marion dan bagian dari timnya, Windi Al Zahra dari Fakultas Peternakan IPB University, Bram Wouters dan Titis Apdini dari Wageningen University and Research (WUR), Amin Sutiarto dari Trouw Nutrition Indonesia, dan Drs Dedi Setiadi dari KPSBU Lembang.

Proyek SIDPI dimulai dari merancang dan melaksanakan studi percontohan tentang perbaikan kotoran, pemberian pakan dan manajemen kesehatan hewan, penelitian, keberlanjutan ekonomi dan sosial dari praktik saat ini dan yang lebih baik, dan tahap peningkatan dan penyebaran hasil melalui pelatihan, demonstrasi, diskusi kelompok fokus, dan informasi ke media.

Pada awal tahun lalu, proyek SIDPI telah selesai. Harapannya, ke depan program ini dapat dikembangkan lebih banyak lagi oleh petani di Jawa Barat dan petani di Indonesia pada umumnya. (agroberichtenbuitenland.n)