News

Nama sorgum sudah tak asing bagi sebagian kalangan, namun secara umum tanaman ini masih belum banyak dimanfaatkan sebagai komoditas industri pakan Indonesia. Dalam ketahanan pangan, pakan merupakan komponen penting yang tidak bisa dihindari. Inefisiensi sistem produksi peternakan dalam negeri salah satunya disebabkan ketidakmampuan pengendalian biaya pakan.

Hal tersebut disampaikan Prof Dr Luki Abdullah, dosen IPB University dalam Rembug Online 5 yang diselenggarakan Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB University, (23/9).
Prof Soeranto Human, peneliti Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dalam paparannya mengatakan, mewujudkan ketahanan pangan tidak bisa dilakukan hanya mengandalkan satu komoditas saja. Untuk meningkatkan kualitas pangan, ke depan perlu mengarah ke konsep pangan fungsional, yakni beragam, berimbang dan bergizi.  Sudah menjadi rahasia umum, bahwa ketergantungan terhadap padi sangat tinggi. Masyarakat mayoritas mengkonsumsi beras atau nasi. Indonesia menjadi negara kedua setelah Vietnam dengan rata-rata konsumsi 111,58 kg per kapita per tahun.

Tak mudah memang menggantikan ketergantungan tersebut. Sehingga menurut Prof Soeranto, strategi diversifikasi pangan dilakukan dengan mempertahankan produksi padi, namun sebagian untuk ekspor. Bersamaan dengan itu, pangan pokok lokal harus mulai dipromosikan. Produksi peternakan, perikanan, buah dan sayuran juga perlu ditingkatkan.
“Terkait dengan peternakan ini, tidak bisa dipungkiri bahwa ternak butuh pakan. Karena itu kita perlu pikirkan agar sorgum bisa diintegrasikan selain untuk pangan juga untuk pakan. Banyak sekali keragaman genetik yang kita punya. Mulai yang berbentuk umbi-umbian, pati dan bijian seperti sorgum ini,” ujar Prof Soeranto.

Sorgum memiliki keunggulan dengan daya adaptasi luas pada kondisi lahan pertanian Indonesia. Tanaman ini tahan terhadap kondisi lahan sub-optimal atau kekeringan, tanah masam dan tanah salin. Sehingga sangat berpotensi meningkatkan produktivitas lahan kering dan mitigasi perubahan iklim.
Di berbagai negara, terang Prof Soeranto, sorgum sudah banyak diaplikasikan sebagai pangan fungsional sebab kandungan nutrisinya cukup baik. Dalam 100 gram sorgum, memiliki 332 gram kalori, 11.0 gram protein dan 73 gram karbohidrat. Sorgum juga bebas gluten, glikemik rendah, kaya kalsium, antioksidan dan tinggi serat.

Sementara itu, Rahardi Gautama, CEO PT Sedana Peternak Sentosa mengatakan bahwa sorgum telah menjadi bahan makanan yang konon sudah dikonsumsi masyarakat Jawa pada abad 9-10, jauh sebelum masyarakat mengenal padi di abad 12-14 masehi. Hal itu tertuang dalam buku Eating and Drinking in Ancient Central Java 9th-10th Century dimana sorgum telah ada pada ukiran-ukiran dalam candi Borobudur dan Prambanan.

“Yang kami lakukan di Sedana, bijinya untuk pengganti beras atau tepung. Jika jenisnya sweet sorgum, tangkainya juga bisa menghasilkan bahan pemanis seperti gula atau sirup. Sementara seluruh tanamannya bisa digunakan sebagai pakan ruminansia,” kata pria yang juga lulusan Departemen Meteorologi dan Geofisika IPB University ini.

Melihat potensi yang dimilikinya, BATAN telah melakukan riset perbaikan varietas sorgum menggunakan mutasi radiasi sinar gamma dan bioteknologi terkait. BATAN juga mengusulkan pelepasan varietas unggul sorgum, menyediakan benih dan diseminasi ke masyarakat serta bekerjasama melakukan pengembangan sorgum sebagai sumber pangan, pakan dan energi (ipb.ac.id)

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan (Fapet) IPB University menggelar International Student Conference (ISC) 2020, (18/9). Kegiatan ini merupakan ajang tingkat internasional yang ditujukan bagi mahasiswa sarjana seluruh dunia. Agenda ini dihadiri oleh 269 peserta dari berbagai negara seperti Thailand, Inggris, Turki, China, Australia dan Indonesia.

Dalam pembukaannya, Dr Drajat Martianto, Wakil Rektor IPB University Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan mengatakan kegiatan ini sangat didukung oleh institusi, karena selaras dengan misi kampus IPB University yaitu berkomitmen menjadi kampus terbaik di taraf internasional. Ia berharap, kegiatan ini mampu meningkatkan kapasitas dari mahasiswa sekaligus momentum transfer pengetahuan.

“Harapannya, kegiatan ini mampu memberikan pengetahuan baru sekaligus membentuk jaringan global bagi para mahasiswa lintas negara ini. Selain itu kegiatan ini merupakan ajang bertukar pengetahuan guna meningkatkan inovasi-inovasi yang ada di IPB University. Saya ucapkan selamat melakukan kegiatan presentasi untuk seluruh peserta,” ungkap Dr Drajat Martianto

Rangkaian kegiatan ISC 2020 meliputi konferensi, diskusi panel, dan summercourse. Sedikitnya ada 130 mahasiswa dari berbagai negara yang sudah mengirimkan karyanya untuk dipresentasikan selama kegiatan.

Hadir sebagai pemateri dalam kegiatan pembukaan adalah Prof Dr Jeremy Huckins dari Departemen Psikologi dan Neurosains, Darthmouth College Hanover, United States. Materi yang disampaikan tentang kesehatan mental dan perilaku selama masa Pandemi COVID-19.

Prof Dr Jeremy  menjelaskan penelitiannya tentang kesehatan mental mahasiswa khususnya terkait dengan dampak stres bagi tubuh selama masa pandemi. Menurutnya, masa pandemi membuat kesehatan mental mahasiswa menjadi terganggu. Ia menerangkan, tingkat kecemasan mahasiswa meningkat karena perubahan pola hidup dan berbagai informasi negatif tentang COVID-19. Tercatat ada 40 persen mahasiswa Indonesia yang mengalami gangguan kecemasan.

“Selain di Indonesia, lebih dari 50 persen mahasiswa di Bangladesh juga mengalami kecemasan yang berlebih. Hal serupa juga dialami oleh 25-50 persen mahasiswa yang ada di China. Permasalahan ini akan terus mengalami peningkatan selama masa pandemi yang dialami secara global. Terjadi perubahan pola perilaku yang signifikan selama masa lockdown," ungkap Prof Jeremy .

Selain itu Prof Jeremy juga memperkenalkan alat ukur tingkat kecemasan pada siswa selama pembelajaran daring. Menurutnya,  penggunaan media sosial yang meningkat mempengaruhi kesehatan mental siswa. "Media sosial banyak memberikan informasi-informasi negatif terkait pandemi dan menurunkan aktivitas fisik. Dampak negatif ini paling banyak ditemukan pada orang usia muda," pungkasnya (ipb.ac.id)