News

Pada 2010 – 2030 adalah periode dimana Negara Indonesia menerima bonus demografi, yaitu Jumlah penduduk usia produktif  (umur 15 – 60 tahun) mencapai angka 69 %.

“Keadaan tersebut menjadi peluang dan tantangan. Dalam hal ketahanan pangan, penambahan jumlah penduduk juga menjadi isu yang penting bagi kita,” ungkap Audy Joinaldy Ketua Umum Himpunan Alumni Fakultas Peternakan (Hanter) IPB dalam sambutannya di Upacara Wisuda dan Penyerahan Ijazah Program Pendidikan Diploma Sekolah Vokasi IPB Tahap I Tahun 2018/2019 di Bogor (24/7).

Sambungnya disaat IPB mencanangkan diri menjadi Entrepreneur University, menjadi tantangan tersendiri. Indonesia hanya memiliki 0,8 – 1,2 % penduduk yang menjadi pengusaha, bandingkan dengan Thailand 5 %, Singapura 7 % atau bahkan China 14 %. “Paling tidak butuh 2 % dari jumlah penduduk menjadi pengusaha untuk mendukung perekonomian nasional yang kuat.

Kunci menjadi pengusaha bukanlah modal atau uang, tetapi networking, untuk itu adik-adik wisudawan/wisudawati sekalian tetaplah jalin silaturahmi antar sesama kalian maupun dengan seluruh civitas akademika IPB, disinilah salah satu network dari kalian. Bukalah network seluas-luasnya dengan kami di Himpunan Alumni IPB dan juga dengan pihak luar,” tutur Audy.

Audy berpesan, hidup di tengah era disruptif inovasi, terjadi perkembangan teknologi sangat pesat. Era digital memberikan kesempatan bagi setiap entitas untuk berinovasi dengan cepat. Pada saat yang sama, inovasi memberikan dampak disruptif kepada entitas lainnya yang lambat untuk merespon perkembangan dan Inovasi yang terjadi.

“Dimanapun dan apapun jenis pekerjaan yang adik-adik hidupi, kunci keberhasilannya adalah bila memiliki nilai tambah atau added value. Hanya pribadi yang memiliki nilai tambah yang dapat memberikan perbedaan nyata dalam masyarakat, bangsa dan negara,” pungkasnya (troboslivestock.com)

Seiring dengan bertambahnya penduduk di bumi, khususnya di Indonesia, kebutuhan terhadap daging dan protein juga semakin meningkat. Keadaan ini menjadi tantangan bersama bagi masyarakat Indonesia dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan nasional. 
Di sisi lain, isu stunting yang terjadi belakangan ini turut menjadi polemik tersendiri. Hal ini karena konsumsi gizi pada masyarakat yang terbilang masih kurang.

 Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University, Prof. Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc menjelaskan permintaan daging di tahun 2030 diproyeksikan meningkat hingga 80 persen dan pada tahun 2050 permintaan daging dapat meningkat lebih dari 200 persen. 

“Ini memang peluang yang harus dimanfaatkan, tetapi kapasitas produksi kita  masih kurang. Saat ini peternakan kita 90 persen didominasi peternakan rakyat, dengan demikian mari kita bersama-sama berkolaborasi,” papar Prof. Luki pada acara Diskusi Strategic Talk dengan tema “Produksi Peternakan Berkelanjutan untuk Kedaulatan Pangan,” Jumat (19/7), di Kampus Dramaga, Bogor. 

Prof. Luki juga menjelaskan, di era serba digital saat ini, produk ternak semuanya dituntut lebih cepat, lebih tepat, lebih cerdas, dan lebih efisien mencapai konsumen. Supaya survive, perlu adanya integrasi antara penyedia pakan, kandang ternak, dan pengolahan ternaknya. Penggunaan teknologi dan penguasaan jaringan bisnis harus ditingkatkan dalam rangka mempermudah akses permodalan.
“Implementasi konsep ini harus dilakukan secara multidisiplin ilmu. Pekerjaan transdisiplin saat ini sangat diperlukan karena kita sudah tidak bisa bekerja sendiri-sendiri, orang ilmu komputer harus tau tentang konsep dasar peternakan. Oleh karena itu antara satu dengan yang lain harus saling mendukung,” tambahnya.
 
Hal senada diungkapkan oleh Dekan Sekolah Vokasi IPB University, Dr.Ir. Arief Darjanto, M.Ec. “Saat ini kita memasuki era perkembangan teknologi yang mengharuskan adanya vitality innovation. Ke depannya, tantangan kita itu bagaimana memproduksi banyak dengan input yang sedikit, tapi kualitasnya juga bagus. Oleh karena itu livestock revolution juga harus diiringi oleh market revolution,” ungkapnya. 

Dr. Arief menambahkan ke depannya perlu adanya integrated business model dalam pengembangan peternakan di Indonesia. Dr. Arief mencontohkan, dalam peternakan ayam, pihak feeder harus bisa bekerjasama dengan pihak breeder, peternak, processing, dan marketing.  

“Strategi partner saat ini penting, karena era saat ini adalah era coopetition dan cooperation,” pungkasnya. 

Sebagai contoh integrated business model yang sudah berjalan saat ini, Wakil Kepala bidang Penelitian, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University, Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi, M.Sc.Agr menjelaskan IPB University memiliki Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) yang telah diadopsi di beberapa daerah. 

“Keberadaan SPR ini menjadi contoh integrasi antara pemerintah, akademisi, dan peternak secara langsung. Oleh karena itu, harus kuat dalam kolaborasi atau kelembagaannya, yaitu bagaimana kita berbagi peran dan tanggung jawab dalam membangun pertanian yang unggul dan modern,” paparnya. 

Prof. Agik menegaskan, semua pihak harus kompak dan solid mewujudkan integrated smart farming di Indonesia untuk menjawab tantangan masa depan. Untuk mengajak banyak pihak, perlu adanya konsolidasi antara akademisi, government, dan pebisnis. (ipb.ac.id)