News

Dr Widya Hermana, dosen IPB University dari Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan mengurai jenis-jenis dan manfaat feed additive yang dapat digunakan oleh peternak layer maupun broiler. Ia berpendapat bahwa feed additive sangat diperlukan agar dapat meningkatkan performa, kesehatan, produksi, dan kualitas produk yang dihasilkan.

Dosen IPB University itu menjelaskan, zat aditif pakan dikategorikan ke dalam probiotik, prebiotik, sinbiotik, enzim, herbal, vitamin dan mineral. Probiotik merupakan mikroorganisme yang ditambahkan ke dalam pakan, sedangkan prebiotik merupakan pakan dari mikroorganisme tersebut. Sementara sinbiotik merupakan gabungan dari probiotik dan prebiotik.

“Menurut saya, jenis sinbiotik dapat memberikan hasil yang lebih baik daripada hanya probiotik atau prebiotik karena di dalamnya sudah terdapat mikroorganisme beserta makanan yang diperlukan untuk perkembangannya,” kata Dr Widya dia dalam Mimbar Trobos Livestock seri ke-38 dengan tema ‘Ragam Feed additive untuk Menunjang Performa Ayam’, 29/8.

Untuk jenis enzim, kata Dr Widya, jumlahnya dapat ditambahkan sesuai tujuan, yakni nutrien apa yang ingin lebih cepat dicerna. Untuk jenis herbal, katanya, dapat berasal dari tumbuh-tumbuhan rimpang maupun dari dedaunan seperti daun sirsak, daun salam, dan daun binahong. Sedangkan, pemberian vitamin dan mineral dapat berupa bentuk langsung dari produsen farmasi.

“Selain untuk menunjang performa ayam, feed additive juga dapat berfungsi untuk meningkatkan palatabilitas atau tingkat kesukaan pakan, pengawet, penghambat mikroorganisme patogen, meningkatkan kecernaan nutrien, antijamur, serta membantu pencernaan,” kata Dr Widya Hermana.

Dosen IPB University itu menjelaskan, penambahan probiotik Lactobacillus sp pada pakan ayam petelur, misalnya, dapat memberikan peningkatan produksi telur dan peningkatan bobot karkas. Sementara, penambahan vitamin dan mineral, juga harus ada dalam pakan karena vitamin tidak disintesis oleh unggas padahal perannya sangat esensial untuk perkembangan jaringan normal untuk kesehatan, pertumbuhan dan hidup pokok.

“Apabila vitamin tidak terdapat dalam pakan atau tidak dapat diabsorpsi oleh ternak, maka unggas akan mengalami defisiensi vitamin,” tutupnya (ipb.ac.id)

Buaya dikenal sebagai salah satu predator terganas di muka bumi. Ia dijuluki ‘silent killer’ karena kesenyapannya dalam menyergap mangsanya. Hewan ini sudah lama menjadi perhatian para peneliti karena kesuksesannya bertahan sejak era dinosaurus.

Akhir-akhir ini dunia ilmu pengetahuan dikejutkan oleh para peneliti yang menemukan bahwa ternyata buaya dapat berkomunikasi satu dengan lainnya dengan bahasanya sendiri yang sangat unik.

Menurut Prof Ronny Rachman Noor, Pakar Genetika Ekologi IPB university, jika dibandingkan dengan jenis reptilia lainnya, buaya memang tergolong yang paling banyak mengeluarkan berbagai jenis suara. Namun pertanyaan yang muncul di kalangan ilmuwan apakah suara yang dikeluarkan oleh buaya ini hanya sebagai alat komunikasi primitif semata atau merupakan alat komunikasi canggih di antara mereka?

Untuk menguak rahasia ini, Prof Ronny menjelaskan bahwa saat ini para peneliti di Australia secara tekun meneliti dengan membuat berbagai rekaman suara buaya air asin. Suara ini mereka teliti lebih dalam lagi untuk mengetahui apakah jenis suara buaya jantan dan betina berbeda? Apakah perbedaan ukuran menentukan perbedaan suara? Dan yang paling penting adalah apakah ada makna tertentu dari berbagai jenis suara yang dikeluarkan ini yang digunakan untuk berkomunikasi.

“Para peneliti berhasil menguak misteri bahwa di samping unsur kejutan dalam berburu dan menyergap mangsanya, ternyata buaya juga berkomunikasi satu dengan lainnya dengan bahasa mereka yang sangat unik,” jelas Prof Ronny.

“Peneliti ini berhasil memecahkan kode dan makna setiap jenis suara yang dikeluarkan buaya seperti misalnya geraman, dentuman, tamparan kepala dan juga gerakan tubuh lainnya yang biasa diperagakan oleh buaya air asin (Crocodylus porosus),” imbuhnya.

Lebih lanjut Prof Ronny menjelaskan, dengan menggunakan ilmu ekologi akustik para peneliti berhasil mengungkap bahwa buaya memiliki kemampuan untuk memompa masing-masing sisik yang ada di punggungnya (osteodermata). Hasil gerakan fisik sisik ini adalah frekuensi suara rendah yang dapat menjalar sangat jauh di dalam air. Artinya, buaya memang sengaja mengeluarkan jenis suara tertentu untuk tujuan berkomunikasi. Dan yang paling menakjubkan, suara ini dikenal dan dimengerti oleh buaya lainnya.

“Dengan berbagai jenis suara yang dikeluarkan ini, buaya dapat memberitahu kepada buaya lainnya akan keberadaannya ataupun status reproduksinya agar dapat mencari pasangan untuk berkembang biak. Suara tersebut sekaligus memberitahu buaya lainnya akan wilayah teritorinya,” ujar Prof Ronny.

Sebagai contoh, para peneliti ini berhasil menjelaskan jenis suara yang disebut Geysering narial. Suara ini berasal dari hidung ketika buaya berada di dalam air sambil menyemburkan air ke udara. Jenis suara ini terjadi ketika buaya sedang berpacaran.

Menurut Prof Ronny, penemuan berbagai jenis suara buaya dan sekaligus makna dari setiap suara ini membuka cakrawala baru. Hal itu dapat digunakan untuk mengetahui ukuran buaya, tingkah laku, status kesehatannya dan lainnya. 

“Menjadi semakin menarik ketika kita mencoba menjawab pertanyaan mengapa buaya yang hidup saat ini lebih sering mengeluarkan suara dengan memanfaatkan media air daripada langsung dari organ suaranya? Penggunaan media air dan memadukannya dengan suara dan gerakan merupakan contoh adaptasi buaya yang luar biasa, yang memungkinkannya untuk bertahan dan berkembang biak,” terang dia.

Menurut para peneliti, dari segi evolusi buaya yang hidup saat ini pohon evolusinya mulai mengalami percabangan sekitar 240 juta tahun lalu dengan nenek moyang buaya yang dikenal dengan archosaur. Para peneliti sepakat bahwa burung mengalami evolusi sekitar 66-69 juta tahun yang lalu yang menghasilkan syrinx yang berfungsi untuk menghasilkan suara. Dengan adanya syrinx ini memungkinkan burung mengeluarkan suara yang lebih rumit yang digunakan sebagai alat komunikasinya.

“Temuan ini tentunya membuka lebar pintu untuk menguak misteri dunia buaya lebih dalam lagi agar dapat mengerti dan menjelaskan mengapa buaya yang hidup sejak zaman dinosaurus ini masih dapat bertahan hidup sampai saat ini. Kemampuan beradaptasi di lingkungan yang ekstrim memang merupakan salah satu kunci untuk mempertahankan keberadaan buaya di muka bumi. Namun kemungkinan ada faktor lain seperti kemampuan berkomunikasi yang juga berperan sangat besar,” urai Prof Ronny.

Menurutnya, keberhasilan para peneliti Australia dalam mengungkap misteri bahasa buaya ini tentunya akan sangat bermanfaat dan menentukan keberhasilan program konservasi baik di penangkaran maupun di alam liar