News

Jenis kelamin dalam industri peternakan merupakan salah satu faktor yang  sangat menentukan keberhasilan suatu usaha peternakan. Di dalam dunia peternakan, umumnya ternak betina menghasilkan produk yang kini banyak dibutuhkan (seperti susu dan telur). 

Sedangkan ternak jantan berperan dalam penentuan mutu genetik anak-anaknya. Khusus untuk ternak pedaging seperti sapi, kerbau, domba dan kambing.

Menurut Prof Ronny Rachman Noor, Guru Besar Fakultas Peternakan, IPB University, ternak jantan memang memiliki badan yang lebih besar dan pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan ternak betina. Namun ternak jantan memakan biaya produksi (pemeliharaan) yang lebih mahal karena tidak beranak.

“Oleh sebab itu, keberhasilan suatu usaha peternakan akan sangat ditentukan oleh proporsi ternak dengan jenis kelamin jantan dan betina yang optimal,” ujarnya.

Menurutnya, pada industri unggas, biasanya Day Old Chicks (DOC) jantan yang baru menetas dimusnahkan karena tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi jika dipelihara lebih lanjut. "Jadi dapat dibayangkan berapa ratusan milyar anak ayam jantan yang dimusnakan setiap tahunnya,” lanjut Prof Ronny. 

Prof Ronny menjelaskan bahwa riset para pakar genetika ternak saat ini mulai mengarah pada cara mengatur jenis kelamin anak untuk tujuan tertentu. Misalnya hanya dihasilkan keturunan dengan jenis kelamin betina saja. Pemikiran ini memang mendapatkan dukungan dari berbagai pihak termasuk penyayang binatang karena jika hal ini memungkinkan, maka tidak perlu lagi anak ayam jantan dimusnahkan. Pola pemikiran seperti ini tidak saja hanya berlaku pada industri perunggasan, namun juga pada industri persusuan dan industri ternak lainnya.
“Dengan adanya perkembangan genetika molekuler yang disebut dengan pengeditan gen (gene editing) atau yang dikenal dengan CRISPR-Cas9, kini memungkinkan untuk memastikan jenis kelamin ternak yang akan dihasilkan. Apakah semuanya akan betina saja atau sebaliknya jantan saja,” kata Prof. Ronny.

Pada sebagian besar ternak mamalia, penentuan jenis kelamin ditentukan oleh keberadaan kromosom seks X dan Y. Seekor ternak betina akan memiliki sepasang kromosom seks X (XX), sedangkan ternak jantan memiliki satu  kromosom X dan satu kromosom Y (XY).

“Dengan mengkombinasikan pengetahuan penentuan jenis kelamin ini dan teknik pengeditan gen, kini  para peneliti genetika ternak telah berhasil menghasilkan embrio tikus yang mengandung molekul editing gen yang telah dinonaktifkan. Sehingga dalam perkembangan embrio lebih lanjut, jenis kelamin tertentu dapat dibuat,” paparnya lagi.

Prof Ronny menjelaskan bahwa inaktivasi gen yang akan berkembang menjadi jenis kelamin tertentu ini dilakukan dengan cara menyisipkan molekul editing gen yang sudah diedit serta mengintegrasikannya ke kromosom X dan Y pejantannya. Separuh molekul gen yang telah dinonaktifkan ini selanjutnya dintegrasikan ke kromosom X induk betina dan separuhnya lagi ke kromosom Y induk jantan. Ketika terjadi pembuahan, separuh molekul editing gen inaktif yang ada di kromosom Y bergabung dengan yang ada di kromosom X. Dan akan menghasilkan embrio dengan kombinasi kromosom seks XY.

Menurutnya, dalam keadaan normal, embrio dengan kromosom XY ini akan berkembang menjadi indvidu jantan. Namun karena adanya penggabungan molekul editing gen sebelumnya, maka perkembangan embrio selanjutnya akan terhambat dan tidak berkembang menjadi individu. Namun sebaliknya, jika embrio ini betina (mengandung kromosom XX), tidak memiliki molekul editing gen dari induk jantan, maka embrionya terus berkembang menjadi individu betina.

“Jadi, dengan teknologi terbaru ini, kita akan dapat menentukan jenis kelamin anak yang dihasilkan secara pasti,” jelas Prof Ronny.
Lebih lanjut lagi, Prof Ronny mengatakan bahwa saat ini, para peneliti genetika ternak sedang berlomba untuk mengembangkan teknologi ini untuk berbagai jenis ternak. Ini karena teknologi yang akan diterapkan dalam penentuan jenis kelamin ini akan berbeda untuk jenis ternak yang berbeda.

“Salah satu Lembaga penelitian yang tahapan penelitian sudah sangat maju dalam pengeditan gen pada ternak adalah Roslin Institute di Edinburgh. Lembaga penelitian ini dulu di era tahun 1990 an juga terkenal dengan terobosan kloning sel somatik yang menghasilkan domba Dolly,” paparnya.

Menurut Prof Ronny, teknologi pengeditan gen memang masih menimbulkan pro dan kontra di berbagai negara karena masih dianggap sebagai rekayasa genetik. Namun, negara-negara yang kini sudah setuju dengan pengembangan teknologi ini untuk ternak, beranggapan bahwa teknologi pengeditan gen bukanlah rekayasa genetik karena meniru proses alami gennya itu sendiri.

“Ke depan, teknologi gen editing ini tentunya akan semakin maju yang memungkinkan diterapkannya secara luas dalam industri peternakan. Tujuannya untuk meningkatkan produksi daging, susu dan telur yang sangat dibutuhkan oleh dunia sebagai pangan lengkap yang berguna bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia,” tutupnya (ipb.ac.id)

Prof Nahrowi Guru Besar Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB University mengungkapkan permasalahan pakan sapi ke depan adalah pada teknologi pasca panennya.
Ia menyebutkan harus ada strategi pengelolaan hijauan pakan untuk ketahanan pakan ternak ruminansia. Terlebih semakin hari kebutuhan pakan ternak kian meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk. Namun karena terdapat isu akses dan harga, pemakaian bahan pakan di industri ikut menurun karena kurangnya ketersediaan.

Menurutnya, formulator memerlukan strategi khusus untuk mencari bahan pakan jagung sebagai hijauan. Harus diwaspadai juga bahwa jagung sebagai pakan ternak harus menguntungkan bagi petani. "Saya jelaskan bahwa ini perlu aturan, perlu arahan agar nanti jangan semuanya ke arah hijauan karena kebutuhannya memang besar,” jelasnya dalam Webinar Propaktani “Budidaya Jagung Tebon (Panen Muda) Sebagai Pakan Hijauan Sapi” yang diadakan oleh Kementerian Pertanian RI (29/11).

Ia menjelaskan bahwa harus ada upaya harmonisasi agar petani dan peternak sama-sama untung. Jagung merupakan sumber pakan yang sangat berkualitas namun terjadi penurunan penggunaannya. Kunci pemakaian bahan pakan yang harus diperhatikan yakni jaminan kualitas, ketersediaan dan jaminan harga. Peternak akan lebih tahan banting bila menggunakan bahan pakan lokal ketimbang impor.

“Pertama ketersediaan dulu. Bagaimana kita bisa menyediakannya secara berkesinambungan dengan harga yang bersaing dan kualitas di setiap peternak itu punya standar untuk membeli jagung tadi,” sebutnya.
Menurutnya, jagung sebagai bahan hijauan pakan menjadi salah satu sumber protein dan energi yang baik bagi ruminansia. Di Indonesia saat ini, masih miskin produk hijauan pakan yang memiliki kandungan nutrisi yang cukup baik.

“Produksinya masih mengandalkan musim sehingga harus ada teknologi penyimpanan yang baik. Belum lagi kondisi pengolahan pasca panen di Indonesia masih banyak perbaikan. Terutama bila bisnis hijauan pakan Indonesia ingin maju,” ujarnya.
Ia menambahkan teknologi pasca panen secara tersistem harus segera diterapkan. Mengingat teknologi pengolahan hijauan masih belum efisien. 

“Maka dari itu, saya rekomendasikan untuk hijauan pertama kita jadikan silase karena biasanya diproduksi di musim hujan. Bila sudah memasuki musim panas akan kita keringkan. Saya menilai teknologi ensilase yang lebih ekonomis,” ujarnya.
Harga dan kualitas hijauan, lanjutmya, juga masih bervariasi terutama pada musim kemarau. Perlu untuk mencari jalan agar permasalahan ini tidak terus terjadi. Rantai pasok dan sistem transportasi juga masih sembarangan sehingga harga cenderung tidak stabil. Begitu pula dengan manajemen penyimpanannya yang kurang baik.

Padahal, imbuhnya, pemberian pakan yang berkualitas sangat mempengaruhi produktivitas dari ruminansia. Hal ini menyebabkan produksi daging potong dan susu Indonesia masih rendah.
“Kita perbaiki dengan penerapan teknologi pasca panen, penerapan teknologi ensilase. Ini teknologi yang sangat saya rekomendasikan untuk hijauan. Jika teknologi ini sudah semua (diterapkan) maka kita bisa menyediakan pakan dengan baik,” tambahnya. (ipb.ac.id)

Menurutnya, teknologi ensilase tidak memerlukan investasi yang besar. Namun teknologi ini belum berkembang di Indonesia padahal dapat diterapkan pada produk jagung. Dukungan terhadap program dari Direktorat Pakan dengan membuat bank pakan di berbagai wilayah juga penting. Bank pakan ini dapat menjadi sentra produksi pakan. Didukung juga dengan digitalisasi sistem logistik dan informasi pakan