News

Risiko terjadinya kerugian materil akibat perubahan iklim memang perlu diperhatikan. Investasi yang dibangun oleh pengusaha dapat dilindungi oleh asuransi yang berkaitan dengan bencana. Asuransi tersebut merupakan solusi praktis dan politis yang ditawarkan pemerintah maupun swasta. Ini karena menyangkut isu global (seperti trading) dalam industri karena dampaknya sangat luas.

Asuransi juga dapat bersifat berkelanjutan karena tak hanya memperhatikan aspek ekonomi, namun juga sosial dan lingkungan. Dengan semakin banyak pengetahuan peternak akan kenyamanan berusaha, diharapkan jasa asuransi dapat diterapkan pada semua komoditas ternak dan juga bagi peternak yang mengalami risiko dalam bekerja. Selain itu asuransi juga bertindak sebagai pelayanan publik yang wajib diberikan oleh pemerintah.

Berkenaan dengan hal tersebut, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA) bekerja sama dengan IPB University mengadakan webinar dengan mengambil tema "Kebijakan Berbasis Evidence dalam Asuransi Ternak dan Peternaknya”, (08/04). Kegiatan tersebut digelar untuk memberikan pandangan serta analisis dan menemukan solusi terhadap permasalahan di sektor peternakan khususnya dari segi peternakan dan peternaknya.

Ir Fini Murfiani M Si, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa sampai saat ini asuransi usaha ternak yang diadakan baru dikhususkan untuk satu komoditas yakni sapi dan kerbau, yakni Asuransi Usaha Ternak Sapi/Kerbau (AUTSK). Asuransi tersebut dikomunikasikan melalui Jasindo (Asuransi Jasa Indonesia) sebagai penyedia jasa asuransi ternak.

Pengadaan AUTSK tersebut dimaksudkan untuk memberikan ketentraman pada peternak sehingga dapat mengelola usahanya dengan lebih baik. Peternak dapat memindahkan ketidakpastian risiko kerugian yang bernilai besar melalui pengalihan risiko dengan premi berbayar yang relatif kecil. Sumber pembiayaan premi dapat berasal dari swadaya, kemitraan, perbankan, pemerintah daerah maupun  Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Tahun 2021, pemerintah pusat telah menyiapkan 150 ribu ekor sapi/kerbau betina produktif senilai 24 milyar. Besar premi yang dibebankan yakni 2 persen dari nilai pertanggungan sedangkan bantuan premi yang diberikan pemerintah yakni sebesar 80 persen, sisanya dibayar peternak.

Saat ini terdapat dua kinerja asuransi AUTSK yakni dengan bantuan premi dan mandiri. Ia menyebutkan bahwa dana APBN bersifat sebagai pemantik saja karena jumlah sapi dari bantuan mandiri sudah cukup besar. Jumlah pertumbuhan  per tahun dengan bantuan mandiri tersebut juga dinilai signifikan sehingga dapat disimpulkan bahwa para peternak telah menyadari pentingnya asuransi dan nilai pertanggungan yang mereka inginkan.

“Harapan dan tantangan ke depan yakni cakupan komoditas tadi, fitur-fitur komoditas lainnya seharusnya patut kita kembangkan. Di antaranya untuk kambing, domba, dan unggas. Minimal dalam waktu dekat ini kambing dan domba. Tentunya melalui skema yang spesifik untuk komoditas,” ungkapnya.

Prof  Muladno, Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan selaku anggota AIPI turut menjelaskan bagaimana peran asuransi dalam industri peternakan rakyat maupun skala industri. Asuransi tersebut lebih ditekankan bagi populasi ternak indukan di Indonesia yang memiliki masa hidup lebih lama. Hal tersebut menjadi pertimbangan karena indukan berperan sebagai sumber perkembangbiakan baik sapi, kambing maupun ayam ras. Selain itu, mayoritas peternak sapi indukan merupakan peternak kecil.

“Untuk relevansinya, bagaimana bila pemerintah mempunyai program-program asuransi yang dapat diterapkan pada semua komoditas. Karena selama ini subsidi yang diberikan pada peternak terbatas hanya bagi peternak sapi saja, ”jelasnya.

Ia memperkirakan ada banyak manfaat yang bisa dirasakan peternak kecil bila sapi indukan diasuransikan. Di antaranya peningkatan populasi sapi, perhitungan jumlah sapi indukan menjadi lebih akurat, program pembiakan lebih mudah dilakukan, dan kebijakan dalam pengembangan peternakan lebih tepat. Selain itu, dalam jangka panjang, program pembibitan dapat juga diterapkan. Lebih lanjut, penggunaan dana untuk subsidi asuransi lebih baik daripada untuk pengadaan sapi indukan yang seringkali berumur pendek

Pemanasan global membuat suhu bumi semakin meningkat. Kondisi ini  menyebabkan penurunan produktivitas dari sektor pertanian dan peternakan. Jika terus dibiarkan, pemanasan global akan mengancam food security. Namun di sisi lain, sektor peternakan juga ikut menyumbang dalam proses pemanasn global. “Emisi gas rumah kaca sektor pertanian menyumbang 24 persen dari total gas rumah kaca. Sementara itu Gas Metana dari peternakan saja sudah menyumbang sebanyak 16 persen. Peternakan penyumbang nomor dua emisi gas rumah kaca. Akumulasi gas metan terus meningkat secara drastis,” ungkap Dr Anuraga Jayanegara dalam Webinar Potensi Green Bisnis dalam Dunia Peternakan yang diselanggarakan oleh Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Terbuka (10/4).

Dr Anuraga merupakan Pakar Teknologi Pakan Ternak sekaligus Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan (Fapet) IPB University. Menurutnya isu peternakan yang paling utama adalah produktivitas pangan yang memadai. Kedua adalah kualitas dari produk peternakan. Bukan hanya mencukupi secara kualitas tapi kuantitas.

“Ketiga adalah isu lingkungan yang berkaitan dengan emisi metan. Isu lingkungan ini yang banyak dibicarakan dan perlu dicari solusinya. Selain menyebabkan global warming, gas metan ini menyebabkan ternak kehilangan energi sebanyak empat sampai 16 persen. Jika proses ini bisa dikurangi maka produktivitas ternak bisa ditingkatkan,” ujarnya.

Menurutnya, ada tiga tahap penting yang bisa mengurangi produksi gas metana di bidang peternakan. Yakni menurunkan produksi hidrogen. Lalu dicari alternatif pengganti hidrogen. Dan yang terakhir adalah menghambat metanogen sebagai mikroba yang memproduksi gas metana.

“Mitigasi emisi ini pertama adalah menggunakan zat adaptif alami yaitu polifenol. Zat ini berfungsi sebagai anti mirkoba yang menghambat metanogen. Kami sudah melakukan penelitian dari tahun 2008 hingga sekarang terkait hal ini. Hasilnya adalah gas metan akan berkurang saat pakan dicampurkan dengan polifenol,” ungkap Dr Anuraga.

Ia menjelaskan bahwa penambahan zat polifenol memberikan efek yang sinergitis. Saat gas metan turun ternyata akan menambah nilai ternak, baik secara kualitas dan kuantitas. Keuntungan pertama adalah berat badan naik sekitar 0,35 kilogram (kg) per ekor per hari. Penggunaan zat polifenol juga menambah keuntungan peternak sebanyak 500 rupiah per kilogram pakan.

Ekstrak polifenol menambah kualitas produk peternakan. Pengurangan gas metan dapat mengurangi asam lemak jenuh yang berbahaya bagi kesehatan. Daging ternak akan lebih banyak mengandung lemak tidak jenuh yang bagus untuk kesehatan. Kualitas daging yang dihasilkan peternak akan semakin baik dengan inovasi ini.

Produk inovasi untuk membuat ekstrak polifenol ini tidak sulit untuk diproduksi. Salah satunya  adalah dengan memanfaatkan limbah pengolahan kulit kayu. Limbah ini mengandung polifenol yang tinggi, salah satu yang paling bagus adalah kayu akasia.

Kayu ini diekstrak dari dari potongan limbah kayu. Caranya dengan direbus dalam suhu tinggi dan diambil airnya. Selanjutnya ditepungkan dan diekstrak sampai siap digunakan  dalam bentuk cair.

“Kami juga terus berupaya agar inovasi ini bisa sampai di masyarakat. Salah satunya adalah melakukan diseminasi inovasi bekerja sama dengan bebera lembaga industri peternakan. Selain itu kami juga mengikuti kegiatan expo pengenalan inovasi–inovasi teknologi peternakan. Perlu upaya upaya kolaboratif agar inovasi ini bisa terus dikembangkan dan bisa dimplementasikan di masyarakat (ipb.ac.id)