News

Fakultas Peternakan (Fapet) IPB University jalin kerjasama dengan perusahaan yang bergerak di bidang agroindustry yaitu  PT. Prima Agrostis Nusantara (PAN).  Penandatanganan Perjanjian Kerjasama (PKS) ini berlangsung di Ruang Sidang Fakultas Peternakan, Kampus IPB Dramaga, (2/5). 

Dekan Fakultas Peternakan IPB University, Dr Idat Galih Permana menyampaikan kegiatan kerjasama sebelumnya sudah berjalan dengan PT. Santana Manggala Karya (SMK)  yaitu pengelolaan budidaya sorghum dan pengelolaan produksi hijauan. PT. SMK sendiri merupakan induk perusahaan PT. PAN. “Skema kerjasama akan dilaksanakan dalam kerangka kegiatan akademik, riset, mahasiswa magang dan dosen bisa difasilitasi” jelasnya yang juga berharap agar kerjasama ini bisa semakin berkembang serta memberikan manfaat dan berkah bagi kita semua.

Adam Mirza, Direktur PT. PAN yang hadir pada kegiatan tersebut memberikan apresiasi yang besar dalam kerjasama ini. “Mewakili PT SMK yang melahirkan PT. PAN, kami ingin menyampaikan terima kasih kepada Fakultas Peternakan, bagi kami ini menjadi sebuah sarana bagi untuk belajar karena orientasi kami tidak hanya murni bisnis” ungkapnya seraya menambahkan bahwa konsep industrialisasi akan diterapkan di luar. Adam juga berharap teaching factory yang sudah ada bisa menghasilkan tenaga ahli ”Ada fasilitas di jonggol yang bisa dimanfaatkan untuk indigofera, harapannya kita bisa produksi sendiri. Kepentingannya untuk pendidikan, kami siap menampung tenaga ahli lulusan IPB untuk mengejar target IKU”urainya.

Poin-poin kerjasama dijelaskan oleh Wakil Dekan Bidang Sumberdaya, Kerjasama dan Pengembangan Fapet IPB Dr. Sri Suharti,  “Fapet menyediakan dan memfasilitasi lahan di Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) kepada PT. PAN untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan produksi Produk Sorinfer. Sedangkan PT. PAN melakukan serangkaian pengelolaan produksi dan usaha penjualan produk sorinfer sesuai dengan standard operational prosedure/SOP sistem produksi pakan” jelasnya.

 

Penandatangan perjanjian kerjasama ini juga disaksikan oleh Guru Besar Fapet IPB, Prof. Luki Abdullah yang merupakan tenaga ahli yang juga mengembangkan Sorinfer. Pada kesempatan tersebut, Prof. Luki turut menyampaikan apresiasi untuk PT. PAN yang nantinya akan sangat membantu untuk program capstone sehingga mahasiswa bisa belajar beberapa SKS di perusahaan ini. (Femmy).

Australia merupakan salah satu negara utama dunia penghasil daging dan susu. Tidak heran jika jumlah ternak di Australia sangat banyak. Sebagai gambaran, total sapi di Australia sebanyak 24,4 juta ekor dan jumlah domba mencapai 68 juta ekor.

Menurut Guru Besar IPB University, Prof Ronny Rachman Noor dengan jumlah ternak sebanyak itu, salah satu masalah serius yang dihadapi dunia peternakan Australia adalah pencurian ternak yang menimbulkan kerugian yang sangat besar.

“Korban pencurian ternak ini umumnya adalah peternak yang tinggalnya di wilayah terpencil. Dari data resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Australia, setiap tahunnya diperkirakan terjadi pencurian ternak sebanyak 31 ribu ekor yang menimbulkan kerugian sebesar AUD $ 50 juta atau setara dengan Rp. 498.594.250.000,” ujar Prof Ronny.

Lebih lanjut, ia memberikan contoh bahwa tingkat pencurian ternak di wilayah negara bagian New South Wales, salah satu sentra peternakan Australia, pada periode tahun 2015 sampai dengan 2020 telah terjadi pencucian domba sebanyak 16.700 ekor dan sapi sebanyak 1.800 ekor.

“Jika kita membayangkan peternakan di Australia, sebaiknya kita tidak membayangkan peternakan seperti di Indonesia yang jumlah ternaknya rata-rata 1-3 ekor saja per peternak dan umumnya dikandangkan,” ungkap dosen IPB University dari Fakultas Peternakan (Fapet) ini.

Sementara di Australia, sebut dia, ternak sapi dan domba umumnya dipelihara secara ekstensif di area yang sangat luas dan biasanya cukup terpencil. Kondisi inilah yang memungkinkan para pencuri dengan leluasa menjarah ternak.

Terkait dengan pencurian ternak ini, Prof Ronny mengatakan, “Sebenarnya hukum di Australia sudah cukup keras bagi para pencuri ternak ini karena jika pencuri tertangkap dan diproses di pengadilan, maka pelakunya dapat dihukum sampai dengan 14 tahun,” tuturnya.

Sebagai contoh, pada salah satu kejadian, para pencuri berhasil menggondol 700 ekor domba senilai AUD $140.000 atau senilai Rp 1.396.063.900. Menurutnya, dengan skala pencurian sebesar ini, dapat dipastikan para pencuri memiliki perencanaan yang matang dan menggunakan truk pengangkut ternak.

“Kemungkinan mereka juga memiliki informasi yang cukup canggih untuk menentukan waktu pencurian yang tepat sehingga tidak diketahui oleh pemiliknya.”

Di samping itu, lanjutnya, agar tidak menimbulkan kegaduhan dan suara dari ternak yang dicurinya, sudah dipastikan para pencurinya memahami betul cara menangani domba agar ketika dipindahkan ke truk ternak yang dicuri tidak rebut.

Prof Roni menyebut, pihak kepolisian yang menangani pencurian ternak di Australia ini memang mengalami kesulitan karena peternak tidak mengetahui secara pasti kapan ternaknya dicuri. Selain itu, tidak setiap hari ternak mereka dikumpulkan, melainkan hanya pada waktu tertentu saja dalam kurun waktu setahun.

“Guna mengatasi semakin meluasnya pencurian ini di Australia, kini dikembangkan nomor telinga ternak yang terhubung dengan Global Positioning System (GPS). Nomor telinga canggih ini dapat melacak pergerakan ternak yang dicuri sekaligus menginformasikan lokasinya dengan menggunakan satelit,” tutur Prof Ronny.

Dengan menggunakan nomor telinga canggih ini peternak dapat memonitor pergerakan ternaknya. Jika terjadi pergerakan ternak yang cepat maka para peternak dapat langsung melaporkannya pada polisi karena kemungkinan terjadi pencurian ternak di peternakannya. Selanjutnya polisi dapat menggunakan data GPS tersebut untuk melacak ternak yang dicuri.

“Teknologi lain yang digunakan oleh Australia untuk mengatasi pencurian ternak ini adalah teknologi pengenalan wajah yang khusus dikembangkan untuk ternak yang berbasis teknologi kecerdasan buatan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi ternak secara individu,” ujar Prof. Ronny.

Menurut Prof Ronny teknologi teknologi pengenalan wajah untuk ternak ini memfokuskan variasi bentuk moncongnya. Hidung sapi memiliki bentuk yang berbeda-beda satu sama lain, sehingga dapat digunakan sebagai pembeda sebagaimana halnya dengan sidik jari pada manusia.

“Penggunaan teknologi canggih seperti teknologi pengenalan wajah pada ternak memang masih dalam pengembangan. Namun tampaknya ke depan teknologi ini sangat diperlukan karena paling tidak akan mengurangi tingkat pencurian ternak sapi dan domba di Australia yang jumlahnya pada taraf yang sangat mengkhawatirkan,” pungkasnya (ipb.ac.id)