IPBSDG13

  • Alumni IPB University: Peluang Pengembangan Biogas Masih Sangat Tinggi

    Fakultas Peternakan (Fapet) IPB University mengadakan Green Campus Movement untuk mendukung visi green campus IPB University, (11/10). Green Campus Movement dilaksanakan dalam bentuk webinar dengan diikuti oleh mahasiswa dan masyarakat umum.
     
    “Webinar ini diselenggarakan untuk mendukung program kampus hijau IPB University. Kami berharap, kegiatan ini bisa memberikan pemahaman kepada mahasiswa dan masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan,” jelas Rika Fahira, Ketua Pelaksana Green Campus Movement.
     
    Terkait pengolahan limbah, Alumni IPB University, Dr Sri Wahyuni menjelaskan salah satu limbah potensial untuk diolah adalah limbah peternakan. Limbah peternakan ini sangat melimpah dan generasi muda dapat memanfaatkan peluang tersebut.
     
    “Semua yang di peternakan tidak ada yang terbuang. Pasalnya limbah kotoran dari hewan ternak atau hasil ekskresi akhir dari hewan ternak seperti sapi, kambing, domba dan ayam dapat dimaanfaatkan sebagai biogas,” ungkap Sri yang saat ini menjadi Direktur PT Swen Inovasi Transfer.
     
    Lebih lanjut Sri mengatakan potensi biogas di Indonesia sangat tinggi. Sejauh ini, pemasangan biodigester di Indonesia masih berkisar 16 ribu unit sementara di China sudah mencapai 35 juta unit.
     
    “Biogas ini menjadi alternatif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, karena gas metan yang dihasilkan dari buangan peternakan menjadi pemasok gas rumah kaca terbesar,” kata Sri.
     
    Sebagai upaya menjaga konsistensi penerapan green life style, Chintia Kusumarani, Miss Earth Indonesia 2019, mengajak para mahasiswa dan masyarakat untuk menerapkan gaya hidup hijau sehari-hari. Hal tersebut dapat diimplementasikan dengan beberapa hal kecil seperti mengurangi penggunaan plastik dan menghemat listrik. (kumparan.com)
  • Dr Anuraga Berhasil Kurangi Produktivitas Gas Metan di Bidang Peternakan dengan Memanfaatkan Kayu Akasia

    Pemanasan global membuat suhu bumi semakin meningkat. Kondisi ini  menyebabkan penurunan produktivitas dari sektor pertanian dan peternakan. Jika terus dibiarkan, pemanasan global akan mengancam food security. Namun di sisi lain, sektor peternakan juga ikut menyumbang dalam proses pemanasn global. “Emisi gas rumah kaca sektor pertanian menyumbang 24 persen dari total gas rumah kaca. Sementara itu Gas Metana dari peternakan saja sudah menyumbang sebanyak 16 persen. Peternakan penyumbang nomor dua emisi gas rumah kaca. Akumulasi gas metan terus meningkat secara drastis,” ungkap Dr Anuraga Jayanegara dalam Webinar Potensi Green Bisnis dalam Dunia Peternakan yang diselanggarakan oleh Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Terbuka (10/4).

    Dr Anuraga merupakan Pakar Teknologi Pakan Ternak sekaligus Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan (Fapet) IPB University. Menurutnya isu peternakan yang paling utama adalah produktivitas pangan yang memadai. Kedua adalah kualitas dari produk peternakan. Bukan hanya mencukupi secara kualitas tapi kuantitas.

    “Ketiga adalah isu lingkungan yang berkaitan dengan emisi metan. Isu lingkungan ini yang banyak dibicarakan dan perlu dicari solusinya. Selain menyebabkan global warming, gas metan ini menyebabkan ternak kehilangan energi sebanyak empat sampai 16 persen. Jika proses ini bisa dikurangi maka produktivitas ternak bisa ditingkatkan,” ujarnya.

    Menurutnya, ada tiga tahap penting yang bisa mengurangi produksi gas metana di bidang peternakan. Yakni menurunkan produksi hidrogen. Lalu dicari alternatif pengganti hidrogen. Dan yang terakhir adalah menghambat metanogen sebagai mikroba yang memproduksi gas metana.

    “Mitigasi emisi ini pertama adalah menggunakan zat adaptif alami yaitu polifenol. Zat ini berfungsi sebagai anti mirkoba yang menghambat metanogen. Kami sudah melakukan penelitian dari tahun 2008 hingga sekarang terkait hal ini. Hasilnya adalah gas metan akan berkurang saat pakan dicampurkan dengan polifenol,” ungkap Dr Anuraga.

    Ia menjelaskan bahwa penambahan zat polifenol memberikan efek yang sinergitis. Saat gas metan turun ternyata akan menambah nilai ternak, baik secara kualitas dan kuantitas. Keuntungan pertama adalah berat badan naik sekitar 0,35 kilogram (kg) per ekor per hari. Penggunaan zat polifenol juga menambah keuntungan peternak sebanyak 500 rupiah per kilogram pakan.

    Ekstrak polifenol menambah kualitas produk peternakan. Pengurangan gas metan dapat mengurangi asam lemak jenuh yang berbahaya bagi kesehatan. Daging ternak akan lebih banyak mengandung lemak tidak jenuh yang bagus untuk kesehatan. Kualitas daging yang dihasilkan peternak akan semakin baik dengan inovasi ini.

    Produk inovasi untuk membuat ekstrak polifenol ini tidak sulit untuk diproduksi. Salah satunya  adalah dengan memanfaatkan limbah pengolahan kulit kayu. Limbah ini mengandung polifenol yang tinggi, salah satu yang paling bagus adalah kayu akasia.

    Kayu ini diekstrak dari dari potongan limbah kayu. Caranya dengan direbus dalam suhu tinggi dan diambil airnya. Selanjutnya ditepungkan dan diekstrak sampai siap digunakan  dalam bentuk cair.

    “Kami juga terus berupaya agar inovasi ini bisa sampai di masyarakat. Salah satunya adalah melakukan diseminasi inovasi bekerja sama dengan bebera lembaga industri peternakan. Selain itu kami juga mengikuti kegiatan expo pengenalan inovasi–inovasi teknologi peternakan. Perlu upaya upaya kolaboratif agar inovasi ini bisa terus dikembangkan dan bisa dimplementasikan di masyarakat (ipb.ac.id)

  • Fakultas Peternakan IPB IPB Gelar Webinar Green Campus Movement

    Fakultas Peternakan IPB University bekerjasama dengan BEM Fakultas Peternakan IPB menyelenggarakan kegiatan Webinar Green Campus Movementpada Minggu, 11 Oktober 2020 via Zoom Meeting.

    Kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan memberikan pemahaman dan kesadaran kepada mahasiswa tentang pentingnya menjaga lingkungan terutama kawasan kampus hijau, memberikan kesadaran dalam penerapan kebiasaan-kebiasaan baik yang ramah lingkungan, dan meningkatkan peran aktif mahasiswa dalam mempromosikan dan mengedukasi masyarakat sekitar dalam pengelolaan lingkungan yang lebih baik.

    Sebagai pembicara pertama Dr. Sri Wahyuni selaku Direktur Perusahaan Biogas PT. Swen Inovasi Transfer menyampaikan tema “Peluang usaha generasi muda dalam pemanfaatan limbah (Re-cycle).” Sri Wahyuni menjelaskan peran biogas dalam manfaatkan limbah kotoran ternak sekaligus menghasilkan energi bersih.

    Sementara itu, Miss Earth Indonesia 2019, Chintia Kusuma Rani menyampaikan tema “Meningkatkan peran generasi milenial sebagai agen perubahan dalam upaya penyelamatan lingkungan”. Chintia mengajak para muda milenial untuk bersama-sama bertanggungjawab terhadap keselamatan lingkungan. “Semua itu harus berawal dari hati kita sendiri, jadi mau orang lain bilang apa kita ya tetap pada pendirian kita, sampah itu tanggung jawab kita, bukan orang lain” ujarnya.

    Senada dengan Cinthia, Abdul Ghofar selaku Co-coordinator dari Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) yang menyampakan tema “Green lifestyle sebagai bentuk usaha penyelamatan lingkungan". Perilaku individu yang dilakukan secara konsisten, maka akan menjadi teladan bagi orang lain. Jika individu-individu yang sadar bergabung, maka akan mendorong perubahan.

    Dengan telah diselenggarakannya acara Green campus movementini diharapkan mahasiswa yang mengikuti dapat memahami dan menyebar luaskan tentang gerakan peduli lingkungan agar berdampak lebih luas kedepannya.

  • Mahasiswa IPB University Ciptakan Kandang Bebas Bau dengan Nanopartikel Perak

    Sebagian besar pemeliharaan ayam broiler di Indonesia masih menggunakan sistem kandang terbuka dan kurang memperhatikan sistem pembuangan dan pengolahan limbah kotoran. Sistem kandang terbuka pada peternakan tradisional menghasilkan bau berupa gas yang mencemari lingkungan, yaitu amonia. Gas amonia lebih dari 25 ppm akan berbahaya pada kesehatan, produktivitas, dan lingkungan kandang ayam.

    Mahasiswa IPB University, Ones Putra Hulu, Martina Sihombing dan Rios Hendri Saputro juga merasakan dan menyadari masalah tersebut. Kampung Sajira Barat dan Binjai Hulu adalah dua daerah dari sekian banyak daerah yang terkena pencemaran bau amonia peternakan. Para warga di sana protes dan menuntut ditutupnya peternakan tersebut.

    Berawal dari tukar pikiran dengan teknisi Fakultas Peternakan, ketiganya menemukan ide untuk menggunakan nanopartikel perak (AgNPs) sebagai solusi bau kandang. Tujuan pemberian AgNPs yaitu agar amonia sumber bau di kandang dapat dihilangkan dan ternak serta pekerja bisa merasa nyaman.

    “Berdasarkan informasi yang telah diperoleh, penelitian menggunakan nanopartikel perak masih jarang diteliti di Indonesia, terutama untuk ternak. Sementara beberapa peternakan sering digusur akibat bau kandang yang mencemari lingkungan selalu terjadi. Akhirnya kami mendapatkan informasi bahwa nanopartikel perak memiliki potensi untuk menghilangkan amonia itu,” ujar Ones.

    Rios menambahkan bahwa faktor pengaruh amonia adalah suhu, kelembapan, dan bakteri gram negatif penghasil enzim urease. Aplikasi nanoteknologi memungkinkan silver dibentuk menjadi ukuran nano sehingga mempunyai kemampunan anti mikrobia yang tinggi.
    Sebagai informasi, AgNPs biasanya dimanfaatkan sebagai suplemen multifungsi seperti antibiotik, antibakteri, antimikroba, antiseptik, densinfektan, dan penjernih air. Ada pula yang dapat meningkatkan performa ayam dan produksi telur. Fungsi lainnya adalah mampu membunuh berbagai macam bakteri, proses penyembuhan cepat terhadap penyakit tertentu. 

    “Kami mencoba menerapkan nanopartikel perak ini dengan dua bentuk, cairan dan kabut. Bentuk cairan diberikan sebagai minum ayam, sementara bentuk kabut disemprotkan di kandang saat siang hari. Alat kabut dimodifikasi agar dapat diterapkan di kandang ayam,” tutur Martina.

    Dari penelitian yang dilakukan Ones dan kedua rekannya, didapatkan hasil bahwa pemberian air minum dengan AgNPs 2 ppm adalah yang terbaik menurunkan amonia. Ketiganya menargetkan penerbitan jurnal sambil terus mengembangkan penelitian mereka. (ipb.ac.id)

  • Prof Anuraga Jayanegara: Lamtoro dan Kaliandra Bantu Turunkan Produksi Gas Metana Pada Ternak Ruminansia

    Ternak ruminansia berkontribusi secara signifikan terhadap laju akumulasi gas metana di atmosfer yang terkait dengan efek pemanasan global. Kontribusi ini berasal dari fermentasi enterik yang terjadi di dalam rumen dan usus besar ternak ruminansia secara anaerobik. 

    “Secara global, ternak ruminansia memproduksi lebih dari 80 juta ton gas metana setiap tahunnya. Di Indonesia, sapi pedaging merupakan kontributor terbesar emisi gas metana dari sektor peternakan. Ini karena populasinya yang dominan di antara ternak ruminansia besar lainnya,” ujar Prof Anuraga Jayanegara saat Konferensi Pers Pra Orasi Ilniah Guru Besar IPB University, (16/9).

    Dalam paparannya, Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University ini mengatakan bahwa sekitar 6-14 persen dari energi pakan yang dikonsumsi ternak ruminansia, dikonversi menjadi gas metana. Proporsi tersebut semakin tinggi pada ternak yang mengkonsumsi pakan berserat tinggi yang umumnya didapati di berbagai negara tropis, termasuk Indonesia. 

    “Dengan demikian, upaya mitigasi emisi gas metana tidak hanya bermanfaat bagi konservasi lingkungan dalam menurunkan laju pemanasan global. Tapi juga sebagai upaya menurunkan energi yang hilang dari ternak sehingga juga menunjang terhadap peningkatan produktivitas ternak ruminansia,” imbuh Profesor Termuda IPB University ini.

    Dalam risetnya, Prof Anuraga menemukan bahwa polifenol yang terdapat pada tanaman dapat digunakan untuk menekan emisi gas metana. Ada korelasi negatif antara kadar polifenol berupa tanin dalam hijauan dengan emisi gas metana. 

    “Artinya, pakan ternak yang ditambahkan tanaman mengandung tanin (yang sudah dipurifikasi) dapat menurunkan metana. Baik tanin terhidrolisis maupun tanin terkondensasi berkontribusi dalam mitigasi gas metana,” jelas dosen IPB University di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan ini.

    Menurutnya, penggunaan dua persen tanin di dalam pakan dapat menurunkan emisi gas metana sebesar 5,3 persen secara in vivo pada ternak ruminansia. 

    “Polifenol atau tanin juga memiliki efek lain yang bermanfaat terhadap ternak ruminansia. Tanin dapat meningkatnya produktivitas ternak ruminansia melalui proteksi protein dari degradasi rumen. Senyawa ini juga menekan infeksi nematoda saluran pencernaan sehingga meningkatkan status kesehatan ternak,” terangnya.

    Ia menambahkan, tanin juga dapat mempertahankan kualitas pakan fermentasi (silase) dengan cara menghambat proteolisis dan deaminasi yang terjadi selama proses fermentasi. Dan mampu meningkatkan konsentrasi sejumlah asam lemak yang bermanfaat terhadap kesehatan manusia pada daging dan susu. Seperti conjugated linoleic acid (CLA), asam lemak omega-3 dan asam lemak tak jenuh ganda. "Tanaman yang bisa dimanfaatkan untuk ini adalah kaliandra dan lamtoro, " ungkapnya

  • Prof Ronny R Noor: Ini Eranya Peternakan Ramah Lingkungan


    Peternakan merupakan industri strategis dalam mendukung ketersediaan protein hewani yang sangat bermanfaat bagi pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan manusia. Namun peternakan sering dituding sebagai salah satu sektor yang berperan dalam mendegradasi lingkungan terutama dalam menghasilkan gas metana, komponen utama dalam emisi gas rumah kaca (greenhouse gases).

    Menanggapi permasalahan lingkungan ini Prof Ronny Rachman Noor, Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan menyatakan, “Memang benar hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 100 tahun terakhir ini, dampak metana dalam pemanasan global 25 kali lebih besar dibandingkan  dengan CO2 atau karbondioksida”.  

    Dikatakannya, di dunia, sektor peternakan berkontribusi sekitar 14,5 persen dari total emisi gas rumah kaca tahunan yang dihasilkan dari aktivitas manusia.
    Prof Ronny selanjutnya menjelaskan bahwa ternak ruminansia (sapi, kerbau, domba dan kambing) menghasilkan gas metana dari aktivitas mikroba primitif yang dinamakan archaea yang ada di saluran pencernaan.  Bakteri ini dapat hidup dengan memanfaatkan hidrogen dan CO2 yang dihasilkan dari proses pencernaan pakan.

    “Sayangnya proses pemanfaatan hidrogen dan CO2 oleh bakteri ini menghasilkan gas metana yang biasanya dikeluarkan oleh ternak melalui mulut, pernafasan, kentut  dan mekanisme pengeluaran gas lainnya,” imbuhnya.

    Namun menurut Prof Ronny dalam kurun waktu 25 tahun terakhir ini teknologi peternakan mulai diarahkan untuk menanggulangi pencemaran udara dan juga lingkungan.
    Sebagai contoh penelitian di bidang nutrisi ternak telah menghasilkan teknologi tepat guna yang berdampak sangat besar bagi pengurangan gas metana yang dihasilkan.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian suplemen sebanyak 0,25-0,50 persen rumput laut merah jenis Asparagopsis taxiformis (tumbuh di sekitar pantai Australia) dari kebutuhan pakan harian sapi mengurangi secara drastis gas metan yang dihasilkan sebanyak  50 -74 persen dalam masa 147 hari pemberian suplemen pakan ini.
    “Para pakar nutrisi juga membuktikan bahwa pemberian rumput laut merah ini tidak saja mengurangi gas metana secara drastis namun juga meningkatkan konversi pakan sapi sehingga sapi mengalami peningkatan peningkatan pertambahan bobot badan hariannya,” lanjut Prof Ronny Rachman Noor.

    Prof Ronny menjelaskan lebih lanjut, menurut pakar teknologi lingkungan dan pakar nutrisi, temuan yang tampak sederhana ini memberikan harapan besar bagi upaya dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara drastic. Karena jika diterapkan pada industri peternakan maka dampaknya dapat  disetarakan dengan meniadakan 100 juta mobil yang ada di dunia saat ini dalam hal emisi gas yang dihasilkannya.

    Hasil penelitian pakar nutrisi juga menunjukkan bahwa Asparagopsis taxiformis mengandung bromoform yang berfungsi memutus rangkaian proses akhir pembentukan gas metana sehingga menghalangi terbentuknya gas metana.

    Penemuan ini tentunya membuka lebar peluang pembuatan pakan berbasis suplemen rumput laut terutama pada industri penggemukan sapi di feedlot dimana pemberikan pakannya disediakan setiap harinya tanpa digembalakan.

    “Dari hasil analisa berbagai hasil penelitian disimpulkan bahwa jenis sapi yang berbeda menghasilkan gas metana yang relatif hampir sama.

    Tampaknya pengurangan gas metana dari industri peternakan ini akan lebih efektif jika didekati melalui inovasi teknologi pakan dibandingkan dengan teknologi pembibitan alami untuk menghasilkan jenis sapi yang menghasilkan gas metan yang lebih rendah,” ujar Prof Ronny.

    Ke depan menurutnya, ditemukannya teknologi tepat guna yang berdampak besar pada pengurangan emisi gas rumah kaca ini akan menjadikan industri peternakan lebih ramah lingkungan (ipb.ac.id)