News

Tim peneliti dari Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (IPB) yang beranggotakan Prof. Dr. Ir. Sumiati, M.Sc, Arif Darmawan, SPt, M.Si, dan Ahmad Nurfaid melakukan penelitian tentang pengaruh penambahan ekstrak gambir dalam pakan sebagai sumber antioksidan dan antibiotik alami terhadap performa puyuh periode layer.

Prof. Sumiati mengatakan bahwa puyuh merupakan salah satu unggas yang prospektif untuk dikembangkan karena daging dan telurnya dapat menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan sumber protein. Salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas puyuh salah satunya adalah pakan. Oleh karena itu, keseimbangan nutrien dalam menyusun ransum harus diperhatikan. Kondisi suhu dan kelembaban lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap performa puyuh. Puyuh dapat bereproduksi optimal pada suhu 20°C-25°C dengan kelembaban 30-80%. Paparan panas yang berlebih pada puyuh dapat menyebabkan stres dan timbulnya radikal bebas, sehingga berdampak pada penurunan produktivitas dan performa puyuh.

“Biasanya untuk mengatasi radikal bebas tersebut, peternak menggunakan antibiotik. Namun, penggunaan antibiotik sintetik mulai dilarang karena residu dalam produk tersebut yang akan membahayakan apabila dikonsumsi oleh manusia,” tambahnya.

Oleh karena itu, penggunaan antioksidan alami merupakan salah satu cara alternatif untuk menekan radikal bebas. Salah satu bahan alami yang dapat digunakan sebagai alternatif sumber antioksidan dan antibiotik adalah gambir. Ekstrak gambir mengandung senyawa polifenol, yang salah satunya adalah flavonoid. Ekstrak gambir ini juga sudah banyak dimanfaatkan dalam industri farmasi, pewarna tekstil, biopestisida, maupun kosmetik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak gambir dapat digunakan sebagai sumber antioksidan dan antibiotik alami pada puyuh. Penambahan ekstrak gambir 0.2% dalam pakan menunjukkan hasil performa yang lebih baik dibandingkan dengan penambahan ekstrak gambir 0.1% dan 0.3%. Penambahan ekstrak gambir dalam pakan sebanyak 0.2% menghasilkan produksi telur yang lebih tinggi, produksi massa telur yang lebih tinggi, serta bobot telur yang lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan tanpa pemberian ekstrak gambir.(ipb.ac.id)

Guru Besar Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (Fapet-IPB), Prof. Dr. Asnath Maria Fuah mengatakan bahwa pemanfaatan lahan, tanaman dan ternak berbasis integrasi mampu meningkatkan keuntungan sebesar 10-100 persen dibandingkan dengan tanpa integrasi. Hal ini disampaikannya saat Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah di Kampus IPB Baranangsiang (19/7). 

Contohnya adalah integrasi satwa harapan di wilayah perkotaan atau livestock urban farming. Sistem integrasi kopi-lebah madu (sinkolema) mampu meningkatkan produksi madu mencapai 114 persen. Hasil ini lebih tinggi dari produksi madu dari lebah yag dipelihara di luar kawasan integrasi. Produksi biji kopi meningkat sebesar 10,55% yakni dari 118 ton/ha menjadi 131 ton/ha. 

“Selain  kopi dan lebah, budidaya insekta juga bisa menggunakan pola integrasi. Misalnya usaha peternakan jangkrik dengan luasan lahan 64 meter persegi ternyata bisa memberikan keuntungan bersih mencapai 27 juta rupiah per tahun. Selain itu usaha budidaya ulat Hongkong dengan luasan lahan yang sama bisa menghasilkan keuntungan bersih 28 juta per tahun,” terangnya.

Sementara itu berdasarkan aspek pemanfaatan lahan, kawasan integrasi untuk ternak sapi, kerbau, kambing dan domba tersebar pada empat zona dan terdiri dari 19 kawasan padang penggembalaan, 46 kawasan perkebunan, 38 kawasan pertanian padat penduduk dan 1 juta hektar areal buffer hutan. 

“Pemerintah mentargetkan ada 12,7 juta hektar areal buffer hutan. Tujuannya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang berdomisili di areal sekitar hutan. Tentu ada potensi dan kendalanya,” ujarnya.

Menurutnya untuk integrasi sapi-sawit di Sumatera dan Kalimantan memberikan dampak positif terhadap peningkatan petani-peternak sebesar 40-60 persen. Integrasi sapi dengan padi, jagung dan kedelai (pajale) pada lahan pasang surut menunjukkan bahwa pemanfaatan kompos kotoran sapi dan bio-slurry meningkatkan produktivitas kedelai sebesar 62 persen. Pendapatan petani meningkat sebesar 30-45 persen dengan nilai R/C ratio sebesar 1.83.

Di sisi lain penerapan sistem integrasi juga memiliki kendala. Berdasarkan skala usaha, usaha skala kecil meliputi keterbatasan lahan, tenaga kerja dan modal. Usaha kelompok kendalanya pada kemampuan manajemen organisasi dan penggunaan teknologi terutama pengelolaan hasil dan manajemen limbah. Dan pada skala kawasan ada keterbatasan modal, akses infrastruktur, koordinasi antar lembaga dan distribusi serta rantai pasok produk belum efisien.

“Sinergi program lintas sektor belum berjalan, komitmen organisasi dan penerapan kebijakan integrasi antara institusi terkait belum efektif,” terangnya.

Maka dari itu, ia memberikan beberapa rekomendasi yang bisa diterapkan yakni kemitraan yang efektif disertai peran aktif dan komintmen yang kuat dari multistakeholder; swasembada daging perlu didukung oleh komoditi ternak pedaging lainnya (domba, kambing, unggas dan aneka ternak); serta dukungan kebijakan dari pemerintah dan institusi terkait yang menyangkut regulasi tata ruang dan penetapan kawasan integrasi peternakan.

“Multistakeholders itu artinya lembaga perguruan tinggi, swasta, pemerintah, masyarakat dan media. Mengadopsi model ABGC-M atau pentahelix,” tandasnya (ipb.ac.id)