News

Prof Ronny Rachman Noor, pakar genetika lingkungan IPB University mengatakan, dunia peternakan kini mendapat tantangan baru dengan adanya permintaan lemak untuk bahan dasar biofuel. Ia menyebut, lemak hewan terutama babi, dapat menjadi andalan untuk menghasilkan bahan bakar ramah lingkungan.

“Perkembangan teknologi saat ini memerlukan perubahan visi dan revolusi cara berpikir multidimensi, karena ternyata lemak hewan utamanya babi memiliki nilai ekonomis tinggi dan lebih ramah lingkungan,” ujar Prof Ronny.

Ia menjelaskan, secara teknis lemak babi dan juga lemak hewan lain dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar ramah lingkungan, termasuk untuk bahan bakar pesawat jet. Ide penggunaan lemak hewan ini pun memiliki dasar yang sangat kuat.

“Berdasarkan hasil penelitian di berbagai negara, dari segi lingkungan bahan bakar yang terbuat dari lemak babi ini lebih ramah lingkungan karena emisi karbon yang dihasilkannya lebih rendah jika dibandingkan dengan bahan bakar lainnya seperti fosil, minyak goreng bekas pakai dan minyak sawit,” paparnya.

Prof Ronny mengungkapkan, sudah berabad-abad lamanya lemak hewan, utamanya lemak babi telah digunakan untuk membuat lilin, sabun dan keperluan lainnya seperti industri kosmetik. Namun, tren peningkatan penggunaannya semakin tajam dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini di era biofuel yang ramah lingkungan.

Eropa merupakan wilayah dengan penggunaan lemak hewan sebagai bahan bakar yang mengalami peningkatan paling pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Angkanya mencapai 40 kali lipat.

“Sehingga tidak heran jika pakar penerbangan memprediksi bahwa penggunaan bahan bakar dari lemak hewan ini akan meningkat tiga kali lipat dalam dunia penerbangan di tahun 2030 mendatang,” tuturnya.

Dunia penerbangan memang kini sedang menjadi sorotan karena menjadi salah satu satu sumber polusi dan emisi karbon terbesar, sehingga penggunaan biofuel yang lebih ramah lingkungan dinilai menjadi suatu keharusan dalam upaya untuk mengurangi pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim.

Prof Ronny menyebut, salah satu tantangan terbesar bagi dunia peternakan adalah menyedikan lemak hewan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bahan baku biofuel karena jumlah yang dibutuhkan sangat banyak.

“Para peneliti dan pakar penerbangan menyimpulkan bahwa untuk memenuhi bahan bakar pesawat dari Paris ke New York membutuhkan lemak 8.800 babi jika semua bahan bakar berasal dari sumber hewani,” terangnya.

Oleh sebab itu, kata dia, dalam jangka pendek langkah yang paling realistis dalam menghasilkan biofuel untuk pesawat adalah dengan mencampur lemak babi ini dengan sumber biofuel lainnya seperti minyak sawit.

“Penggunaan lemak babi dan lemak hewan lainnya sebagai komponen utama biofuel yang ramah lingkungan tentunya akan meningkatkan permintaan akan lemak hewan ini secara tajam. Tentu hal itu akan memengaruhi industri yang selama ini secara tradisional menggunakan lemak hewan,” ujar Prof. Ronny.

Sebagai contoh, industri pakan hewan peliharaan seperti anjing dan kucing selama ini menyerap lemak babi dan lemak hewan sangat besar dan sulit untuk digantikan.

Menurut Prof Ronny, kekhawatiran lainnya adalah jika biofuel berbasis lemak babi dan lemak hewan ini diproduksi untuk bahan bakar alat transportasi lainnya seperti mobil dan kendaraan lainnya, maka tentunya permintaannya akan lebih tinggi lagi dan industri lainnya tidak akan dapat bersaing.

“Bagi dunia peternakan, fenomena ini menjadi tantangan tersendiri karena di samping untuk keperluan manusia dan pemenuhan protein hewani, dunia peternakan juga harus memenuhi permintaan akan industri transportasi sebagai penyedia lemak dalam jumlah yang sangat besar,” urainya.

Hal lain yang perlu diantisipasi menurut Prof Ronny adalah muncul kontroversi, perdebatan dan juga permasalahan terkait apakah biofuel berbahan lemak babi ini halal untuk digunakan? (ipb.ac.id)

Kandungan kolesterol tinggi pada produk telur dan daging unggas seringkali menjadi musuh masyarakat. Belum lagi angka kejadian penyakit kardiovaskular seperti stroke dan jantung semakin meningkat. Diprediksi angka kejadiannya akan meningkat mencapai 23,4 juta kematian di tahun 2030.

Prof Sumiati, Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan (Fapet) mengatakan, kini masyarakat tidak perlu khawatir lagi, produk unggas yang dulunya tinggi kolesterol bisa dikondisikan dengan rekayasa nutrisi pangan fungsional.

“Selain manfaat dasar, produk unggas fungsional dapat mengatasi beberapa masalah kesehatan seperti menurunkan kolesterol darah dan stroke, mengatasi defisiensi vitamin A dan mengatasi kekurangan protein,” kata dia dalam Webinar Series Himpunan Mahasiswa Nutrisi Ternak (Himasiter) 2023 Unggas dengan topik ‘Inovasi Rekayasa Nutrisi untuk Menghasilkan Produk Unggas Fungsional’.

Ia menjelaskan, patokannya adalah rasio kandungan asam lemak omega-3 dan omega-6 yang sehat. Pangan sehat mengandung rasio omega-6 terhadap omega-3 senilai 1:1 sampai 1:4. Nilai ini menjadi patokan untuk merekayasa pangan telur dan daging agar mendekati sehat. Rekayasa nutrisi ini dapat dilakukan melalui pemberian pakan khusus.

“Produk telur dan daging unggas sehat dapat diproduksi melalui fortifikasi sehingga meningkatkan kandungan vitamin dan omega-3. Dengan pemberian pakan khusus rekayasa nutrisi telur atau daging akan menawarkan fungsi sempurna di alam yang telah disediakan dalam produk itu sendiri,” jelasnya. 

Misalnya, sebut Prof Sumiati, dengan pemberian minyak ikan dari limbah pengolahan ikan atau alga. Hasil penelitian menemukan bahwa dengan fortifikasi tersebut, kandungan omega-3 pada produk unggas meningkat.

“Hasil produksi telur itik mengandung asam lemak omega-3 yang tinggi dengan pemberian lima persen minyak ikan lemuru dan tepung pucuk daun singkong. Kandungan omega-3 meningkat hingga 78 persen. Di samping tinggi omega-3, rasio omega-3 dan 6 juga bernilai 5,3 atau mendekati sehat,” ungkapnya.

Sementara, ia melanjutkan, produk unggas kaya vitamin A dapat diproduksi dengan suplementasi seng organik dari tepung daun katuk dan penggunaan minyak sawit dalam pakan. Rekayasa nutrisi ini menghasilkan produk unggas rendah lemak dan kolesterol serta kaya vitamin.

“Bukti nyata hubungan antara pangan yang dikonsumsi dengan kejadian serangan jantung ditemukan pada rasio kandungan asam lemak omega-3 terhadap omega-6 di berbagai belahan dunia. Bila makanan dengan rasio omega-6 lebih tinggi, kejadian serangan jantungnya juga sangat tinggi,” lanjut dia. Bukti tersebut dapat dilihat dari masyarakat Jepang dan Greenland yang mengonsumsi pangan seperti ikan dengan rasio omega-3 lebih tinggi.

Saat ini kesadaran akan hidup sehat, memperhatikan nutrisi yang mereka konsumsi dan menghindari terjadinya risiko penyakit menyebabkan kebutuhan pangan fungsional meningkat di tengah masyarakat. Tidak terkecuali produk unggas fungsional.

“Paling tidak, sebagai produsen ternak telur dan daging unggas harus mampu memproduksi pangan yang sehat sehingga dapat mencegah penyakit degeneratif akibat tingginya kandungan kolesterol,” pungkas Prof Sumiati (ipb.ac.id)