News

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP), Fakultas Peternakan IPB University menyelenggarakan kuliah umum dengan mengundang Dagmar Braamhaar, dari Wageningen University, 20/04. Kuliah umum tersebut mengangkat topik mengenai perbandingan tantangan produksi hasil peternakan di negara Belanda dan Kenya.

Dagmar Braamhaar mengawali pemaparannya dengan realitas pertumbuhan penduduk dunia yang sangat berdampak pada aktivitas penggunaan sumber daya alam. Ia menyebutkan bahwa dengan tingginya pertumbuhan penduduk menyebabkan penggunaan sumber daya telah melampaui batas yang ditargetkan.

“Isu yang kemudian muncul dari kegiatan produksi dan konsumsi hasil peternakan diantaranya ialah ketahanan pangan, keamanan pangan, kesejahteraan hidup manusia, penurunan daya dukung alam, hingga perubahan iklim. Semua ini saling berkaitan satu dengan yang lain, sehingga kita harus memikirkan bagaimana cara melakukan aktivitas produksi dan konsumsi tanpa mengancam kehidupan anak-cucu kita di masa depan,” ujar Dagmar.

Berkaitan dengan efisiensi biomassa, Dagmar menjelaskan bahwa biomassa atau energi yang terdapat pada alam jumlahnya terus menyusut seiring ke tingkat trofik yang lebih tinggi. Dari 100 persen energi yang terdapat pada tanaman atau produsen, hanya 10 persen energi yang akan dapat disimpan pada konsumen tingkat 1 atau hewan herbivora untuk dikonsumsi oleh organisme pada tingkat trofik berikutnya.

“Maka dapat dikatakan bahwa efisiensi energi akan lebih tinggi jika manusia memakan roti gandum dibandingkan memberi berton-ton gandum untuk makan sapi kemudian dagingnya dimakan. Meski begitu, bukan berarti semua manusia harus berhenti memakan daging, karena di sisi lain ketersediaan rumput hijau yang banyak akan jadi sia-sia. Karena hanya hewan yang dapat mengonsumsinya sedangkan manusia tidak bisa,” lanjutnya.

Dagmar juga memaparkan berbagai aktivitas produksi pangan dari hulu hingga hilir yang berdampak pada perubahan iklim, penurunan biodiversitas, degradasi kualitas air, tanah, dan udara serta penurunan daya dukung lingkungan secara umum. Oleh karena itu, Belanda mengambil langkah untuk mengurangi dampak buruk kegiatan pertanian dengan menerapkan konsep pertanian berkelanjutan. 

Langkah-langkah yang diambil negara Belanda diantaranya konservasi lahan dengan semangat zero deforestation. Pertanian polikultur yang menggabungkan beberapa jenis tanaman ataupun menggabungkan pertanian dan peternakan dalam satu lahan. 

Dagmar menyebutkan, Belanda menghimbau petaninya untuk mengkombinasikan dengan tanaman bunga-bungaan serta tanaman berkayu di ladangnya. Hal tersebut akan meningkatkan kembali biodiversitas alam karena lebah akan mendapat sumber pembuatan madu serta burung-burung memiliki tempat untuk bertelur.

Selain itu, Belanda juga berusaha meningkatkan efisiensi biomassa atau energi dalam proses produksi pangan dengan memaksimalkan produksi makanan pokok dan mengurangi produksi cemilan. Pemerintah Belanda juga mengimbau petaninya agar mengembalikan biomassa atau energi yang terdapat pada limbah kembali ke alam dengan menjadikannya kompos dan makanan ternak.

Di sisi lain, Kenya merupakan negara yang masih harus berjuang menstabilkan sektor pertaniannya. Negara tersebut berencana untuk mengembangkan penelitian baik dari segi ilmu pengetahuan maupun teknologi pertanian. Kenya juga masih berjuang dengan kondisi alam yang kering, kekeringan yang berterusan masih menjadi momok bagi para petani. Oleh karenanya pemerintah Kenya terus bekerja dalam pengadaan teknologi irigasi terjangkau agar dapat dinikmati oleh petani dari seluruh lapisan kalangan

Salah satu metode pengolahan sampah organik, seperti sampah dapur, adalah biokonversi dengan metode BSF (Black Soldier Fly). Produk yang dihasilkan antara lain maggot dan kompos. Produk ini dapat bernilai ekonomi tinggi karena dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan kegunaan lainnya.

Prof Dewi Apri Astuti, Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan mengatakan bahwa maggot BSF memiliki keunggulan sebagai pakan ternak. Eropa bahkan telah memanfaatkan larva sebagai salah satu pakan ternak berkelanjutan demi menunjang kebutuhan pangan. Terlebih kebutuhan akan protein hewani meningkat seiring dengan meningkatnya angka pertumbuhan populasi.

Menurutnya, kehadiran pakan berkontribusi signifikan untuk menghasilkan produksi ternak yang optimum. Dikarenakan biaya pemberian pakan yang cukup tinggi, dunia peternakan mencari alternatif pakan yang efisien, salah satunya BSF. Solusi ini dapat mengatasi tingginya angka impor tepung ikan yang menyebabkan defisit negara.

Dalam Webinar Paguyuban Pegiat Maggot bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berjudul “Pengurangan Sampah dengan Biokonversi BSF Menuju TPA Bebas Sampah Organik, (16/04), ia menjelaskan beberapa keunggulan larva BSF. Yakni sebagai pakan ternak adalah mengandung nutrien berkualitas, mudah dipelihara, murah dan memberi solusi dalam masalah lingkungan.  “Kehadiran BSF sebagai pakan ternak ini memiliki potensi untuk mengolah limbah menjadi rupiah,” katanya.

Menurutnya, sampah organik dapat digunakan sebagai media pertumbuhan larva. Produknya dapat dikomersialisasikan dalam larva segar, larva kering, tepung maggot dan sisa limbah seperti kitin dan kitosan. Sisa limbah ini dapat dipergunakan di bidang kosmetik dan makanan.

“Media sangat mempengaruhi bagaimana kualitas larva. Bagusnya limbah-limbah dapur atau pasar dikombinasikan dengan sumber-sumber protein yang lebih tinggi,” sebutnya.  Prof Dewi menambahkan, media sampah organik sekitar 800 kg dapat menghasilkan 300 kilogram larva. Harga media dan biaya operasionalnya berbeda-beda tergantung lokasi. Namun kombinasi dengan bungkil sawit dinilai lebih baik karena dapat menghasilkan larva berprotein tinggi.  “BSF sudah merambah ke industri yang menjanjikan. Pembudidaya pemula maggot dapat memulainya dengan cukup mengumpulkan (larva) untuk pakan ikan dan unggasnya,” tambahnya.

IPB University juga memiliki rumah BSF dan produksinya sudah kontinyu. Di rumah BSF, ia mengkombinasikan limbah ternak yang biasanya berkadar nitrogen tinggi dengan limbah sayuran/hijauan atau cacahan sisa pakan ternak. Rasio ini dapat menghasilkan komposisi larva yang berkualitas baik.

“Nutrisi larva BSF sebagai pakan ternak sudah terbukti nyata memiliki keunggulan. Pemberian pada unggas tidak memberikan perbedaan yang nyata dalam hal konsumsi. Bahkan, dapat menekan biaya produksi serta menghasilkan berat telur lebih tinggi serta rendah kolesterol dan tingkat imunitas yang baik,” ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, dapat diolah sebagai susu pengganti anak ternak dan menjadi produk pakan tinggi energi bagi ruminansia. Produk samping kitosannya juga dapat dimanfaatkan untuk mengatasi pertumbuhan bakteri metanogen pada limbah ternak yang berpengaruh buruk pada kualitas lingkungan (ipb.ac.id)


Lihat Semua Berita >>