Calon Rektor IPB Prof Luki Abdullah, Impor Daging Hancurkan Kultur Peternak

Inilah bakal calon rektor (BCR) yang berbicara jauh di luar kotak norma lembaga IPB saat ini. Adalah Profesor Luki Abdullah, guru besar Fakultas Peternakan IPB, memiliki pandangannya sangat jauh ke depan. ”Ia ingin membawa ke luar IPB dari keterkurungannya,” kata Hazairin Sitepu yang menghabiskan waktu lebih dari dua jam untuk berdiskusi dengan Profesor Luki. Berikut rangkumannya, disajikan secara tanya-jawab.

HS: Bagaimana Anda melihat pertanian dari sektor peternakan?

LA : Saya melihat peternakan adalah satu sektor yang sangat menarik. Ada lebih dari Rp 400 triliiun omsetnya di Indonesia. Cukup besar.. Dan ini terus meningkat. Artinya bahwa animo masyarakat maupun pengusaha masuk dunia peternakan ini tinggi, walaupun sebenarnya investasi dari luar masih rendah. Sejumlah Rp 400 triliun itu sirkulasi omset per tahun. APBN kita saja Rp 2000 triliun. Berarti omset sektor peternakan itu setara dengan 20% APBN. Jadi cukup besar. Karena itu, ini menjadi sangat seksi. Hanya persoalannya, besarnya seperti itu belum menunjukan profil sebenarnya dari masyarakat industri peternakan Indonesia.

Pada dasarnya saya melihat dua hal. Pada satu sisi petani kita ini adalah peternak yang masih tradisional. Tidak mengandalkan peternakan itu sebagai aktivitas bisnis. Baru sebatas sebagai saving. Tetapi itu bisa menjadi buffer kehidupan mereka tanpa harus menyusahkan pemerintah. Ketika ingin menyekolahkan anak, mereka menjual sapi. Itu lah yang terjadi secara tradisional.

Pada sisi lain, industri juga mulai berkembang. Sektor swasta dan investasi di bidang peternakan saat ini juga meningkat.

Saya ingat tiga tahun yang lalu, itu masih sekitar 8% an di sapi, kalau di unggas sudah relatif tinggi. Sapi sekarang menggeliat makin meningkat. Dengan begitu saya berpikir positif: kita menghadapi dua sisi gap. Satu sisi percepatan investasi ini akan berkembang dengan bagus, pada sisi lain akan ada ketertinggalan masyarakat yang jumlahnya besar.

Angkanya sekitar 70% populasi peternakan sapi itu ada di masyarakat, 30% industri. Artinya, kalau industri itu sudah menerapkan SOP, menerapkan precise farming, dan lain sebagainya, dari kacamata saya, sebenarnya PR besar IPB adalah bagaimana mentransformasi peternakan atau pertanian Indonesia itu ke arah pertanian atau peternakan yang lebih modern.

HS: Lebih baik atau lebih menguntungkan mana, peternakan ini dikelola secara tradisional oleh warga, atau dikelola oleh industri?

LA : Sebenarnya ini persoalan bukan untung tidak untung. Karena kita dihadapkan pada kebutuhan masyarakat yang makin berstandar. Jadi dari perspektif saya , sebenarnya mengembangkan industri peternakan rakyat itu bagus. Jadi dia industri tapi basisnya komunitas.

HS : Jadi bisa disebut industri peternakan komunitas?

LA : Iya. Industri berbasis komunitas. Mengapa penting, karena mereka kapital mereka itu sedikit. Kalau kita liat agregatnya itu besar. Tinggal sekarang trasnformasi yang harus dilakukan adalah dari tradisional lebih ke highly precise farming. Tadinya mereka memeliharanya asal-asalan, teknologinya diperbaiki, ditingkatkan. Ini jelas IPB punya mandat di situ.

Terus yang kedua, kelembagaan usaha yang selama ini hanya kelompok saja, hanya sekadar memelihara, sekarang mereka harus dituntut bisnis. Kalaupun dia hanya memiliki 4,5 ekor, kalau kita gabung satu komunitas, bisa saja menjadi ribuan ternak.

HS: Sektor peternakan ini lebih bertumbuh unggas atau sapi?

LA : Unggas. Karena unggas sebenarnya proses transformasinya, proses perubahannya relatif lebih smooth karena di zaman Pak Harto tahun 80an itu ada keputusan presiden yang benar-benar berpihak bagaimana industri unggas itu bisa dibangun.

Sebenarnya untuk sapi bisa diberlakukan hal yang sama. Tetapi harus ada pendekatan. Karena satu ekor sapi itu nilainya bisa Rp 16-20 juta. Jadi kalau melihara 10 ekor saja , omsetnya sudah cukup untuk keluarga. Tetapi cara ini tidak bisa berhadapan dengan Australi. Di sana satu orang bisa miliki puluhan ribu ekor. Kita hanya 6-10 ekor.

Supaya besar, harus berkumpul, membentuk satu komunitas. Namanya apakah corporate farming, atau lainnya. Kalau begini, IPB sebagai yang punya SDM harus benar-benar mengawal. Sewaktu menjadi dekan, saya pernah merekrut mahasiswa peternakan itu dari anak peternak. Karena saya berpikir kalau bapaknya PNS anaknya jauh jadi peternak. Tetapi kalau bapaknya peternak, dia dihidupinya dari situ.

HS : Lalu bagaimana Anda melihat import produk-produk peternakan?

LA : Kalau kaitannya dengan peternakan, import daging saya tidak setuju. Saya paham bahwa pemerintah memandangnya untuk memenuhi kebutuhan pasar, tetapi ada efek jangka panjang yang terimbas kepada motivasi peternak. Pemelihara sapi menjadi berkurang. Membangun kultur beternak itu sulit dan mahal. Menghancurkan kultur itu sebentar. Ini yang saya khawatirkan.

HS: Jadi import daging ini justru menghancurkan kultur peternakan kita?

LA : Iya. Bisa hancur kalau itu dibiarkan. Misalnya kalau permasalahannya itu kekurangan daging di Indonesia, masih lebih oke membuka import sapi. Karena kalau import sapi masih bisa dipelihara oleh peternak, pengusaha juga silakan untuk penggemukan. Dan di situ ada perputaran uang. Paling tidak dapat menyerap tenaga kerja.

HS : Saya justru memandang import daging itu tidak hanya menghancurkan kultur tetapi juga mematikan industri-industri pakan ternak kita. Menurut Anda?

LA : Betul. Makannya kalau kita hitung Rp 400 triliiun itu termasuk pakan dan segala macam, itu bisa habis. Yang paling bahaya justru semangat juang peternak yang selama ini sudah menginternalisasi dalam diri mereka, kehidupan mereka, bahkan bangga dengan itu, tidak ada kebanggaan itu lagi.

Siapa yang akan memperjuangkan, tidak mungkin membentuk peternak baru. Alumni kami itu untuk bisa bekerja di peternakan butuh waktu 4-5 tahun setelah lulus. Karena kultur itu harus dibangun lagi. (http://jabar.pojoksatu.id)