News

  • Prof Dr Ronny Rachman Noor, Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan, sebut Indonesia bisa berperan dalam Penerapan Teknologi  Pengeditan Gen (gene editing).

    Teknologi pengeditan gen (gene editing) merupakan teknologi baru yang diterapkan pada ternak  dan tanaman untuk keperluan peningkatan kualitas dan produktivitas pangan. Teknologi pengeditan gen (gene editing) merupakan tren teknologi  yang tidak dapat dihindari lagi.

    Di Indonesia teknologi ini sudah mulai diterapkan terutama pada tanaman pangan dan tingkat keamanan dan regulasinya sudah mulai didiskusikan dan dirumuskan sekitar tiga tahun yang lalu. Dan sampai saat ini masih dalam tahap pembahasan yang mendalam.

    “Bagi Indonesia, kemajuan dan perkembangan teknologi gen editing ini memang tidak dapat dihindari dan ke depan seharusnya Indonesia dapat berperan dalam pengembangan dan penerapan teknologi ini. Jika Indonesia terlambat mengantisipasinya, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi pasar produk pangan hasil teknologi ini,” ujarnya.

    Melalui teknik mengedit gen ini, Prof Ronny menyampaikan bahwa para ilmuwan secara teknologi dapat melakukan pengaturan kembali DNA tanaman maupun hewan untuk menghasilkan varietas baru. Terobosan baru di bidang Biologi Molekuler ini merupakan salah satu bidang ilmu yang paling dinamis sehingga hampir setiap saat ditemukan hal hal baru.

    Perkembangan bidang ilmu biologi molekular ini sangat dinamis dan cepat.  "Di era tahun 70 an misalnya, ditemukan teknologi bayi tabung dan tikus hasil rekayasa genetik, tahun 90 an menghasilkan domba kloning sel somatik,” jelasnya.

    Tahun 2003, melalui berbagai perkembangan teknologi ini, gen manusia berhasil dipetakan. Perkembangan yang sangat pesat ini ternyata tidak berhenti sampai di sini saja karena di tahun 2012 lalu ditemukan teknik pengeditan gen yang dikenal dengan CRISPR-Cas9 yang membuka kembali kotak pandora ilmu pengetahuan dan teknologi.

    Teknologi pengeditan gen ini tidak melibatkan teknik rekayasa genetik (genetic engineering) dengan cara mengintroduksikan materi genetik dari spesies yang berbeda, namun hanya melakukan perubahan dan pengaturan kembali gen suatu individu sebagaimana halnya teknologi yang selama ini telah lama diterapkan yaitu pemuliaan secara konvensional.

    “Teknologi pengeditan gen memang memungkinkan para ilmuwan secara akurat melakukan perubahan DNA yang memungkinkan dihasilkannya varietas tanaman dan ternak baru yang ke depan berperan besar dalam menciptakan produksi produksi pangan yang berkelanjutan,” tambahnya.

    Teknologi baru ini memungkinkan para pemulia tanaman dan ternak menghasilkan tanaman maupun ternak yang dapat bertahan di lingkungan ekstrim, marjinal dan tahan penyakit. Di samping itu, dengan menggunakan teknik pengeditan gen ini, dapat diproduksi pangan yang lebih sehat.
    Keberadaan teknologi baru ini memang memunculkan harapan baru akan kekurangan pangan dan ketahanan pangan dunia yang di tahun 2050 dunia dikhawatirkan tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan yang meningkat tajam.

    Berdasarkan asal usul DNA yang diedit, teknologi pengeditan gen dikategorikan sebagai teknologi yang berbeda dengan Rekayasa Genetik (Genetic Engineering) karena teknologi ini hanya melakukan pengaturan kembali DNA yang ada pada suatu individu, sedangkan rekayasa genetik melakukan pengaturan dan mengkombinasikan DNA yang berasal dari organisme yang berbeda.

    Kontroversi perbedaan antara rekayasa genetik dan pengeditan gen ini memang terus berlanjut, sehingga pada tahun 2018 lalu misalnya pengadilan di Eropa memutuskan bahwa kedua teknologi ini sama dan penerapannya di negeri Eropa harus berdasarkan prosedur yang sangat ketat.

    Bagi kalangan tertentu teknologi pengeditan gen ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak negatif dari teknologi ini pada manusia dan lingkungan.

    Akan tetapi Prof Ronny menyampaikan jika di analisis lebih dalam, maka teknologi pengeditan ini sebenarnya meniru teknik pemuliaan secara konvensional yang pada intinya menyeleksi tanaman dan ternak yang memiliki tingkat produktivitas yang tinggi dan juga dapat bertahan di lingkungan tertentu. Hanya saja bedanya jika pemuliaan konvensional melakukannya ini melalui rekayasa.

    Jadi pada intinya teknologi pengeditan gen ini masih erat hubungannya dengan hukum alam yang secara alami, perlahan namun pasti mempengaruhi tanaman dan ternak sehingga terjadi perubahan agar dapat bertahan di lingkungan yang selalu berubah.

    Teknologi pengeditan gen ini bahkan sudah digunakan dalam bidang pengobatan dan juga menimbulkan harapan besar sebagai salah satu teknologi terobosan untuk memecahkan masalah yang dihadapi di bidang pertanian yang terkait dengan keamanan pangan, perubahan iklim dan pertanian yang berkelanjutan.

    Sebagai contoh dengan menggunakan teknologi ini pemulia tanaman dan ternak dengan melakukan pengeditan gen, yang terkait langsung dengan ketahanan terhadap penyakit, dapat menghasilkan tanaman dan ternak yang tahan penyakit, sehingga dapat secara signifikan mengurangi penggunaan pestisida dan obat obatan yang tidak saja berdampak pada lingkungan namun juga pada kesehatan
    manusia.

    Penggunaan teknologi pengeditan gen ini tentunya akan berdampak besar pada pengurangan penggunaan antibiotik, pestisida dan secara langsung meningkatkan animal welfare dan tentunya menghasilkan pangan yang lebih sehat dan mengurangi limbah. Melalui teknologi ini masa simpan buah buahan, sayuran, produk peternakan dapat diperpanjang.

    “Kehadiran teknologi baru memang selalu menghadapi tantangan karena pasti ada pro dan kontranya. Meski tidak memasukkan gen baru karena hanya mengedit gen yang ada, namun tetap saja teknologi ini perlu dipagari oleh peraturan yang memadai agar dampak negatif nya di masa mendatang dapat diminimalisir,” tandasnya. (ipb.ac.id)

  • Berita  tentang para pedagang daging sapi yang mogok jualan di wilayah Jabobetabek mulai hari Rabu sampai Jumat (20-22 Januari 2021) dengan alasan melonjaknya harga daging yang membuat omset penjualannya menurun drastis, kembali terulang.

    “Kalau diibaratkan seorang pasien yang sedang sakit, perdagingan nasional kita dapat dikatakan sedang mengidap kanker stadium satu. Artinya kita memang sedang sakit namun kalau ditangani dengan serius sakit tersebut masih dapat disembuhkan,” ujar Prof Dr Ronny Rachman Noor, Dosen IPB University dari Divisi Pemuliaan Dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan (IPTP-Fapet).

    Tertumpunya impor sapi dari Australia dengan jumlah yang demikian besar menurutnya telah lama membuat terlena semua pihak. Pola pemikiran instan untuk mencari untung sesaat dan kemudahan mencari solusi, sehingga sebagian pihak yang terlibat di dalam dunia peternakan sapi ini enggan untuk keluar dari kotak pemikiran tradisionalnya dan menjadikan bangsa ini kecanduan impor.  Puncak impor sapi dari Australia yang pernah mencapai setara dengan 1 juta ekor sapi hidup mencerminkan besarnya gap antara produksi dan permintaan daging nasional. Oleh sebab itu, program swasembada daging nasional, yang sampai saat ini masih belum tercapai, lebih tepat diartikan sebagai kecukupan daging nasional yang di dalamnya ada komponen produksi daging dalam negeri dan komponen impor daging.

    Impor sapi dari Australia dengan jumlah yang sangat besar dan sudah dilakukan dalam kurun waktu yang sangat lama ini sebenarnya tidak saja membuat Indonesia tergantung pada Australia tapi Australia juga tergantung dengan Indonesia.

    “Syarat utama terjadinya impor dari negara lain untuk mengurangi ketergantungan impor sapi dari Australia adalah merevisi isi larangan yang tercantum dalam peraturan dan undang-undang yang sekarang masih diberlakukan. Dengan kemajuan teknologi seperti misalnya karantina terbatas dan pengembangan dan penerapan sistem biosekuriti yang baik, tentunya kita tidak harus melarang secara total impor sapi dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku,” ujarnya.

    Menurutnya, pemasalahan sapi ini memang kompleks namun apabila ada keinginan kuat, benang kusut ini dapat diurai untuk dicarikan jalan pemecahannya. Salah satu hal yang harus segera dilakukan adalah penyederhanaan tata niaga sapi dan daging. Pengangkutan sapi dari pulau Bali dan Lombok ke wilayah Jabodetabek lewat darat, melewati terlalu banyak titik pungutan restribusi, baik yang legal maupun yang illegal. Pembelian kapal pengangkut ternak dan produk pertanian lainnya yang sudah dilakukan, perlu diintensifkan penggunaannya untuk memotong rantai yang panjang ini.

    Penunjukan Bulog sebagai aktor utama untuk mengimpor sapi diharapkan dapat mengontrol gejolak harga jual daging sapi, disamping itu Bulog dapat difungsikan sebagai penjaga stok sapi nasional.

    Lebih lanjut Prof Ronny mengatakan, pengalaman menunjukkan bahwa kuota impor yang diberikan oleh pihak tertentu selama ini terbukti tidak dapat mengendalikan harga daging di pasar.  Bulog dalam hal ini harus berfungsi sebagai regulator harga daging sapi sekaligus sebagai stabilisator pasokan daging. Dalam mengemban tugas yang cukup mulia ini, pemerintah dan Bulog harus menghitung secara cermat kebutuhan impor sapi untuk menutupi kekurangan pasokan daging dari sapi lokal.

    “Keberhasilan Bulog dalam menjaga stabilitas harga beras dan cadangan pangan nasional diharapkan dapat juga dilakukan untuk komoditas daging sapi,” imbuhnya.

    Dengan perhitungan yang cermat, maka kekhawatiran yang menghinggapi pikiran sekelompok orang akan terkurasnya sapi betina produktif tidak terjadi. Apalagi jika didukung oleh kebijakan pemerintah untuk mengimpor sapi betina produktif untuk dijadikan indukan yang akan dikembangkan oleh peternak rakyat.

    Menurutnya ada satu hal yang sangat jarang dibahas dalam kebijakan impor daging sapi ini, yaitu pelemahan nilai rupiah kita dalam kurun wakti 35 tahun terakhir. Sehingga kita cenderung salah kaprah menyimpulkan bahwa harga daging terus melambung tinggi semata-mata terkait dengan permasalahan daging impor dan pedagingan nasional.

    “Jika kita analisa, perubahan harga daging sapi di Australia sebagai pemasok utama daging impor, maka pergeseran harga daging dalam kurun waktu 30 tahun terakhir sangat kecil bahkan relatif stabil. Harga daging kualitas biasa kisarannya antara AUD$20-28 setiap kilogram (tergantung kualitas dagingnya). Coba bandingkan nilai tukar rupiah sekitar 30 tahun lalu dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar Australia sekarang.  Nilai tukar rupiah di era tahun 1980-an hanya sekitar Rp 3000 untuk setiap satu dolar Australia, namun sekarang sudah mencapai Rp 9000. Artinya peningkatan harga daging di Indonesia salah satu penyebab utamanya adalah pelemahan nilai rupiah,” jelasnya.

    Hal yang perlu diingat juga adalah konsumen daging tentunya memiliki keterbatasan kemampuan daya belinya. Jika harga daging terlalu tinggi, konsumen akan mengalihkannya kepada jenis daging lainnya seperti ikan, ayam dan telur yang suplainya dapat sepenuhnya dipenuhi dari dalam negeri. Pada situasi dimana daya beli daging sapi berkurang, harga daging akan turun. Pertemuan antara kemampuan daya beli konsumen dan harga daging yang realistis inilah yang perlu diupayakan oleh pemerintah.

    "Kita harus berpikir lebih realistis bahwa permasalahan gejolak dan tingginya harga daging di Indonesia sebagian besar bersumber dari dalam negeri bukan dari impor. Keterbatasan lahan, masalah perbibitan  dan rendahnya produktivitas sapi lokal yang menyebabkan produksi daging nasional belum mampu memenuhi tekanan permintaan daging yang terus meningkat tajam dan  bukan hal yang gampang untuk diselesaikan.
    Saat ini daging impor hanya ditujukan untuk memenuhi kekurangan pasokan daging dalam negeri yang diperkirakan telah mencapai 20-25 persen dari kekurangan pasokan daging secara nasional, " jelasnya.

    Ia mengurai, hal lain yang harus kita sadari bahwa pemenuhan kebutuhan protein hewani ini bukan hanya berasal dari daging sapi saja. Daging kerbau, domba, kambing, ayam dan telur ayam serta protein yang berasal dari laut seperti ikan dapat dijadikan andalan. Oleh sebab itu, menurutnya pemerintah perlu lebih mendorong upaya diversifikasi sumber protein hewani

    "Mengubah kebiasaan dan selera itu memang bukan hal yang gampang dilakukan, namun jika sosialisasi gencar dilakukan, bukan tidak mungkin daging kerbau, misalnya, secara perlahan akan diterima oleh masyarakat luas. Impor sapi memang mau tidak mau harus dilakukan karena kebutuhan akan daging sapi kita masih melebihi suplai daging, namun tentunya impor harus dilakukan secara terbatas dan tidak hanya dari satu dua negara saja, " urainya.

    Pengurangan impor memang pada awalnya akan mengguncang harga dan pasokan daging, namun dalam jangka panjang akan dapat membuat bangsa ini menjadi mandiri dan tidak malas untuk terus berupaya memajukan dunia peternakan.

    “Negara Indonesia memang tidak harus menjadi negara anti impor, namun membiarkan negara ini menjadi negara yang kecanduan impor akan selalu diingat oleh anak cucu kita sebagai suatu tindakan yang menunjukkan ketidakmampuan kita menjadikan negara ini sebagai negara yang berdaulat pangan. Kemandirian pangan merupakan harga diri bangsa, oleh sebab itu langkah nyata harus segera dilakukan, dalam kasus sapi ini retorika tidak diperlukan lagi,” tuturnya.

    Ia menandaskan, para insan yang bergerak dalam bidang peternakan harus mulai keluar dari pola pikir tradisionalnya. Keberpihakan pemerintah pada dunia peternakan melalui kebijakan fasilitasi modal, penyederhanaan aturan, bantuan teknik peternakan dan investasi jangka panjang dalam membangun pembibitan sapi sangat diperlukan untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa mandiri pangan

  • Prof Erika Budiarti Laconi, Wakil Rektor Bidang Inovasi dan Bisnis IPB University menyebutkan peran Kartini sebagai sosok yang inspiratif. Kartini telah mendorong para perempuan Indonesia untuk maju dalam pendidikan.  Perempuan Indonesia harus senantiasa meningkatkan kemampuan dan keilmuannya.
    “Perempuan Indonesia mesti cerdas wawasannya dan berpandangan luas. Tidak ada pemberdayaan yang lebih kekal berkelanjutan tanpa melibatkan perempuan. Bahkan, sosok perempuan menjadi kunci dalam keberhasilan pasangan dan anak-anaknya,” ujarnya dalam dalam Webinar ProPakTani dengan tema istimewa memperingati Hari Kartini “Wanita Tangguh Dalam Pembangunan Pertanian dan Tanaman Pangan”, (21/04).

    Menurut Prof Erika, pentingnya perempuan dalam dunia pendidikan dan kemajuan bangsa tidak bisa dipungkiri lagi. Ia juga turut bangga dapat menjadi perempuan pertama sebagai Wakil Rektor IPB University. Tugas yang diembannya menjadikannya ingin terus berkiprah dan berkontribusi dalam pembangunan nasional terutama dalam sektor pertanian.

    Ia mengajak para perempuan Indonesia untuk menjadi kaum yang cerdas dan pintar melalui pendidikan. Perempuan juga harus sehat agar dapat memajukan pertanian. Ditambah lagi harus cantik, baik hati, pikiran, perbuatan dan etikanya.

    “Pendidikan merupakan barometer bagi perempuan untuk memenuhi ketiga kategori tersebut,” terangnya.  Sudah diakui, lanjutnya, bahwa perempuan memiliki multi peran dalam berbagai bidang kehidupan. Peran perempuan sebagai anak, isteri, ibu dan sebagai masyarakat. Perempuan harus berani dan bertanggung jawab menjalankan tugas bersama dan sejajar dengan laki-laki. Sebagai tiang negara, perempuan juga mesti turun ke lapangan untuk mendongkrak produk pertanian agar lebih maju.

    “Peran perempuan sebagai ibu dititikberatkan sebagai pendidik utama. Pendidikan bermula dari keluarga, di sinilah ibu berperan. Bila pendidikan itu ada di rumah melalui tangan dingin seorang ibu dengan kasih sayang, saya yakin generasi ke depan adalah generasi milenial yang penuh kasih sayang dan etika,” katanya.

    Untuk itu, katanya, pendidikan sangat penting bagi ibu agar dapat mendampingi anak sebagai generasi digital. Ibu harus mampu terus memperluas wawasannya agar tidak tertinggal di era digital ini.

    “Pendidikan perempuan di Indonesia di atas rata-rata Asia dan dunia. Sebanyak 56 persen mahasiswi di perguruan tinggi dan tingkat kecepatan penyelesaian studi ada pada mahasiswi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak perempuan yang berdaya dengan pendidikan maka akan semakin banyak perempuan yang mengakselerasi pembangunan Indonesia,” imbuhnya.

    Ia menambahkan, seorang ibu memiliki peran penting untuk menciptakan rumah sebagai tempat yang nyaman bagi tumbuh kembang anak.
    “Saya percaya bahwa pendidikan yang diberikan ibu akan meningkatkan kreativitas anak karena telah terasah sejak dini,” katanya. 

    Ia menambahkan bahwa begitu banyak tokoh perempuan Indonesia yang menginspirasinya. Di dalam bidang pendidikan, ia menjadikan Prof Siti Baroroh Baried, profesor perempuan pertama di Indonesia pada tahun 1964 sebagai inspirasi utamanya. Sosok Prof Siti telah mendongkrak semangatnya untuk menjalankan tugasnya sebagai wakil rektor perempuan pertama di IPB University (ipb.ac.id)

  • Dalam masa Work from Home (WFH) dan Study from Home (SFH) ini tentunya kita ingin memberikan makanan terbaik yang menyehatkan untuk keluarga. Apalagi dengan ancaman virus COVID-19, kesehatan tubuh kita perlu ditopang oleh makanan sehat yang menunjang imunitas tubuh. Salah satunya Yoghurt Probiotik.

    Pakar Yoghurt Probiotik yang juga dosen IPB University dari Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Prof Dr Irma Isnafia Arief SPt, MSi berikan tips menyajikan yoghurt probiotik dalam berbagai menu yang sehat dan tidak membosankan untuk keluarga.

    “Yoghurt probiotik bisa disajikan dalam berbagai menu. Contohnya yoghurt drink, es buah yoghurt, salad yoghurt probiotik, puding yoghurt probiotik, roti vla yogurt probiotik, cereal yoghurt probiotik, es pisang ijo yoghurt probiotik, kopi drip yoghurt probiotik, es krim yoghurt probiotik. Es krim ini bisa dibuat sendiri di rumah menggunakan alat ice cream maker,” ujarnya.

    Penyajian dalam berbagai menu ini dapat divariasikan setiap hari sehingga keluarga semakin suka dan tidak bosan mengkonsumsi yoghurt probiotik. Selain itu, seberapa wanita juga sangat menginginkan kulit wajah yang cerah dan glowing apalagi saat WFH.

    “Supaya tetap terlihat cantik maka yoghurt dapat dijadikan masker yang secara teratur diulaskan ke wajah. Selamat menikmati Yoghurt Probiotik yang menyehatkan dan menyajikannya untuk keluarga tercinta,” imbuhnya (ipb.ac.id)

  • Di masa pandemi COVID-19 masyarakat dituntut untuk melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat. Salah satu cara agar terhindar dari COVID-19 adalah dengan cara menjaga stamina tubuh tetap kuat. Berbagai cara dilakukan untuk menjaga stamina tubuh tetap kuat, mulai dari berolahraga, berjemur serta konsumsi makanan beragam dan bergizi.

    Lalu, apakah anda pernah mencoba minum yoghurt probiotik? Nah minuman ini ternyata sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Guru Besar IPB University sekaligus Ketua Departemen llmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Prof Dr Irma Isnafia Arief, SPt, MSi, ajak masyarakat untuk mengkonsumsi Yoghurt Probiotik.

    Yoghurt Probiotik ini merupakan hasil inovasi Prof Irma. Menurutnya yoghurt ini mengandung bakteri baik untuk saluran pencernaan dengan populasi bakteri baik lebih dari 1 juta/mililiter. Jika meminum sehari 100 mililiter Yoghurt Probiotik, maka manfaat kesehatannya adalah dapat meningkatkan imunitas tubuh, mampu menjaga stabilitas tekanan darah, mengurangi diare dan menekan bakteri jahat di saluran pencernaan.

    “Yoghurt probiotik juga merupakan minuman pendamping yang baik untuk penderita penyakit thypus, diabetes dan hyperkolesteromia karena beberapa jenis bakteri probiotik terbukti mampu mempunyai sifat fungsional tersebut. Minuman sehat selama masa Work From Home (WFH) mampu ikut menjaga kesehatan keluarga tercinta,” ujarnya. (ipb.ac.id)

  • Prof Jakaria, Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University paparkan keunikan Sapi Bali dalam Konferensi Pers Pra Orasi Guru Besar, (24/11). Dalam paparannya, Prof Jakaria menyebutkan bahwa dari jumlah populasi sapi nasional, Sapi Bali berkontribusi sebanyak 26.5 persen. Populasi utamanya tersebar di Pulau Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan dan Lampung.

    “Dilihat dari jumlah penduduk Indonesia (272 juta jiwa), kebutuhan daging nasional masih belum dapat dipenuhi dan bahkan masih defisit sebesar 39 persen. Selain itu, secara nasional, kebutuhan bibit masih sangat tinggi (7.745 ekor). Baru ada sekira 2.409 ekor bibit bersertifikat yang dihasilkan,” jelasnya.

    Ia menambahkan, upaya peningkatan produktivitas sapi pedaging di Indonesia terus dilakukan dengan berbagai pendekatan seperti peningkatan kualitas dan kuantitas pakan berbasis bahan baku lokal, manajemen pemeliharaan, manajemen reproduksi, dan penanganan serta pencegahan penyakit. Selain itu, upaya peningkatan kualitas juga tidak kalah pentingnya yaitu melalui peningkatan terhadap mutu genetik khususnya Sapi Bali.

    “Arah pengembangan dan pemanfaatan Sapi Bali ke depan dapat difokuskan sebagai penghasil daging premium. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendekatannya bisa berbasis pada pemuliaan konvensional dan non-konvensional. Yaitu menggunakan data genom yang telah diperoleh, memperkuat kerjasama antar akademisi, pebisnis, pemerintah, masyarakat dan media. Selain itu, melibatkan bidang ilmu lain terutama teknologi multi omik (genomik, trankriptomik, proteomik dan metabolomik),” tuturnya.

    Menurutnya, hasil analisis genom yang ia peroleh dalam risetnya dapat menjadi rujukan dalam strategi pemuliaan Sapi Bali ke depan. Gen-gen yang berasosiasi dengan sifat pertumbuhan dan kualitas daging dapat dijadikan sebagai kandidat marka genetik atau marker assisted selection (MAS).

    “Saat ini, pemanfaatan teknologi genomik telah diterapkan di negara lain sebagai salah satu metode dalam menentukan bibit. Contohnya Sapi Limousin dan Sapi Belgian Blue,” tambahnya (ipb.ac.id)

  • Sudah menjadi rahasia umum bila angka konsumsi daging masyarakat Indonesia masih jauh di bawah negara-negara lainnya. Rendahnya angka konsumsi daging dapat dipastikan terjadi karena pasokan daging yang kurang mencukupi kebutuhan masyarakat. Pemerintah sendiri telah menerapkan kebijakan impor daging yang membawa permasalahan lainnya yakni dapat mengancam keberlangsungan peternak kecil.

    Prof Muladno, Guru Besar IPB University membahas mengenai pentingnya roadmap kebijakan sektor peternakan sapi dan peran strategis peternak muda dalam Seri Webinar  Kesatriaan Entrepreneur  pertamayang mengambil tema “Tantangan Alih Generasi Peternak Muda Menuju Swasembada Daging Sapi Nasional”, Senin (26/04).

    Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University ini menyebutkan bahwa bisnis sapi pedaging di Indonesia khususnya pada bidang pembibitan masih dikuasai oleh pemerintah. Sedangkan peternak kecil mayoritas berbisnis pada bidang pembiakan.

    Bisnis sapi pedaging dikuasai sebagian besar oleh perusahaan feedlotter dengan jenis sapi impor  khususnya dari Australia. Ribuan sapi impor tersebut rata-rata hanya dipelihara hingga empat bulan sebelum dipotong untuk dikonsumsi.  Sementara untuk peternak kecil, sapi yang dipelihara (hanya berjumlah sekitar tiga hingga sepuluh ekor) kemudian dipotong langsung ke rumah pemotongan hewan atau dijual melalui pengepul.
    Fakta yang tidak dapat dipungkiri yakni masih banyak peternak rakyat yang membiakkan sapi campuran yakni sapi bakalan dan indukan. Sapi jantan tidak banyak dijual sebagai bakalan namun hanya dijadikan kurban. Fakta ironis lainnya yakni banyak sapi indukan produktif yang turut dipotong walaupun para peternak tahu bahwa hal tersebut menyalahi aturan.

    “Dengan alasan kekurangan pasokan daging, pemerintah memberlakukan kebijakan impor daging beku. Namun demikian daging beku tersebut seharusnya hanya digunakan sebagai bahan baku pangan bukan dikonsumsi langsung dari pasar. Bagi industri pangan, kebijakan daging beku impor harusnya dimanfaatkan untuk menghasilkan produk sekunder yang relatif lebih murah,” jelasnya.

    Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih cermat dalam memberlakukan kebijakan. Ia berpendapat bahwa impor sapi yang baik adalah impor sapi bakalan yang produktif, bukan yang bersifat konsumtif. Hal tersebut juga patut dipahami oleh peternak-peternak muda.
    Generasi milenial memiliki peran dan peluang yang besar agar sukses sebagai peternak. Generasi milenial dikenal atas kreativitas dan kemajuan teknologi tanpa batas. Keunggulan tersebut dapat memberikan cara-cara dan kesempatan yang bagus serta efisiensi tinggi dalam sektor peternakan.

    Dengan peluang yang ada, ia mengingatkan pada generasi milenial agar turut membantu peternak rakyat yang sebagian besar tinggal di pinggiran supaya dapat bertahan hidup melalui komunitas yang terkonsolidasi. Mengingat 98 persen sapi di Indonesia dimiliki oleh komunitas peternak rakyat, sehingga perlu dijaga dan dibimbing misalnya melalui Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) yang diprakarsai oleh Prof Muladno.  

    “Kaum muda dapat berperan dengan bersinergi pada komunitas peternak untuk membangun semangat saling menguatkan terus menggalakkan SPR yang sudah terkonsolidasi. Selain itu membesarkan dalam kebersamaan, membangun koperasi yang benar (bottom up), bermitra dalam bisnis dengan komunitas peternak rakyat, ataupun menjadi pengusaha secara kolektif maupun individual,” imbuhnya (ipb.ac.id)

  • Diskusi terkait dengan kebijakan pangan selalu menimbulkan perdebatan panjang, khususnya mengenai urgensi swasembada pangan di Indonesia. Isu terkait swasembada daging masih terus bergulir baik terkait dengan daging sapi maupun unggas. Namun demikian, daging unggas terutama ayam negeri sudah mengalami surplus. Masalahnya, daging unggas rentan mengalami oversupply sehingga pengelolaannya agak sulit.  

    Menanggapi hal tersebut, dibutuhkan suatu kajian mendalam untuk membahas pengendalian oversupply perunggasan. IPB University bekerja sama dengan PATAKA (Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi ) dan AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia) menggelar Talkshow Daring Seri-4 dengan topik “Kebijakan Berbasis Evidence dalam Pengendalian Oversupply Perunggasan”,  (25/03).
    Talkshow tersebut menghadirkan beberapa ahli di bidang perunggasan dan juga pihak pemerintah.

    Dalam kesempatan tersebut, Prof Muladno Basar Guru Besar IPB University dari Fakultas Perternakan turut menyampaikan penerapan konsep Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) yang dinilai akan membantu para peternak kecil untuk bertahan hidup di industri perunggasan.  Ia menyebutkan bahwa secara makro, kondisi industri perunggasan saat ini cukup mengkhawatirkan. Penurunan harga ayam hidup telah berlangsung sekitar dua tahun terakhir dan makin diperparah oleh pandemi COVID-19. Di sisi lain, harga daging ayam tetap tinggi sehingga menyebabkan oversupply. Hal tersebut mengindikasikan ada sesuatu hal yang janggal sehingga peternak kecil sangat dirugikan.

    Dikatakannya, penampungan live bird untuk menyimpan unggas dalam bentuk hidup maupun beku juga belum ada kesiapan yang jelas. Padahal dengan adanya penampungan live bird akan membantu menurunkan harga daging ayam di pasaran.

    “Sehingga perlu ada kebijakan pemerintah yang lebih komprehensif, namun tidak harus selalu bergantung pada pemerintah dan juga bias ke peternak rakyat untuk tegaknya keadilan ekonomi,” ungkapnya.

    Berdasarkan data supply dan demand per tahun 2021, kejadian oversupply sudah hampir menyentuh setengah milyar ekor. Untuk membantu mengatasi masalah tersebut dan mendongkrak kesejahteraan peternak rakyat, ia menekankan pentingnya pengimplementasian SPR sebagai salah satu jalan yang dinilai efektif. Kegiatan tersebut berguna untuk membangun sinergi antara pemerintah, koperasi, perguruan tinggi (IPB University) dengan mitra bisnis yang kini masih dalam tahap perintisan.  

    “Jadi semua harus terikat, komitmen perguruan tinggi sebagai penyedia IPTEK serta menjaga independensi dan kredibilitas, sedangkan pemerintah kabupaten menjamin regulasi yang kondusif, lalu pemerintah pusat selalu mendukung kebutuhan koperasi untuk tetap bersatu, asalkan koperasi selalu komitmen,” urainya.

    Dengan begitu, menurutnya peternak kecil dapat mudah untuk menjalin kerjasama dengan berbagai vendor serta melakukan kegiatan  budidaya dan farm estate. Sehingga ada kesempatan untuk mengembangkan ekonomi, pendidikan dan rekreasi dengan dikawal oleh empat instansi. Sedangkan produk yang dihasilkan dapat berbentuk trading maupun langsung dijual ke pasaran.

    Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang diwakili Koordinator Unggas dan Aneka Ternak, Iqbal Alim menyebutkan bila pemerintah sendiri telah berupaya mengatasi oversupply dengan jalan cutting atau penyesuaian produksi. Pelaksanaan cutting tersebut dilakukan melalui pengawasan untuk memastikan pelaksanaannya sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP).

    Selain itu, dikatakannya, upaya perlindungan peternak UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) dilakukan dengan merujuk kepada Permentan No. 13 Tahun 2017 tentang Kemitraan Usaha Peternakan. "Dengan didukung model kerjasama yang bersifat saling ketergantungan dimana perusahaan terintegrasi memberikan jaminan terhadap kelompok peternak untuk menciptakan harga pasar yang sesuai, " jelasnya (ipb.ac.id)

  • Prof Nahrowi Guru Besar Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB University mengungkapkan permasalahan pakan sapi ke depan adalah pada teknologi pasca panennya.
    Ia menyebutkan harus ada strategi pengelolaan hijauan pakan untuk ketahanan pakan ternak ruminansia. Terlebih semakin hari kebutuhan pakan ternak kian meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk. Namun karena terdapat isu akses dan harga, pemakaian bahan pakan di industri ikut menurun karena kurangnya ketersediaan.

    Menurutnya, formulator memerlukan strategi khusus untuk mencari bahan pakan jagung sebagai hijauan. Harus diwaspadai juga bahwa jagung sebagai pakan ternak harus menguntungkan bagi petani. "Saya jelaskan bahwa ini perlu aturan, perlu arahan agar nanti jangan semuanya ke arah hijauan karena kebutuhannya memang besar,” jelasnya dalam Webinar Propaktani “Budidaya Jagung Tebon (Panen Muda) Sebagai Pakan Hijauan Sapi” yang diadakan oleh Kementerian Pertanian RI (29/11).

    Ia menjelaskan bahwa harus ada upaya harmonisasi agar petani dan peternak sama-sama untung. Jagung merupakan sumber pakan yang sangat berkualitas namun terjadi penurunan penggunaannya. Kunci pemakaian bahan pakan yang harus diperhatikan yakni jaminan kualitas, ketersediaan dan jaminan harga. Peternak akan lebih tahan banting bila menggunakan bahan pakan lokal ketimbang impor.

    “Pertama ketersediaan dulu. Bagaimana kita bisa menyediakannya secara berkesinambungan dengan harga yang bersaing dan kualitas di setiap peternak itu punya standar untuk membeli jagung tadi,” sebutnya.
    Menurutnya, jagung sebagai bahan hijauan pakan menjadi salah satu sumber protein dan energi yang baik bagi ruminansia. Di Indonesia saat ini, masih miskin produk hijauan pakan yang memiliki kandungan nutrisi yang cukup baik.

    “Produksinya masih mengandalkan musim sehingga harus ada teknologi penyimpanan yang baik. Belum lagi kondisi pengolahan pasca panen di Indonesia masih banyak perbaikan. Terutama bila bisnis hijauan pakan Indonesia ingin maju,” ujarnya.
    Ia menambahkan teknologi pasca panen secara tersistem harus segera diterapkan. Mengingat teknologi pengolahan hijauan masih belum efisien. 

    “Maka dari itu, saya rekomendasikan untuk hijauan pertama kita jadikan silase karena biasanya diproduksi di musim hujan. Bila sudah memasuki musim panas akan kita keringkan. Saya menilai teknologi ensilase yang lebih ekonomis,” ujarnya.
    Harga dan kualitas hijauan, lanjutmya, juga masih bervariasi terutama pada musim kemarau. Perlu untuk mencari jalan agar permasalahan ini tidak terus terjadi. Rantai pasok dan sistem transportasi juga masih sembarangan sehingga harga cenderung tidak stabil. Begitu pula dengan manajemen penyimpanannya yang kurang baik.

    Padahal, imbuhnya, pemberian pakan yang berkualitas sangat mempengaruhi produktivitas dari ruminansia. Hal ini menyebabkan produksi daging potong dan susu Indonesia masih rendah.
    “Kita perbaiki dengan penerapan teknologi pasca panen, penerapan teknologi ensilase. Ini teknologi yang sangat saya rekomendasikan untuk hijauan. Jika teknologi ini sudah semua (diterapkan) maka kita bisa menyediakan pakan dengan baik,” tambahnya. (ipb.ac.id)

    Menurutnya, teknologi ensilase tidak memerlukan investasi yang besar. Namun teknologi ini belum berkembang di Indonesia padahal dapat diterapkan pada produk jagung. Dukungan terhadap program dari Direktorat Pakan dengan membuat bank pakan di berbagai wilayah juga penting. Bank pakan ini dapat menjadi sentra produksi pakan. Didukung juga dengan digitalisasi sistem logistik dan informasi pakan

  • Himpunan Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (Himasiter) Fakultas Peternakan (Fapet) IPB University melaksanakan webinar dengan tema “Mengulik Teknologi Pakan yang Dapat Menjamin Keamanan Ternak,” 23/5. Webinar ini menghadirkan Prof Nahrowi, Pakar Teknologi Pakan dari IPB University.

    Melalui webinar tersebut, Prof Nahrowi memberikan materi tentang strategi pengolahan pakan yang memiliki kadar air tinggi untuk ternak ruminansia. Dirinya juga menyampaikan kondisi serta fakta-fakta di lapangan.

    “Fakta-fakta di lapangan terkait dengan permasalahan pakan harus saya sampaikan agar semua peserta yang mengikuti webinar sadar permasalahan pakan yang sedang kita hadapi,” Jelas Prof Nahrowi.

    Dosen IPB University dari Fakultas Peternakan ini mengungkapkan beberapa fakta permasalahan pakan yang ada. Beberapa fakta tersebut seperti kadar air yang tinggi, pengelolaan pasca panen, dan harga pakan yang bervariasi.

    Menurutnya, salah satu solusi mengatasi permasalahan pakan adalah dengan mengelola bahan pakan yang memiliki kadar air tinggi. Hal ini dimaksudkan supaya bahan pakan aman dan awet untuk ternak.

    “Teknologi yang tepat untuk mengatasi permasalahan bahan pakan berkadar air tinggi adalah dengan menggunakan teknologi fermentasi anaerob atau ensilase,” ungkap Guru Besar IPB University bidang Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan ini.

    Dosen IPB University itu juga menyebut, teknik ensilase dinilai tepat untuk dilakukan. Hal ini karena didukung oleh kondisi cuaca dan produksi hijauan paling banyak terjadi pada musim hujan.

    “Beberapa keunggulan teknik ensilase adalah memiliki tingakat kegagalan yang kecil, memiliki nilai gizi lengkap, dan proses lebih lengkap,” tandas penemu metode proses produksi silase ransum komplit dari IPB University ini (ipb.ac.id)

  • Berdiam diri di rumah saat Work From Home (WFH), seringkali membuat orang merasa bosan dan stres. Namun hal itu tidak berlaku bagi guru besar IPB Univerity satu ini. Prof Dr Ir Nahrowi, MSc Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University menjalani WFH dengan cara mengasyikkan. Ya, dengan beternak, Prof Nahrowi meyakini bisa menjadi obat anti stres yang mujarab.

    “Bukan tidak mungkin beternak di tengah kondisi pandemi ini. Di belakang rumah saya alhamdulillah sudah ada beberapa hewan ternak sejak sebelum adanya COVID-19. Saya pelihara hewan sejak 10 tahun lalu.  Pertama yang saya pelihara adalah ternak kelinci dan ikan lele. Alhamdulillah terus berkembang.  Kini, sudah lebih dari 14 jenis hewan,” tutur Prof Nahrowi.

    Keempat belas hewan tersebut, secara umum Ia bagi menjadi hewan pemakan bijian dan pemakan hijauan. Hewan pemakan hijauan seperti sapi, domba, kambing, kelinci, marmut dan menyusul kuda. Sementara sisanya, untuk pemakan bijian, Prof Nahrowi memelihara ayam layer dan ayam kate, angsa, entok, kalkun, burung dara, burung tekukur, burung puter, burung perkutut, ikan lele dan nila. Ia juga memelihara kucing, sugar glider dan hamster sebagai hewan kesayangan.

    Dibantu dua orang pekerja, hewan-hewan tersebut dipelihara Prof Nahrowi dengan sistem pertanian terintegrasi. Selain beternak, di belakang rumahnya juga terdapat beberapa kolam serta lahan pertanian yang ditanami sayur-sayuran seperti pohon melinjo, pohon salam, kangkung, bayam, daun-daun lalapan, kunyit, jahe dan sebagainya. Ia juga menanam buah-buahan seperti jambu biji merah, jambu air, jambu bol, rambutan, mangga, pisang, jambu mete, markisa, matoa, timbul, petai dan pohon kelapa serta beberapa tanaman obat-obatan.

     

  • Belakangan ini, harga telur ayam terjun bebas yang berdampak pada kerugian bagi peternak. Melihat fenomena ini, Profesor Niken Ulupi, pakar peternakan dari IPB University menyebut telah terjadi ketidakseimbangan antara supply dan demand telur ayam.

    "Pengaruh buruk akibat harga telur yang anjlok adalah beberapa peternak rakyat atau peternak mandiri mulai menutup usahanya. Apabila ini tidak segera diatasi maka ke depannya masyarakat akan mengalami krisis pangan khususnya telur ayam sebagai pangan bergizi tinggi sumber protein hewani," ujar Prof Niken.

    Harga telur di beberapa daerah di Indonesia, seperti Blitar mencapai 13 ribu per kilogram. Harga ini sangat jauh dibandingkan dengan harga telur di Bogor atau Jakarta yang masih berada pada kisaran 22 ribu per kilogram.

    Dosen IPB University dari Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan ini menjelaskan, ketidakseimbangan antara supply dan demand dapat disebabkan oleh banyaknya usaha baru di sektor peternakan ayam ras petelur. Prof Niken juga menyebut, dibangunnya closed house ayam petelur komersil dan perlakuan pembatasan kegiatan masyarakat turut berkontribusi dalam penurunan permintaan telur secara besar.

    Prof Niken menyarankan kepada seluruh pelaku usaha di bidang produksi ayam petelur komersial sebaiknya tidak hanya memahami teknik budidaya. Namun, peternak dituntut lebih berkonsentrasi dan memastikan pangsa pasar yang menjadi tujuan usahanya sebelum memulai usaha tersebut.

    "Memulai usaha peternakan ayam petelur komersial dengan pola kemitraan bisa menjadi solusi, karena dengan pola tersebut keseimbangan supply dan demand bisa lebih didekati," tambah Prof Niken Ulupi, Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan.

    Ia berharap, fenomena anjloknya harga telur ayam tidak terulang di kemudian hari. Menurutnya, salah satu upaya untuk menjaga stabilitas harga telur dapat dilakukan dengan mendirikan usaha industri pengolahan telur terutama di wilayah sentra produksi.

    Sementara itu, hal lainnya adalah dengan menurunkan dan menstabilkan harga jagung yang merupakan komponen terbesar dari pakan ayam. Upaya ini dapat membantu para peternak mandiri.

    “Dengan demikian sangat diperlukan peran aktif pemerintah dalam menjaga kestabilan harga jagung dan ketersediaan pasokan jagung yang dibutuhkan," pungkasnya. (ipb.ac.id)

  • Menurutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa  Indonesia tercatat sebagai salah satu eksportir produk satwa liar terbesar dunia bersama dengan Jamaica dan Honduras. Amerika, Perancis dan Italia tercatat sebagai negara importir produk satwa liar terbesar dunia.

    Tidak hanya itu Prof Ronny mengungkapkan perdagangan satwa liar juga diduga merupakan penyebab utama kelangkaan dan kepunahan spesies dan juga merupakan salah satu jalur penularan dan penyebaran penyakit ke berbagai belahan dunia.

    Beberapa data ia ungkap di antaranya hasil studi yang diterbitkan di jurnal bergengsi dunia, Science, memperlihatkan bahwa pusat perdagangan satwa liar utama seperti burung, mamalia dan amfibi terjadi di wilayah pegunungan Andes dan hutan hujan Amazon, sub-Sahara Afrika, Asia Tenggara dan Australia.

    Hasil penelitian tersebut juga mengidentifikasikan bahwa di masa mendatang, ada sekitar 3.000 spesies lain yang tampaknya akan diperdagangkan terutama satwa liar yang memiliki bulu yang cerah atau tanduk yang eksotis.

    “Hasil penelitian yang dipublikasikan di Science Advances belum lama ini menunjukkan bahwa skala perdagangan satwa liar sangat besar. Sebagai gambaran dari tahun 2006 hingga 2015 telah diperdagangkan sebanyak 1,3 juta hewan dan tumbuhan hidup, 1,5 juta kulit, dan 2.000 ton daging satwa liar diekspor secara legal dari Afrika ke Asia. Jadi dapat kita bayangkan jika data perdagangan satwa liar digabungkan maka skala  perdagangan satwa liar dunia ini sangatlah besar,” ucap prof Ronny.

    Menurutnya, semakin besarnya jurang kemiskinan antara negara kaya dan miskin menjadi pemicu terjadinya perdagangan satwa liar ilegal antar negara yang semakin marak.

    Sebagian besar aliran perdagangan satwa liar ini berasal dari negara miskin yang memasok satwa liar ke negara kaya.

    Perdagangan satwa liar baik secara legal maupun ilegal merupakan lingkaran setan yang tidak pernah berujung karena ada satu pihak yang membutuhkan (umumnya tinggal di negara maju yang sejahtera) dan ada pihak lain yang dengan berbagai alasan, utamanya alasan ekonomi, melakukan perdagangan satwa liar ini (umumnya negara miskin dan negera sedang berkembang).

    Dugaan bahwa virus COVID-19 berasal dari pasar basah perdagangan satwa liar untuk konsumsi di Wuhan, Tiongkok menunjukkan sisi lain bahwa perdagangan satwa liar tidak saja berdampak pada kelangkaan dan bahkan kepunahan satwa liar saja, namun dapat bersifat fatal dengan merebaknya penyakit baru yang belum pernah ada sebelumnya.

    Saat ini Indonesia memang menjadi sorotan dunia dalam hal perdagangan satwa liar ini. Berbagai upaya pencegahan dan penindakan memang telah dilakukan namun tampaknya perdagangan satwa liar ini masih marak baik untuk kebutuhan konsumsi maupun dipelihara sebagai hewan eksotik.

    “Di pasar-pasar hewan, kita masih dapat melihat bagaimana satwa liar yang dilindungi masih diperdagangkan dengan leluasa,” imbuhnya.

    Dalam memecahkan rantai perdagangan satwa liar ini, perjanjian pelarangan perdagangan antar negara saja tampaknya belum cukup. Mengingat salah satu faktor pemicunya adalah masalah ekonomi.  Oleh sebab itu dalam melakukan perjanjian ini, faktor ekonomi harus dimasukkan dalam perjanjian.

    Melarang dan menghukum saja tidak akan memecahkan masalah karena akar permasalahan yang memicu pelaku melakukan perdagangan satwa liar ini adalah masalah ekonomi.

    “Indonesia sebagai negara yang dikenal sebagai negara mega biodiversity perlu melakukan upaya keras agar dapat mengurangi perdagangan satwa liar terutama yang dilindungi dengan status langka. Jika hal ini tidak serius dilakukan maka dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, status mega biodiversity ini akan hilang dan tentunya akan merusak reputasi Indonesia di tatanan internasional. Indonesia memang masih memiliki hutan, namun satwa liar penghuni hutan secara pasti akan menghilang jika tidak dilakukan tindakan penegakan hukum yang serius dan juga pemenuhan kebutuhan masyarakat di sekitar hutan agar menjadi bagian dalam melakukan pelestarian satwa liar,” ujarnya

  • Ayam kapas atau yang dikenal dunia sebagai Silkie Chicken memang memiliki penampilan yang sangat unik. Berbeda dengan ayam pada umumnya, ayam kapas memiliki bulu yang lembut dan halus menutupi seluruh tubuhnya. 

    Menurut Prof Ronny Rachman Noor, Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University, hasil penelitian menunjukkan bahwa ayam kapas ini memang merupakan hasil seleksi yang sudah dilakukan ribuan tahun lamanya. Sehingga menghasilkan breed tersendiri yang sangat unik.

    “Menurut catatan sejarah, ayam kapas ini berasal dari Tiongkok yang dibiakkan dan diseleksi di jaman kekaisaran Han sekitar tahun 200 SM. Dari Tiongkok, ayam kapas yang dikenal sebagai WU GU JI atau ayam hitam ini menyebar ke seluruh dunia menjadi ayam yang sangat unik. Pada abad ke-13, Marcopolo penah menyinggung ayam kapas ini di dalam catatan perjalanannya, menyebutnya sebagai furry chickens,” ungkap Prof Ronny.

    Prof Ronny juga menjelaskan, bulu yang lembut yang menyerupai kapas ini telah diteliti. Ternyata disebabkan oleh adanya gen resesif yang dinamakan gen hookless yang berada di kromosom No 3. 

    “Terjadi mutasi gen pada ayam kapas yang melibatkan proses transversi atau pertukaran basa C (sitosin) ke G (guanin) yang terletak di upstream gen PDDSS2 atau prenyl (decaprenyl) diphosphate synthase. Sehingga aktivitas gen PDDSS2 ini menurun selama perkembangan dan pertumbuhan bulu,” jelasnya.

    Akibatnya, lanjutnya, semua ayam kapas memiliki genotipe yang sangat khas. Yaitu gen khusus yang menyebabkan bulu lembut dan halus seperti kapas yang menutupi hampir seluruh tubuhnya kecuali paruh. Beberapa ayam kapas juga memiliki jambul.

    Tidak hanya itu, katanya, ayam kapas ini juga unik karena kulitnya yang hitam, seperti yang kita temui pada ayam Kedu. Kulit hitam ini dipengaruhi oleh gen melanotik (Fibromelanosis) yang bersifat dominan. Paruhnya juga berwarna hitam kebiruan dengan warna mata hitam. Jengger ayam ini biasanya sangat kecil dengan kaki berwarna biru pucat. Selain itu, ayam kapas memiliki jari kelima.

    “Ayam kapas, yang bobotnya relatif lebih rendah daripada ayam lainnya, umumnya memiliki karakter yang jinak dan dapat mengerami telurnya sendiri. Biasanya, ayam ini bertelur tiga butir saja dalam satu minggu. Dengan penampilannya yang unik dan warnanya yang menawan, ayam kapas banyak dipelihara sebagai ternak hobi juga ternak komersil untuk menghasilkan telur dan daging,” imbuhnya.

    Di Jepang, tuturnya, harga telur ayam kapas ini cukup mahal. Ini karena kekhasan kuning telurnya yang berwarna oranye terang akibat pemberian pakan yang khas, termasuk penambahan rempah-rempah ke dalam pakannya. Warna dan rasa yang khas ini menjadikannya hidangan yang istimewa jika dimakan dengan nasi.

    Menurutnya, pemeliharaan ayam kapas umumnya dilakukan secara free ranch, sehingga membuat dagingnya kaya akan aroma yang menggugah selera. Hal ini menyebabkan banyak yang mempercayai bahwa daging ayam kapas memiliki khasiat khusus bagi kesehatan. Biasanya sebagai obat tradisional peningkat stamina tubuh karena mengandung protein, vitamin dan antioksidan yang tinggi.

    “Biasanya, daging ayam kapas ini secara tradisional dimasak sebagai sup atau dimasak dalam hot pot dengan panas rendah dan waktu pemasakan yang lama. Dan dengan memadukan berbagai rempah-rempah seperti ginseng, jahe, kurma dan sebagainya. Sehingga menghasilkan menu yang sangat khas dan tentunya harganya cukup mahal,” ujarnya,

    Ia menambahkan, perpaduan antara bumbu dan rempah yang berkhasiat dengan daging ayam kapas yang hitam inilah yang menciptakan cita rasa yang khas dan dipercaya memiliki khasiat bagi kesehatan sebagai bagian dari obat tradisional (ipb.ac.id)

  • Mendengar nama Dalmatian tentunya kita akan membayangkan anjing dengan perawakan atletis dan warna yang sangat unik yaitu putih totol hitam atau merah hati. Popularitas anjing Dalmatian semakin memuncak ketika Walt Disney merilis film 101 Dalmatians pada tahun 1985 dengan bumbu alur cerita petualangan yang dramatis.

    Menurut Prof Ronny Rachman Noor, MRur.Sc, Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University, jika ditelusuri asal usulnya, ternyata anjing Dalmatian tergolong jenis anjing purba. Pada tahun 3.700 BC atau sekitar 5.721 tahun yang lalu, Raja Mesir kuno bernama Cheops yang dikenal dengan raja pembangun piramida diduga memiliki anjing Dalmatian. Sejarah juga mencatat bahwa Raja Yunani kuno memiliki anjing Dalmatian dengan warna totol hitam dan coklat yang digunakan untuk berburu babi liar.

    “Di era modern yakni abad ke-16, ada sebuah puisi dari Serbia yang mengambarkan keberadaan anjing Dalmatian. Pada abad ini, anjing Dalmatian digunakan sebagai penjaga kuda dan pemiliknya karena posturnya yang sangat atletis dan memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa,” lanjut Prof Ronny.

    Asal mula nama Dalmatian memang masih banyak diperdebatkan namun banyak yang sepakat bahwa nama ini berasal dari salah satu propinsi di Kroasia yaitu Dalmatia. Pola warna Dalmatian yang sangat unik telah lama menarik perhatian para ahli genetik untuk menguak misteri bagaimana warna dan pola warna ini dapat terjadi dan diwariskan pada keturunannya.

    “Misteri pewarisan warna ini sedikit demi sedikit mulai terkuak ketika ahli genetik menemukan bahwa pola warna Dalmatian ini dihasilkan oleh tiga gen utama, yakni Piebald, Ticking dan Flecking, yang berinteraksi satu dengan lainnya,” ujar Prof Ronny.

    Prof Ronny menambahkan bahwa berdasarkan hasil penelitian, lokus TYRP1 yang berada di kromosom 11 ternyata bertanggung jawab terhadap kemunculan variasi warna totol hitam atau merah hati yang merupakan ciri khas pola warna anjing Dalmatian. Lokus TYRP1 ini berfungsi untuk mengontrol produksi eumelanin yang dalam keadaan dominan akan menghasilkan eumelanin hitam dan dalam keadaan resesif akan menghasilkan warna eumelanin coklat.

    “Gen lain yang juga terlibat dalam penentuan warna anjing Dalmatian adalah gen MC1R (melanocortin 1 receptor) yang jika berinteraksi dengan lokus Agouti akan menghasilkan warna phaeomelanin atau eumelanin yang menghasilkan warna merah hati,” tambah Prof Ronny.

    Di sisi lain, Prof Ronny mengungkapkan bahwa anjing Dalmatian rentan terhadap ketulian. Data menunjukkan bahwa sekitar 17,8 persen anjing ini mengalami ketulian. Kejadian tuli pada anjing Dalmatian ini bisa terjadi pada satu telinga saja atau terjadi pada kedua telinganya.

    Terlepas dari kelemahannya ini, lanjutnya, anjing Dalmatian dikenal sebagai anjing yang sangat energik, suka bermain, dan sensitif, serta sangat setia pada pemiliknya dan sangat bersahabat dengan anak anak. Anjing tipe ini juga dikenal  cerdas, sehingga dapat dilatih dengan baik dan menjadi anjing penjaga yang baik.

    “Anjing Dalmatian juga dikenal memiliki ingatan yang sangat kuat sehingga jika diperlakukan dengan buruk akan diingatnya sampai puluhan tahun. Dengan harapan usianya yang mencapai 12-14 tahun, keunikan anjing Dalmatian ini semakin menarik hati banyak orang untuk memeliharanya,” pungkas Prof Ronny (ipb.ac.id)

  • Merebaknya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada sapi, domba, kambing di Indonesia pada bulan Mei 2022 lalu, setelah 32 tahun Indonesia bebas dari PMK membuat panik Australia. Menurut Prof Ronny Rachman Noor pakar pemuliaan dan genetika ternak IPB University, kekhawatiran ini sangat beralasan karena Australia sudah 150 tahun terbebas dari PMK ini.

    “Wabah PMK memang pernah juga melanda Australia. Catatan sejarah menunjukkan bahwa di tahun 1801, 1804, 1871 dan 1872 wabah PMK pernah merebak di Australia. Jadi memang sudah sudah sekitar 150 tahunan Australia bebas dari PMK,” ujar Prof Ronny.

    Lebih lanjut Prof Ronny Rachman Noor mengatakan bahwa langkah yang diambil oleh Australia ini dapat dimengerti mengingat jika sampai PMK masuk ke Australia maka akan menimbulkan kerugian sebesar UD$ 80 miliar. Dan akan mempengaruhi industri peternakan Australia paling sedikit selama 10 tahun.

    “Oleh sebab itu, dapat dipahami jika Australia mengambil gerakan cepat memberikan bantuan kepada Indonesia agar PMK dapat dikendalikan dan tidak menyebar negaranya,” ujar Prof Ronny.  Menurutnya saat ini Australia juga sedang melakukan peninjauan kembali aturan impor produk ternaknya untuk mencegah penyakit PMK ini masuk ke Australia.
    “Salah satu hal yang dikhawatirkan oleh Australia sebagai pintu masuk masuknya virus ini adalah melalui sandal, sepatu ataupun pakaian yang terkontaminasi virus ini selepas kunjungannya ke Bali,” ujar Prof Ronny.

    Jadi menurut Prof Ronny tidak heran jika pihak karantina Australia menganjurkan agar wisatawan Australia yang berkunjung ke Bali sebelum masuk kembali ke Australia membuang sepatunya dan tidak membawanya masuk Ke Australia.  Menurutnya, langkah yang diambil oleh pihak karantina ini secara ilmiah dapat dimengerti karena sepatu yang kontak dengan tanah yang tercemar PMK dapat menjadi salah satu sumber penyebaran virus ini.

    Ia menjelaskan, sebagai salah satu negara yang mengandalkan pendapatannya dari industri peternakan wajar saja jika Australia sangat khawatir.  "Jika sampai PMK masuk ke Australia maka dapat dipastikan akan memporak-porandakan industri peternakan sapi, kambing, domba dan babi Australia dan dampaknya akan berlangsung lama,” ujar Prof Ronny.

    Ia menambahkan, saat ini pemerintah Australia dengan menggandeng pihak industri memang berusaha sekuat mungkin untuk mencegah wabah PMK ini masuk ke Australia. Yakni dengan cara bekerja sama dengan negara di wilayah penyebaran PMK utamanya di wilayah ASEAN untuk menanggulangi penyebaran virus PMK ini.

    “Strategi pertahanan lain yang diterapkan oleh Australia adalah memperkuat biosekuriti di wilayah perbatasan untuk menahan masuknya virus PMK ini,” ujarnya.  Menurut Prof Ronny, disamping itu Australia memiliki perencanaan yang sangat baik untuk mengatasi dan menanggulanginya jika virus PMK ini masuk ke Australia. Sehingga dengan waktu singkat dapat dieliminasi.
    Menurut Kementerian Pertanian Australia, imbuhnya, peluang terjadi wabah PKM meningkat dalam lima tahun ke depan yaitu dari 9 persen menjadi 11,6 persen.

    “Jika terdeteksi ada ternak terjangkit virus PMK, maka langkah pertama untuk menghentikan penyebaran virus PMK ini yang paling efektif adalah memusnahkan ternak yang terjangkit virus ini dan menutup wilayah yang terjangkit virus,” ujar Prof Ronny. Langkah selanjutnya, imbuhnya, yang umum dilakukan untuk mengendalikan wabah ini adalah mengisolasi tempat terjangkit virus ini dengan radius 3 kilometer.

    “Jadi dapat dibayangkan bahwa jika prosedur penanggulangan wabah PMK ini dilakukan, maka akan berdampak serius pada perekonomian Australia. Tidak saja akibat pemusnahan ternak namun juga dampak ekonomi penutupan wilayah,” ujar Prof Ronny. Menurutnya, jika wabah ini masuk ke Australia maka sudah dapat dipastikan akan menurunkan produksi daging dan susu yang tentunya akan mengganggu ekspor daging dan susu Australia.

    “Jika hal ini terjadi maka diprediksi Australia tidak saja kehilangan devisa dari ekspornya yang sangat besar, namun juga harga daging dan susu dalam negeri Australia akan meningkat,” ujar Prof Ronny. Sebagai gambaran, 70 persen produksi daging Australia diekspor, bahkan untuk daging domba  (mutton) persentasenya mencapai 95 persen.

    “Jadi tidak heran jika pemerintah Australia berkomitmen mengguyurkan bantuan jutaan dolar kepada pemerintah Indonesia dan juga negara lain untuk membantu mencegah penyebaran wabah PMK lebih luas lagi melalui program vaksinasi,” ujar Prof Ronny.

    Menurut Prof Ronny, Australia memang tidak melakukan vaksinasi terhadap ternaknya karena secara aturan laboratorium pengembang vaksin hidup tidak diperkenankan ada di Australia. Karena berisiko sangat tinggi bocor dan menyebar di Australia yang telah bebas dari PKM selama 150 tahun.  Oleh sebab itu, Australia walaupun memiliki, stok vaksinnya tidak disimpan di Australia namun disimpan di Inggris.

    Australia juga bekerja sama dengan Thailand untuk mengembangkan vaksin PMK ini. "Australia kini dalam keadaan waspada dan telah mempersiapkan skenario terburuk jika wabah PMK ini akhirnya masuk juga ke Australia setelah negara ini bebas dari penyakit PMK selama 150 tahun,” ujar Prof Ronny (ipb.ac.id)

  • Jenis kelamin dalam industri peternakan merupakan salah satu faktor yang  sangat menentukan keberhasilan suatu usaha peternakan. Di dalam dunia peternakan, umumnya ternak betina menghasilkan produk yang kini banyak dibutuhkan (seperti susu dan telur). 

    Sedangkan ternak jantan berperan dalam penentuan mutu genetik anak-anaknya. Khusus untuk ternak pedaging seperti sapi, kerbau, domba dan kambing.

    Menurut Prof Ronny Rachman Noor, Guru Besar Fakultas Peternakan, IPB University, ternak jantan memang memiliki badan yang lebih besar dan pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan ternak betina. Namun ternak jantan memakan biaya produksi (pemeliharaan) yang lebih mahal karena tidak beranak.

    “Oleh sebab itu, keberhasilan suatu usaha peternakan akan sangat ditentukan oleh proporsi ternak dengan jenis kelamin jantan dan betina yang optimal,” ujarnya.

    Menurutnya, pada industri unggas, biasanya Day Old Chicks (DOC) jantan yang baru menetas dimusnahkan karena tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi jika dipelihara lebih lanjut. "Jadi dapat dibayangkan berapa ratusan milyar anak ayam jantan yang dimusnakan setiap tahunnya,” lanjut Prof Ronny. 

    Prof Ronny menjelaskan bahwa riset para pakar genetika ternak saat ini mulai mengarah pada cara mengatur jenis kelamin anak untuk tujuan tertentu. Misalnya hanya dihasilkan keturunan dengan jenis kelamin betina saja. Pemikiran ini memang mendapatkan dukungan dari berbagai pihak termasuk penyayang binatang karena jika hal ini memungkinkan, maka tidak perlu lagi anak ayam jantan dimusnahkan. Pola pemikiran seperti ini tidak saja hanya berlaku pada industri perunggasan, namun juga pada industri persusuan dan industri ternak lainnya.
    “Dengan adanya perkembangan genetika molekuler yang disebut dengan pengeditan gen (gene editing) atau yang dikenal dengan CRISPR-Cas9, kini memungkinkan untuk memastikan jenis kelamin ternak yang akan dihasilkan. Apakah semuanya akan betina saja atau sebaliknya jantan saja,” kata Prof. Ronny.

    Pada sebagian besar ternak mamalia, penentuan jenis kelamin ditentukan oleh keberadaan kromosom seks X dan Y. Seekor ternak betina akan memiliki sepasang kromosom seks X (XX), sedangkan ternak jantan memiliki satu  kromosom X dan satu kromosom Y (XY).

    “Dengan mengkombinasikan pengetahuan penentuan jenis kelamin ini dan teknik pengeditan gen, kini  para peneliti genetika ternak telah berhasil menghasilkan embrio tikus yang mengandung molekul editing gen yang telah dinonaktifkan. Sehingga dalam perkembangan embrio lebih lanjut, jenis kelamin tertentu dapat dibuat,” paparnya lagi.

    Prof Ronny menjelaskan bahwa inaktivasi gen yang akan berkembang menjadi jenis kelamin tertentu ini dilakukan dengan cara menyisipkan molekul editing gen yang sudah diedit serta mengintegrasikannya ke kromosom X dan Y pejantannya. Separuh molekul gen yang telah dinonaktifkan ini selanjutnya dintegrasikan ke kromosom X induk betina dan separuhnya lagi ke kromosom Y induk jantan. Ketika terjadi pembuahan, separuh molekul editing gen inaktif yang ada di kromosom Y bergabung dengan yang ada di kromosom X. Dan akan menghasilkan embrio dengan kombinasi kromosom seks XY.

    Menurutnya, dalam keadaan normal, embrio dengan kromosom XY ini akan berkembang menjadi indvidu jantan. Namun karena adanya penggabungan molekul editing gen sebelumnya, maka perkembangan embrio selanjutnya akan terhambat dan tidak berkembang menjadi individu. Namun sebaliknya, jika embrio ini betina (mengandung kromosom XX), tidak memiliki molekul editing gen dari induk jantan, maka embrionya terus berkembang menjadi individu betina.

    “Jadi, dengan teknologi terbaru ini, kita akan dapat menentukan jenis kelamin anak yang dihasilkan secara pasti,” jelas Prof Ronny.
    Lebih lanjut lagi, Prof Ronny mengatakan bahwa saat ini, para peneliti genetika ternak sedang berlomba untuk mengembangkan teknologi ini untuk berbagai jenis ternak. Ini karena teknologi yang akan diterapkan dalam penentuan jenis kelamin ini akan berbeda untuk jenis ternak yang berbeda.

    “Salah satu Lembaga penelitian yang tahapan penelitian sudah sangat maju dalam pengeditan gen pada ternak adalah Roslin Institute di Edinburgh. Lembaga penelitian ini dulu di era tahun 1990 an juga terkenal dengan terobosan kloning sel somatik yang menghasilkan domba Dolly,” paparnya.

    Menurut Prof Ronny, teknologi pengeditan gen memang masih menimbulkan pro dan kontra di berbagai negara karena masih dianggap sebagai rekayasa genetik. Namun, negara-negara yang kini sudah setuju dengan pengembangan teknologi ini untuk ternak, beranggapan bahwa teknologi pengeditan gen bukanlah rekayasa genetik karena meniru proses alami gennya itu sendiri.

    “Ke depan, teknologi gen editing ini tentunya akan semakin maju yang memungkinkan diterapkannya secara luas dalam industri peternakan. Tujuannya untuk meningkatkan produksi daging, susu dan telur yang sangat dibutuhkan oleh dunia sebagai pangan lengkap yang berguna bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia,” tutupnya (ipb.ac.id)


  • Peternakan merupakan industri strategis dalam mendukung ketersediaan protein hewani yang sangat bermanfaat bagi pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan manusia. Namun peternakan sering dituding sebagai salah satu sektor yang berperan dalam mendegradasi lingkungan terutama dalam menghasilkan gas metana, komponen utama dalam emisi gas rumah kaca (greenhouse gases).

    Menanggapi permasalahan lingkungan ini Prof Ronny Rachman Noor, Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan menyatakan, “Memang benar hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 100 tahun terakhir ini, dampak metana dalam pemanasan global 25 kali lebih besar dibandingkan  dengan CO2 atau karbondioksida”.  

    Dikatakannya, di dunia, sektor peternakan berkontribusi sekitar 14,5 persen dari total emisi gas rumah kaca tahunan yang dihasilkan dari aktivitas manusia.
    Prof Ronny selanjutnya menjelaskan bahwa ternak ruminansia (sapi, kerbau, domba dan kambing) menghasilkan gas metana dari aktivitas mikroba primitif yang dinamakan archaea yang ada di saluran pencernaan.  Bakteri ini dapat hidup dengan memanfaatkan hidrogen dan CO2 yang dihasilkan dari proses pencernaan pakan.

    “Sayangnya proses pemanfaatan hidrogen dan CO2 oleh bakteri ini menghasilkan gas metana yang biasanya dikeluarkan oleh ternak melalui mulut, pernafasan, kentut  dan mekanisme pengeluaran gas lainnya,” imbuhnya.

    Namun menurut Prof Ronny dalam kurun waktu 25 tahun terakhir ini teknologi peternakan mulai diarahkan untuk menanggulangi pencemaran udara dan juga lingkungan.
    Sebagai contoh penelitian di bidang nutrisi ternak telah menghasilkan teknologi tepat guna yang berdampak sangat besar bagi pengurangan gas metana yang dihasilkan.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian suplemen sebanyak 0,25-0,50 persen rumput laut merah jenis Asparagopsis taxiformis (tumbuh di sekitar pantai Australia) dari kebutuhan pakan harian sapi mengurangi secara drastis gas metan yang dihasilkan sebanyak  50 -74 persen dalam masa 147 hari pemberian suplemen pakan ini.
    “Para pakar nutrisi juga membuktikan bahwa pemberian rumput laut merah ini tidak saja mengurangi gas metana secara drastis namun juga meningkatkan konversi pakan sapi sehingga sapi mengalami peningkatan peningkatan pertambahan bobot badan hariannya,” lanjut Prof Ronny Rachman Noor.

    Prof Ronny menjelaskan lebih lanjut, menurut pakar teknologi lingkungan dan pakar nutrisi, temuan yang tampak sederhana ini memberikan harapan besar bagi upaya dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara drastic. Karena jika diterapkan pada industri peternakan maka dampaknya dapat  disetarakan dengan meniadakan 100 juta mobil yang ada di dunia saat ini dalam hal emisi gas yang dihasilkannya.

    Hasil penelitian pakar nutrisi juga menunjukkan bahwa Asparagopsis taxiformis mengandung bromoform yang berfungsi memutus rangkaian proses akhir pembentukan gas metana sehingga menghalangi terbentuknya gas metana.

    Penemuan ini tentunya membuka lebar peluang pembuatan pakan berbasis suplemen rumput laut terutama pada industri penggemukan sapi di feedlot dimana pemberikan pakannya disediakan setiap harinya tanpa digembalakan.

    “Dari hasil analisa berbagai hasil penelitian disimpulkan bahwa jenis sapi yang berbeda menghasilkan gas metana yang relatif hampir sama.

    Tampaknya pengurangan gas metana dari industri peternakan ini akan lebih efektif jika didekati melalui inovasi teknologi pakan dibandingkan dengan teknologi pembibitan alami untuk menghasilkan jenis sapi yang menghasilkan gas metan yang lebih rendah,” ujar Prof Ronny.

    Ke depan menurutnya, ditemukannya teknologi tepat guna yang berdampak besar pada pengurangan emisi gas rumah kaca ini akan menjadikan industri peternakan lebih ramah lingkungan (ipb.ac.id)

  • Beberapa waktu lalu, dunia maya dihebohkan dengan pengakuan salah satu selebritas yang mengaku memelihara satwa liar yang dilindungi. Dalam pengakuannya, ada enam anak dari satwa yang dilindungi tersebut mati dengan mengungkapkan berbagai alasan, termasuk katanya mengalami dehidrasi.

    Menanggapi kejadian itu, Prof Ronny Rachman Noor, Pakar Genetika Ekologi IPB University menyatakan, kematian satwa liar tersebut mempermalukan nama Indonesia di mata dunia. Menurutnya, satwa liar yang dilindungi bukanlah barang mainan ataupun hewan peliharaan. “Artinya, tidak boleh seenaknya dipelihara oleh orang awam yang dinilai tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan luas terkait satwa liar,” tegasnya.

    “Dalam dunia konservasi satwa liar, salah satu tolak ukur keberhasilannya adalah pengembangbiakkan satwanya. Artinya jika satwa liar tersebut tidak berkembang biak dan bahkan mengalami kematian dapat dipastikan bahwa pengetahuan pengelola tersebut akan satwa liar sangat minim sekali,” ujar Prof Ronny.

    Menurut Prof Ronny, kehebohan kematian satwa liar yang dipelihara oleh selebritas ini harus diusut secara tuntas. Pasalnya, jika tidak dilakukan akan mempermalukan Indonesia di dunia internasional, termasuk pihak yang mengeluarkan izinnya.

    “Perlu dirunut secara aturan dan kebijakan bagaimana satwa liar yang dilindungi ini sampai dapat dipelihara secara perorangan. Kalaupun aturan memperbolehkan, tentunya tidak sembarang orang dapat memeliharanya, apalagi satwa liar yang menjadi ikon dunia ini mengalami kematian,” ungkap dia. 

    Lebih jauh ia mengatakan, kejadian itu juga perlu diusut tuntas bagaimana konsesi pemeliharaan satwa liar sampai dapat jatuh pada perorangan. Selain itu, kata Prof Ronny, juga perlu dilakukan evaluasi apakah orang tersebut memiliki pengetahuan terkait satwa liar.

    “Satwa liar bukanlah binatang peliharaan yang hanya sekedar untuk memuaskan hobi seseorang. Satwa liar perlu dilindungi dan memerlukan pengetahuan sangat khusus untuk memeliharanya,” ucapnya.

    Bagi Prof Ronny, ketidakpedulian akan nasib satwa liar dalam penangkaran baik apalagi kematian satwa liar yang dilakukan oleh perorangan ataupun lembaga sudah dapat dipastikan memperburuk citra Indonesia di panggung internasional dalam menangani dan melakukan konservasi satwa liarnya.

    “Kasus satwa liar yang dipelihara perorangan dan mengalami kematian ini sudah seharusnya menjadi pelajaran yang sangat berharga, karena sudah mencoreng nama Indonesia di dunia Internasional,” tandasnya (ipb.ac.id)

  • Guru Besar IPB University di bidang genetika ekologi dan genetika kuantitatif pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP), Fakultas Peternakan ini memang gemar menulis. Sebagai seorang pendidik dan peneliti, disamping tugas utamanya menghasilkan publikasi ilmiah di berbagai jurnal bereputasi internasional, Prof Ronny Rachman Noor juga menghasilkan banyak sekali tulisan ilmiah popular.

    Sebagai contoh, sampai saat ini Prof Ronny telah menghasilkan 1.194 tulisan yang dimuat di Kompasiana dalam bidang lingkungan, sosial, budaya dan pendidikan. Tulisan-tulisannya telah dibaca oleh umum sebanyak hampir 2 juta kali.

    “Mempublikasikan hasil penelitian merupakan salah satu cara untuk menyebarkan hasil karya yang bermanfaat kepada masyarakat dan kalangan seprofesi,” ujarnya.
    Namun menurut Prof Ronny pada kenyataannya banyak sekali karya ilmiah yang dipublikasikan yang hanya dibaca oleh segelintir orang saja, pada umumnya dari kalangan yang berkecimpung dalam bidang yang sama.
    Daya sebar tulisan ilmiah yang terbatas seperti ini membuat upaya yang telah dicurahkan dalam bentuk penelitian ini akhirnya berujung pada publikasi yang kurang mendatangkan manfaat yang maksimal bagi masyarakat.

    “Kendala utamanya adalah tingkat pengetahuan dan bahasa yang digunakan dalam tulisan ilmiah tersebut sering kali sulit dimengerti oleh masyarakat awam,” ujarnya.

    Menurut Prof Ronny Noor tulisan ilmiah popular dapat dijadikan wahana bagi pendidik maupun peneliti dalam menyebarkan ide dan pemikirannya kepada masyarakat. Disamping itu, menulis tulisan ilmiah popular dapat menumbuhkan budaya menulis bagi penulisnya.

    “Tulisan ilmiah popular karakteristiknya memang berbeda dengan tulisan bebas yang berupa opini penulis.  Sebuah tulisan ilmiah dituntut dapat menyajikan berbagai fakta ilmiah dan argumentasi yang ditulis juga harus dibangun dari fakta ilmiah bukan atas dasar pendapat bebas penulisnya,” ujar Prof Ronny.

    Ketika ditanya kiat-kiat untuk menghasilkan tulisan ilmiah popular, Prof Ronny Rachman Noor menjelaskan bahwa tulisan ilmiah popular yang baik tentunya harus dimulai dengan pemilihan topik yang terkait dengan perkembangan terkini dan juga sesuai dengan selera pembacanya.
    Di samping itu tulisan ilmiah popular harus ditulis dengan topik yang menyangkut kepentingan orang banyak ataupun pemecahan masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Dan juga menyangkut permasalahan yang masih menjadi tanda tanya masyarakat ataupun terkait dengan masalah yang masih menjadi kontroversi di masyarakat.

    “Jadi sebenarnya sebuah tulisan ilmiah dapat saja mengundang jumlah pembaca yang sangat banyak jika topiknya terkait dengan kebutuhan dan pemecahan masalah yang sedang dihadapi masyarakat,” ujarnya.
    Menurut Prof Ronny Rachman Noor tulisan ilmiah yang baik tentunya bermula dari pembuatan judul yang menarik pembacanya, sehingga penulisnya harus menyadari bahwa judul tulisan ilmiah populer walaupun inti isinya sama, tidak dapat dibuat seperti judul tulisan ilmiah yang dipublikasikan di jurnal ilmiah karena akan terlalu kaku dan susah dimengerti oleh pembaca.

    Di samping itu, menurutnya penulis tulisan ilmiah harus dibekali oleh pengetahuan yang terkait dengan topik yang ditulisnya dan memiliki kemampuan untuk menelusuri berbagai sumber tulisan ilmiah yang terkait dengan topik yang sedang ditulisnya.
    “Kekuatan utama sebuat tulisan ilmiah populer adalah keterbaruannya. Oleh sebab itu penulisnya harus memiliki kemampuan untuk mengumpulkan bahan-bahan tulisan ilmiah dari berbagai sumber untuk selanjutnya diramu dan diulas secara ilmiah dengan bahasa yang sederhana,” ujar Prof Ronny.

    Beberapa sumber informasi ilmiah umum yang sangat mendukung tulisan ilmiah yang terkait dengan permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat yang menjadi menu bacaan rutin Prof Ronny setiap harinya antara lain Science Daily, Science Direct, Popular Science, ABC Sciece, BBC Science, CNN Science dan lain-lain.
    Menurut Prof Ronny Noor dari sumber umum inilah penulis dapat menelusuri lagi sumber utamanya  untuk mencari fakta ilmiah yang lebih detail lagi.

    Dengan mengumpulkan berbagai berita dan temuan ilmiah yang sedang menjadi topik pembicaraan hangat di dunia, penulis dapat mensintesanya dan meramunya serta menambahkan dengan berbagai argumentasi ilmiah yang akan menghasilkan sebuah tulisan ilmiah yang sesuai dengan selera pembacanya.

    Menurut Prof Ronny, sebuah tulisan ilmiah popular yang baik, paling tidak harus memenuhi tiga syarat. Yaitu mengulas isu dan topik terkini yang sedang hangat di masyarakat, menyajikan kumpulan fakta ilmiah yang terkait dengan berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat serta menyajikan analisa penulis dengan bahasa yang menarik dan sederhanya yang berujung pada solusi dan aplikasi yang ditawarkan oleh penulisnya.

    “Menulis tulisan ilmiah di media cetak memang seringkali menjadi pilihan penulisnya, namun keterbatasan ruang dan kepentingan media cetak dengan penulis sering kali berbeda.  Oleh sebab itu tidak jarang tulisan ilmiah yang menurut penulisnya sangat bagus sekalipun sering ditolak oleh redaktur untuk dimuat di media cetaknya dengan alasan keterbatasan ruang,” ujarnya.

    Dalam situasi seperti inilah penulis dapat memilih wahana lain seperti website, blog ataupun wahana lainnya yang tentunya dapat mengisi gap dalam menyalurkan hobi menulisnya untuk tulisan ilmiah popular yang bermutu.

    Prof Ronny menyatakan bahwa tulisan ilmiah popular yang bagus akan bersifat long lasting artinya materi kebenaran tulisan tersebut akan bertahan sangat lama dan akan menjadi acuan banyak pihak sebagai sumber kebenaran materi yang telah dibuktikan secara ilmiah melalui berbagai penelitian dan pengujian.

    “Jadi tidak heran jika saat ini tulisan ilmiah popular juga dijadikan acuan penulisan ilmiah untuk berbagai keperluan seperti publikasi di jurnal ilmiah, skripsi, tesis dan disertasi,” ujarnya (ipb.ac.id)