Prof. Dr. Dewi Apri Astuti Bagikan Strategi Menjaga Kestabilan Harga Daging di Indonesia

Akhir pekan ketiga di bulan Januari 2021, para pedagang daging sapi di pasar Jabodetabek memutuskan untuk mogok berjualan. Aksi tersebut tentu akan berdampak pada langkanya ketersediaan daging sapi baik untuk konsumsi rumah tangga maupun rumah makan serta menurunnya penjualan komoditas lain karena sepinya pengunjung pasar.

Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University, Prof Dr Dewi Apri Astuti menguraikan beberapa penyebab yang menjadi dasar terjadinya kenaikan harga daging sapi yang membuat para pedagang daging sapi mogok berjualan.
“Sebetulnya masalah harga daging yang melonjak sampai pedagang di Jabodetabek mogok merupakan rangkaian panjang yang berkaitan dengan supply dan demand daging sapi hingga model peternakan Indonesia,” ujarnya.

Ketua Divisi Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB University tersebut menyampaikan bahwa sentra produksi daging sapi lokasinya sedikit berjauhan dengan konsumen yang tinggi di sekitar Jabodetabek. Daging sapi diproduksi dalam jumlah yang tinggi di wilayah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sumatera Utara, Lampung, Sulawesi Selatan dan Bali.

Sedangkan mayoritas konsumen daging sapi berada di wilayah Jabodetabek sehingga membutuhkan biaya yang cukup tinggi untuk mendatangkan daging sapi dan bakalan dari daerah-daerah tersebut ke wilayah Jabodetabek. Kondisi tersebut mengakibatkan wilayah Jabodetabek sangat bergantung pada impor dari Australia, baik daging beku maupun bakalan yang telah dilakukan penggemukan di wilayah sekitar Jawa Barat, atau mendatangkan dari provinsi lain yang tentunya membutuhkan biaya yang tidak murah.

“Kendala kedua adalah produksi daging sapi di Indonesia tidak mampu menutupi kebutuhan konsumsi. Di tahun 2020, Indonesia sudah memproduksi 422 ribu ton. Namun kita masih harus melakukan impor sebanyak 290 ribu ton ditambah dengan 123 ribu ekor bakalan yang setara 413 ribu ton daging,” tambahnya.

Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi yang jauh di atas kemampuan produksi, Indonesia mengandalkan impor dari negara tetangga seperti Australia. Ketergantungan pada negara tersebutlah yang menjadi faktor eksternal melambungnya harga sapi di pasaran.

“Seperti yang kita tahu, Australia beberapa tahun terakhir mengalami kekeringan yang menyebabkan kebakaran hutan yang cukup parah. Sehingga banyak padang gembala sapi yang rusak dan menyebabkan populasi sapi menurun,” imbuhnya.

Faktor eksternal kedua adalah adanya pesaing lain yang menjadi konsumen Australia yakni negara China dan Vietnam, yang mana keduanya menawarkan harga beli yang lebih tinggi. Kedua negara tersebut mengimpor sapi untuk dilakukan penggemukan dalam negeri sebagai upaya swasembada daging sapi di negara masing-masing.

“Dengan stok produk yang menurun akibat bencana dan demand yang meningkat karena adanya tambahan pesaing maka otomatis harga melambung,” jelasnya.

Untuk itu, setidaknya ada empat strategi yang dapat diusahakan untuk mencegah terjadinya kenaikan daging sapi yang tidak terkendali di masa depan. Pertama dengan mendorong serta mendukung para peternak untuk memproduksi daging sapi dan bakalan dengan kualitas yang baik melalui pelatihan dan pendampingan dari mulai pembibitan, reproduksi, hingga pemeliharaan kesehatan.

“Saya pernah ke padang gembala di Darwin, Australia. Ternyata kondisinya sama dengan yang kita miliki di NTT, NTB, dan Sulawesi Selatan. Entah itu sapi lokal atau persilangan, kita punya potensi yang besar untuk memperbanyak produksi daging sapi,” tandasnya.

Kedua, Indonesia tidak boleh lagi bergantung hanya pada satu negara. Ketergantungan pada satu negara membuat bargaining position kita menjadi lebih rendah. Negara yang mungkin bisa dicoba untuk memasok sapi adalah Meksiko dan Brazil.

“Ketiga, kita harus memainkan regulasi secara tegas. Terkait pemotongan sapi betina produktif misalnya. Datanya tidak bisa kita temukan, namun di lapangan banyak terjadi dalam jumlah yang besar. Padahal sapi betina produktif ini adalah bibit yang dapat kita andalkan dalam upaya swasembada daging sapi,” ujarnya.

Terakhir, adalah melakukan diversifikasi daging. Di Indonesia, daging lain yang biasa dimakan selain daging sapi adalah daging domba, kambing, ayam, serta kelinci. Untuk masyarakat yang boleh mengonsumsi daging babi pun bisa mulai meragamkan penggunaan daging babi dalam sajian kuliner. Bahkan saat ini sudah mulai dikenalkan daging rusa untuk dijadikan sumber daging merah