Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terkait manfaat susu bagi kesehatan, penjualan susu terutama drinking milk seperti susu UHT dan pasteurisasi mengalami peningkatan tajam. Menurut data BPS dan Kemenperin pada tahun 2021 kebutuhan susu nasional adalah sejumlah 4,19 juta ton sedangkan kemampuan produksi SSDN (susu segar dalam negeri) hanya 0,87 juta ton. Dengan kata lain produksi SSDN hanya mampu memenuhi 79 persen kebutuhan susu nasional, selebihnya harus dipenuhi melalui import.
“Kementerian Perindustrian pada tahun 2022 menyebutkan bahwa kebutuhan susu dalam enam tahun terakhir mengalami peningkatan dengan rata-rata enam persen per tahun, sedangkan produksi susu segar dalam negeri hanya tumbuh satu persen saja,” ujar Dr Epi Taufik, dosen IPB University dari Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022 menyebutkan bahwa pada tahun 2021 populasi sapi perah di Indonesia hanya sebesar 578.579 ekor. Dari jumlah tersebut, sapi betina dewasa laktasi (yang sedang memproduksi susu) hanya sekitar 252.467 ekor dengan rata-rata produksi susu sekitar 12,47 liter per ekor per hari. Angka produksi susu harian per ekor tersebut jauh jika dibandingkan dengan peternakan sapi perah rakyat di Jepang yang mampu memproduksi sampai 50 liter per ekor per hari.
“Kesenjangan supply dan demand ini diperparah dengan adanya serangan penyakit mulut dan kuku (PMK). Menurut Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) per 22 September 2022 tercatat sebanyak 122.742 ekor sapi yang terserang PMK. Dari angka tersebut, 8.812 ekor sapi dipotong paksa dan 4.353 ekor sapi mati. Ini adalah sebuah kerugian besar yang harus ditanggung para peternak,” paparnya lebih lanjut.
Ia menyebutkan setidaknya terdapat tiga strategi yang dapat dilakukan guna menutup jurang kesenjangan supply-demand susu di Indonesia. Pertama, meningkatkan populasi sapi perah melalui meningkatkan kapasitas perbibitan di dalam negeri dengan dibantu oleh impor sapi perah indukan atau dara. Setelah jumlah sapi perah meningkat, hal yang selanjutnya dilakukan ialah memastikan kualitas peternakan sehingga produktivitas susu sapi perah meningkat.
Di dalam pemaparannya Dr Epi menyatakan sekitar 25 persen produksi susu dipengaruhi oleh kenyamanan sapi (cow comfort). Sapi akan mencari kenyamanan sendiri di dalam kandangnya, sehingga perlu disediakan tempat kering yang cukup di dalam aendang untuk merebahkan badannya tanpa harus mengantri. Sapi memerlukan waktu paling tidak 7 jam untuk beristirahat, setelah 7 jam maka setiap tambahan 1 jam istirahat mampu meningkatkan produksi susu sekitar satu kilogram.
“Strategi kedua adalah dengan memilih rumpun baru sapi perah yakni sapi Jersey. Sapi ini memiliki banyak kelebihan dibandingkan sapi perah hitam putih atau Friesian Holstein. Bobotnya lebih ringan sehingga jarang terjadi kasus kepincangan. Fertilitas juga tinggi, karena jarak waktu mengandung lebih pendek. Kandungan nutrisi susu pada sapi Jersey juga lebih tinggi. Sapi ini juga mudah beradaptasi dengan suhu panas sehingga tahan stress,” katanya.
Kemampuan sapi Jersey dalam menghadapi cuaca panas membuatnya memiliki tingkat konversi pakan menjadi nutrisi yang lebih efisien, limbah lebih sedikit. Hal ini tentu merupakan sebuah kabar gembira mengingat peternakan sapi seringkali dijadikan sebagai salah satu sumber emisi gas rumah kaca (greenhouse gas emission).
Strategi terakhir adalah dengan mulai melakukan pemerataan lokasi peternakan di Indonesia. Saat ini lokasi peternakan sapi terfokus di Pulau Jawa. Sedangkan masih banyak wilayah terutama di pulau Sulawesi dan juga Sumatera yang potensial untuk dijadikan pusat peternakan sapi perah karena ketersediaan sumber daya pakan yang tinggi (ipb.ac.id)