Beberapa hari lalu dunia dikejutkan dengan penemuan katak tebu raksasa dengan berat 2,7 kilogram di Taman Nasional Conway di negara bagian Queensland, Australia. Tidak menutup kemungkinan katak tebu raksasa lainnya yang disebut sebagai Toadzilla akan ditemukan lagi.

Dengan ukuran raksasa ini, tidak heran jika katak tebu yang ditemukan ini memecahkan rekor dunia sebagai katak terbesar di dunia.

Menurut Prof Ronny Rachman Noor, Pakar Genetika Ekologi dari Fakultas Peternakan IPB University menunjukkan bahwa suatu spesies yang hidup pada lingkungan yang sumberdayanya melimpah dan tidak ada musuh alami, akan dapat berkembang biak dan mengalami perkembangan tubuhnya di luar batas normal dan berubah menjadi predator.

Prof Ronny mengatakan bahwa keberadaan spesies baru yang diintroduksi pada suatu ekosistem dapat menjadi tidak terkendali dan memusnahkan spesies lain yang secara alami berada di ekosistem tersebut selama ratusan bahkan ribuan tahun.

“Australia memang memang menjadi contoh bagaimana kaktus, katak tebu, ikan mas, babi hutan, unta, kerbau, kelinci dan lain-lainnya yang tadinya tidak sengaja masuk ke Australia kini berkembang biak di alam liar secara tidak terkendali. Mereka berubah menjadi hama yang mendatangkan bencana dan kerugian yang sangat besar,” lanjut Prof Ronny.
Oleh sebab itu, tambahnya, belajar dari pengalaman buruk ini, tidak heran jika sistem karantina Australia dikenal sebagai salah satu sistem karantina terketat di dunia.

Menurut Prof Ronny, pada tahun 1935, sebagai solusi untuk mengatasi kumbang tebu di wilayah Queensland, pemerintah Australia memutuskan untuk mendatangkan katak tebu dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan.  “Keberadaan katak tebu ini memang cukup efektif untuk mengatasi kumbang tebu yang merusak tanaman. Namun sayangnya efek samping dari mendatangkan spesies alien ini juga berdampak buruk dan tidak diperhitungkan sebelumnya,” ujar Prof Ronny.

Ia menambahkan, dengan adanya racun alami yang ada di tubuh katak tebu ini, maka tidak ada musuh alaminya termasuk ular yang tidak mau memangsa katak beracun ini.  Menurut Prof Ronny sejak dimasukkannya katak tebu ini, populasi katak ini menyebar dan meningkat dengan cepat sekali, merambah ke negara bagian lainnya di Australia, utamanya di Northern Territory yang akhirnya menjadi hama karena populasinya tidak terkendali.

“Seekor katak tebu betina menurut hasil penelitian dapat bertelur sebanyak 30 ribu butir dalam setiap musim kawin. Ditambah lagi katak tebu ini dapat hidup selama 15 tahun,” tuturnya.

Ia mengatakan, katak tebu ini memakan hampir apa saja termasuk serangga, reptil dan mamalia kecil yang tentunya menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem.
“Walaupun terlihat lamban, ternyata katak tebu ini dapat bergerak dan menyebar dengan kecepatan sekitar 40-60 kilometer per tahunnya. Sehingga tidak heran katak tebu ini dengan kemampuan adaptasinya yang sangat tinggi kini menyebar ke hampir seluruh wilayah Australia dan menjadi hama yang mengganggu keseimbangan ekosistem,” imbuhnya.

Ia menambahkan, Pemerintah Australia memang kini sangat kewalahan menghadapi meningkatnya populasi dan penyebaran katak tebu ini akibat tidak ada musuh alaminya. Berbagai cara sudah dilakukan namun sampai saat ini belum berhasil mengatasi ledakan populasi katak tebu ini.

“Keberadaan spesies baru yang diintroduksi pada suatu ekosistem dapat saja menjadi tidak terkendali. Spesies baru ini juga dapat memusnahkan spesies lain yang secara alami berada di ekosistem tersebut selama ratusan bahkan ribuan tahun,” ujar Prof Ronny.  Menurutnya kejadian ini pelajaran yang sangat berharga bagi Indonesia dalam mendatangkan spesies alien baik melalui jalur resmi maupun secara ilegal (ipb.ac.id)