Guru Besar Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof.Dr Muladno mengatakan, target swasembada daging dua atau tiga tahun ke depan adalah bersifat politis. Karena menurutnya, tidak akan terjadi swasembada daging dalam kurun waktu sesingkat itu apabila melihat kondisi peternakan sapi di Indonesia saat ini, mengingat total populasi sapi yang ada hanya 16 juta ekor, itu pun termasuk sapi impor dan sapi betina.
Hal ini disampaikannya dalam jumpa pers di Bogor, Kamis (19/3). Menurut pencetus Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) 1111 ini, mayoritas pemilik sapi Indonesia (6,5 juta orang) adalah lulusan SD-SMP. Kondisi saat ini, kepemilikan sapi per peternak hanya 2-3 ekor dengan berbagai keterbatasan seperti akses lemah, pengetahuan teknologi lemah dan masih menggunakan cara tradisional.
“Beternak sapi masih menjadi usaha sambilan dan tidak berpikir bisnis. Jika butuh uang, sapi betina dijual. Namun jika punya uang, sapi betina dipertahankan. Peternak tidak berpikir untung, tetapi hanya berpikir ada uang ketika membutuhkan (dengan menjual sapinya). Yang pasti, mereka sedang dan terpaksa senang beternak karena hanya itu yang bisa dilakukan,” ujarnya. Untuk mencapai swasembada daging, Prof. Muladno menawarkan Kemitraan Mulya 52. Kemitraan yang hanya bisa dilakukan di dalam sistem SPR 1111 ini, memberikan harapan terang bahwa Indonesia akan swasembada daging pada 20-30 tahun ke depan.
“Jika ada yang bilang swasembada daging bisa dicapai dua, tiga atau lima tahun ke depan, menurut saya itu tidak mungkin. Itu hanya jawaban politis saja. Alasannya adalah kualitas ternak kita sangat rendah dan tidak ada sistem yang benar-benar mengatur dan melindungi keberadaan sapi betina,” terangnya.
Ia menjelaskan, Kemitraan Mulya 52 adalah berinvestasi selama 52 bulan untuk memperoleh 5 keuntungan dan 2 kemuliaan. Keuntungannya adalah memperoleh bagi hasil sesesar 20-40 persen per tahun, menalangi kebutuhan hidup peternak setiap bulan, mencegah ternak betina produktif atau indukan dijual, berpartisipasi menambah populasi ternak indukan dan melakukan bisnis sambil beramal. Sementara dua kemuliaan yang dimaksud adalah mencerdaskan dan meningkatkan profesionalitas peternak berskala kecil serta memberdayakan peternak untuk mandiri dan berdaulat.
Skema Kemitraan Mulya 52 ini melibatkan pemerintah, pemodal dan peternak. Tugas pemerintah adalah menyediakan sapi indukan, pemberian vaksin, penyuluhan dan pengecekan kesehatan ternak. Tugas pemodal adalah menyediakan dana bulanan bagi peternak (600 ribu rupiah per bulan selama 52 bulan) dan tugas peternak adalah memelihara sapi indukan dari pemerintah. Skema ini juga melibatkan pihak asuransi untuk memberikan jaminan kepada peternak dan pemodal.
“Kesepakatan antara pemodal dan peternak mulai terjalin jika sudah dipastikan sapi indukan dari pemerintah dalam keadaan bunting. Sedangkan yang akan diperjualbelikan adalah anak sapi (dari sapi yang bunting tadi) yang sudah berumur 1,5 tahun. Harapannya selama 52 bulan tersebut lahir empat sapi dari satu induk. Di bawah pengelolaan SPR, peternak dan pemodal bisa saling memantau dan data populasi akan lebih akurat. Selain itu, ternak sapi akan lebih berkualitas karena dipantau langsung oleh pemerintah dan akademisi yang dianggap memiliki ilmu dan teknologi,” terangnya. Lalu apa keuntungan yang didapatkan oleh ketiga pihak tersebut (pemerintah, pemodal dan peternak)? Menurut Prof. Muladno, melalui skema ini kinerja pemerintah untuk mensukseskan swasembada daging bias terukur, terarah dan terjadi peningkatan populasi. Bagi pemodal, dengan hitungan satu skema (dua ekor indukan) selama 52 bulan, pemodal mengeluarkan total dana sebesar 30 juta, maka keuntungan yang didapat adalah 6 juta rupiah per tahun (ini setara tiga kali bunga deposito). Bagi peternak, mendapatkan dana bulanan kurang lebih 400 ribu rupiah per bulan untuk peternak dan 200 ribu rupiah per bulan untuk ternaknya (peternak tidak lagi menjual ternaknya untuk menutupi kebutuhan sehari-hari) dan bonus (bagi hasil sebesar 1,5 kali keuntungan setiap penjualan sapi). Jika ditotal, peternak akan mendapatkan keuntungan sembilan juta rupiah per tahun.
“Dua ekor sapi indukan tetap milik pemerintah selama-lamanya. Bagi peternak dan pemodal, mereka dapat bermitra kembali jika kontrak 52 bulan sudah selesai,” ujarnya. Jika skema ini diterapkan secara nasional, dampaknya adalah populasi sapi terus berkembang karena ada pertambahan delapan ekor sapi per 52 bulan. Peternak mendapat dana talangan per bulan sehingga mencegah penjualan ternaknya. Peternak dan pemodal akan nyaman karena ternak dijamin asuransi jika ada kematian atau kehilangan. Program pemerintah akan berlangsung lancar dan sukses karena sapi diawasi pemodal dan perguruan tinggi. Siapapun (termasuk individu birokat) bisa menjadi pemodal. Tidak ada lagi sapi betina produktif disembelih, dan pelan tapi pasti swasembada sapi dan swasembada daging akan terjadi. (zul) (sumber : http://ipb.ac.id)