Menurutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia tercatat sebagai salah satu eksportir produk satwa liar terbesar dunia bersama dengan Jamaica dan Honduras. Amerika, Perancis dan Italia tercatat sebagai negara importir produk satwa liar terbesar dunia.
Tidak hanya itu Prof Ronny mengungkapkan perdagangan satwa liar juga diduga merupakan penyebab utama kelangkaan dan kepunahan spesies dan juga merupakan salah satu jalur penularan dan penyebaran penyakit ke berbagai belahan dunia.
Beberapa data ia ungkap di antaranya hasil studi yang diterbitkan di jurnal bergengsi dunia, Science, memperlihatkan bahwa pusat perdagangan satwa liar utama seperti burung, mamalia dan amfibi terjadi di wilayah pegunungan Andes dan hutan hujan Amazon, sub-Sahara Afrika, Asia Tenggara dan Australia.
Hasil penelitian tersebut juga mengidentifikasikan bahwa di masa mendatang, ada sekitar 3.000 spesies lain yang tampaknya akan diperdagangkan terutama satwa liar yang memiliki bulu yang cerah atau tanduk yang eksotis.
“Hasil penelitian yang dipublikasikan di Science Advances belum lama ini menunjukkan bahwa skala perdagangan satwa liar sangat besar. Sebagai gambaran dari tahun 2006 hingga 2015 telah diperdagangkan sebanyak 1,3 juta hewan dan tumbuhan hidup, 1,5 juta kulit, dan 2.000 ton daging satwa liar diekspor secara legal dari Afrika ke Asia. Jadi dapat kita bayangkan jika data perdagangan satwa liar digabungkan maka skala perdagangan satwa liar dunia ini sangatlah besar,” ucap prof Ronny.
Menurutnya, semakin besarnya jurang kemiskinan antara negara kaya dan miskin menjadi pemicu terjadinya perdagangan satwa liar ilegal antar negara yang semakin marak.
Sebagian besar aliran perdagangan satwa liar ini berasal dari negara miskin yang memasok satwa liar ke negara kaya.
Perdagangan satwa liar baik secara legal maupun ilegal merupakan lingkaran setan yang tidak pernah berujung karena ada satu pihak yang membutuhkan (umumnya tinggal di negara maju yang sejahtera) dan ada pihak lain yang dengan berbagai alasan, utamanya alasan ekonomi, melakukan perdagangan satwa liar ini (umumnya negara miskin dan negera sedang berkembang).
Dugaan bahwa virus COVID-19 berasal dari pasar basah perdagangan satwa liar untuk konsumsi di Wuhan, Tiongkok menunjukkan sisi lain bahwa perdagangan satwa liar tidak saja berdampak pada kelangkaan dan bahkan kepunahan satwa liar saja, namun dapat bersifat fatal dengan merebaknya penyakit baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Saat ini Indonesia memang menjadi sorotan dunia dalam hal perdagangan satwa liar ini. Berbagai upaya pencegahan dan penindakan memang telah dilakukan namun tampaknya perdagangan satwa liar ini masih marak baik untuk kebutuhan konsumsi maupun dipelihara sebagai hewan eksotik.
“Di pasar-pasar hewan, kita masih dapat melihat bagaimana satwa liar yang dilindungi masih diperdagangkan dengan leluasa,” imbuhnya.
Dalam memecahkan rantai perdagangan satwa liar ini, perjanjian pelarangan perdagangan antar negara saja tampaknya belum cukup. Mengingat salah satu faktor pemicunya adalah masalah ekonomi. Oleh sebab itu dalam melakukan perjanjian ini, faktor ekonomi harus dimasukkan dalam perjanjian.
Melarang dan menghukum saja tidak akan memecahkan masalah karena akar permasalahan yang memicu pelaku melakukan perdagangan satwa liar ini adalah masalah ekonomi.
“Indonesia sebagai negara yang dikenal sebagai negara mega biodiversity perlu melakukan upaya keras agar dapat mengurangi perdagangan satwa liar terutama yang dilindungi dengan status langka. Jika hal ini tidak serius dilakukan maka dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, status mega biodiversity ini akan hilang dan tentunya akan merusak reputasi Indonesia di tatanan internasional. Indonesia memang masih memiliki hutan, namun satwa liar penghuni hutan secara pasti akan menghilang jika tidak dilakukan tindakan penegakan hukum yang serius dan juga pemenuhan kebutuhan masyarakat di sekitar hutan agar menjadi bagian dalam melakukan pelestarian satwa liar,” ujarnya