Laporan World Wide Fund for Nature (WWF) terbaru yang dirilis minggu lalu menyebutkan bahwa sejak tahun 1970 lalu terjadi penurunan jumlah spesies yang ada di bumi ini sebesar 69 persen. Prof Ronny Rachman Noor, pakar Genetika Ekologi IPB University menyebutkan bahwa jika laju penurunan ini dibiarkan maka dunia akan kehilangan biodiversitas global untuk selamanya. Dan hal ini akan berdampak langsung pada kesehatan bumi yang kita huni ini.
“Biodiversitas kawasan tropis yang merupakan sumber keanekaragaman hayati paling tinggi juga tidak luput dari fenomena ini. Yakni mengalami penurunan populasi spesies satwa liar yang sangat mengkhawatirkan,” ujar Prof Ronny.
Menurutnya, salah satu penyebab utama penurunan biodiversitas satwa liar adalah perubahan iklim global. Sebagai contoh, anomali curah hujan tinggi, banjir, tanah longsor serta kekeringan telah melanda Indonesia dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini.
Ia melanjutkan, contoh lain dampak perubahan iklim global yang menghancurkan adalah gelombang panas dan kebakaran hutan melanda kawasan Eropa akhir-akhir ini. Hal ini tercatat merupakan dampak cuaca ekstrim yang terburuk dalam 15 tahun terakhir ini.
“Ironisnya dalam situasi kritis seperti ini penebangan hutan di hutan paru-paru dunia di Amazon Brazil dan di kawasan Asia masih terus berlangsung sampai saat ini. Bahkan mencapai rekor tertinggi selama enam tahun terakhir ini,” ujar Prof Ronny.
Lebih lanjut Prof Ronny menjelaskan bahwa tren penurunan kualitas lingkungan menurut laporan WWF semakin meluas. Populasi satwa liar seperti mamalia, burung, amfibi, reptil, dan ikan semuanya menyusut secara drastis dengan laju penurunan mencapai 69 persen.
“Dunia tidak dapat menganggap sepele kejadian penurunan populasi satwa liar ini karena berdampak langsung bagi kehidupan delapan milyar penduduk bumi. Karena sebagian besar kehidupan kita tergantung pada satwa liar ini. Sendi-sendi kehidupan penduduk bumi seperti stabilitas sosial, kesejahteraan dan kesehatan penduduk bumi akan terdampak langsung perubahan iklim global ini,” ujar Prof Ronny.
Menurutnya WWF memprediksi bahwa penurunan keanekaragaman satwa liar ini akan berdampak langsung pada penurunan aset alam yang akan merugikan dunia. Setidaknya sebesar US $406 miliar per tahun, bahkan tren kerugian ini diperkirakan akan semakin meningkat pada tahun 2050 mendatang. Sehingga jika tidak dilakukan langkah yang drastis kerugian ini akan mencapai US $9 triliun.
Laporan terbaru WWF ini menurut Prof Ronny sangat mengejutkan dunia karena laju penurunan keanekaragaman satwa liar ini mencapai tingkat yang belum pernah terbayang sebelumnya. Tingkat persentasenya sudah mencapai titik kritis.
Prof Ronny menyebut laporan ini juga menunjukkan bahwa dunia selama ini abai melakukan upaya untuk menurunkan laju kemusnahan satwa liar ini.
“Sebanyak 120 pimpinan dunia pada pertemuan COP 26 PBB di Glasgow tahun lalu memang telah menunjukkan komitmennya dalam mengurangi pemanasan global. Mereka sepakat untuk mengambil langkah demi mengurangi laju perubahan iklim global, namun di lapangan perusakan lingkungan masih terus berlangsung,” ujar Prof Ronny.
Ia menjelaskan, jika upaya dunia gagal dalam membatasi pemanasan global yaitu 1.5 derajat celcius, maka menurut WWF kawasan Amazon dan Afrika akan kehilangan 50 persen dan 75 persen keanekaragaman satwa liarnya.
Menurut Prof Ronny upaya untuk mengurangi laju penurunan keanekaragaman hayati dunia ini tidak mudah karena menyangkut biaya yang besar. “Negara miskin dan negeri berkembang tidak akan berperan besar dalam mengurangi laju penurunan keanekaragaman satwa liar ini jika tidak dibantu negara maju dari segi finansial,” imbuhnya.
Sudah menjadi rahasia umum, katanya, jika kebiasaan konsumsi negara-negara kaya selama ratusan tahun terakhir ini memiliki andil yang sangat besar dalam hilangnya sumberdaya alam dunia di berbagai belahan dunia. “Oleh sebab itu tentunya negara maju memiliki kewajiban moral untuk membantu negara miskin dan negara berkembang melestarikan keanakeragaman hayati ini,” tutur Prof Ronny.
Menurut Prof Ronny, dalam mengatasi krisis alam yang sangat luas ini, tentunya tidak ada pilihan lain selain menerapkan konsep ekonomi hijau. Sebuah konsep yang berkelanjutan dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam dan jasa alam seperti udara dan air bersih yang akan memberikan insentif bagi negara-negara berkembang yang telah berupaya untuk menjaga alamnya untuk kepentingan dunia.
“Teknologi dan ilmu pengetahuan yang ada saat ini telah terbukti dapat menyelamatkan spesies hewan dan tumbuhan yang hampir punah asalkan disertai dengan upaya keras dan niat serta tekad dunia yang kuat,” ujar Prof Ronny