Itik Alabio termasuk dalam jenis itik lokal yang berpotensi sebagai penghasil telur dan daging. Sementara, itik Cihateup berpotensi sebagai penghasil telur. Kedua galur tersebut memiliki pertumbuhan yang cepat sehingga diharapkan hasil persilangannya memiliki sifat unggul tetuanya untuk menjadi bibit itik pedaging.

Proses penetasan secara alami terjadi karena adanya transfer panas dari induk yang mengerami  antara satu telur dan lainnya, hal tersebut diterapkan pada mesin tetas. Penetasan telur ayam dan telur itik dalam mesin tetas memiliki perbedaan. Telur ayam membutuhkan suhu yang konstan setiap hari sesuai dengan suhu ideal penetasan telur ayam, sedangkan pengelolaan penetasan pada telur itik lebih baik dilakukan pendinginan secara periodik untuk perkembangan embrio. Selain itu, lama pengeraman telur itik mencapai 28 hari, sedangkan pada ayam hanya mencapai 21 hari sehingga kemungkinan terjadi faktor gagal tetas lebih tinggi.

Tiga orang peneliti yang terdiri dari Rukmiasih, R. Afnan dan F. Darajah dari Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan (Fapet) Institut Pertanian Bogor (IPB) meneliti pengaruh frekuensi pendinginan yang berbeda terhadap daya tetas telur itik persilangan Cihateup-Alabio.

Materi yang digunakan tim ini yaitu telur itik Cihateup-Alabio (CA) sebanyak 491 butir yang diperoleh dari Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor dan telurnya ditetaskan di Laboratorium Penetasan Unit Unggas Fakultas Peternakan IPB. Peneliti ini memberikan perlakuan pendinginan telur dengan frekuensi 1 kali, 2 kali, dan 3 kali ditempatkan pada 1 mesin tetas. Pendinginan telur dilakukan setiap hari sesuai taraf perlakuan masing-masing dimulai dari hari ke-3 setelah telur dimasukkan ke dalam mesin tetas. Perlakuan pendinginan dengan 1 kali pendinginan dilakukan di siang hari pada kisaran waktu 12.00-13.00. Perlakuan 2 kali pendinginan dilakukan pada waktu pagi (06.00-07.00) dan sore hari (17.00-18.00). Perlakuan dengan 3 kali pendinginan dilakukan pada waktu pagi, siang dan sore hari pada kisaran waktu yang sama.

Dari percobaannya peneliti ini menemukan bahwa daya tetas pada pendinginan 2 kali sehari menghasilkan rataan paling tinggi yaitu 37,94 persen (%); sedangkan pada pendinginan 1 dan 3 kali nilainya adalah 34,38% dan 34,70%. Hal ini disebabkan pendinginan 2 kali yang dilakukan pada waktu pagi hari digunakan untuk mengatasi peningkatan suhu telur akibat metabolisme pada saat malam hari dan mencegah peningkatan suhu pada siang hari. Pendinginan sore hari digunakan untuk mengatasi peningkatan suhu telur akibat metabolisme pada saat siang hari dan mencegah peningkatan suhu pada malam hari

“Frekuensi pendinginan telur 2 kali yaitu pada waktu pagi dan sore hari paling baik dilakukan karena rata-rata persentase daya tetas diperoleh paling tinggi sebesar 37,94%. Karakteristik embrio yang tidak menetas antara lain karena bentuk paruh yang tidak sempurna, cacat pada kaki, bentuk kepala tidak sempurna, dan kuning telur belum masuk seluruhnya ke dalam tubuh. Penyebab kematian embrio diduga adalah suhu dan kelembaban yang tidak sesuai dengan suhu dan kelembaban yang optimal untuk perkembangan embrio dan adanya akumulasi disinfektan pada telur,” papar Rukmiasih.(ipb.ac.id)