News

  • Oleh Epi Taufik, SPt, MVPH, M.Si, Ph.D Kepala Divisi Teknologi Hasil Ternak,
    Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, 
    Fakultas Peternakan, IPB University  

    Akhir abad ke-19 di Eropa, tingkat mortalitas bayi dalam tahun pertama kehidupannya sangat tinggi hingga mencapai 30%. Saat itu, pemberian Air Susu Ibu (ASI) tidak terlalu dianggap penting hingga didapatkan data bahwa bayi yang tidak mendapatkan ASI angka kematiannya tujuh kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan yang mendapat ASI. Hingga pada akhirnya para ilmuwan di Eropa, terutama di Jerman, menyadari bahwa adanya hubungan komposisi ASI terutama karbohidratnya dengan ketahanan tubuh bayi.

    Theodor Escherich (yang namanya diabadikan dalam bakteri Escherichia coli) adalah salah satu ilmuwan yang menemukan fakta bahwa terdapat perbedaan komposisi mikroorganisme dalam feses bayi yang diberi ASI dengan yang tidak. Dibantu oleh ilmuwan lain seperti Justus Liebig (yang namanya diabadikan menjadi nama Justus Liebig Universitaet Giessen, Jerman) menemukan indikasi bahwa perbedaan komposisi mikroorganisme dalam feses tersebut terkait dengan komposisi susu (ASI).

    Persentase karbohidrat dalam kolostrum/susu mamalia berkisar dari jumlah yang sangat kecil (trace) sampai sekitar 10%, dalam hal ini laktosa (disakarida) biasanya menjadi bagian terbesar. Selain laktosa, komponen karbohidrat lainnya terdiri atas berbagai jenis gula yang biasanya disebut oligosakarida (OS).

  • Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan produk hasil ternak lokal yang lebih aman dan menyehatkan dibanding produk-produk hasil ternak impor. Dengan komitmen dan dukungan yang kuat, aksi ini bisa menjadi tonggak kemandirian dan kedaulatan pangan nasional. Visi kedaulatan pangan ini disampaikan dalam orasi ilmiah Prof. Dr. Irma Isnafia Arief, SPt. MSi dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Sabtu, 13 April 2019.

    Dalam Orasi Ilmiah yang bertema  "Generasi Baru Inovasi Produk Hasil Ternak Fungsional Melalui Pemanfaatan Bakteri Asam Laktat dan Bahan Alami",  Prof. Irma menyatakan, produk hasil ternak adalah pangan bergizi tinggi dan sumber protein hewani yang penting bagi kesehatan masyarakat. Tak seperti di negara-negara maju, tingkat konsumsi produk hasil ternak dan protein hewani Indonesia masih sangat rendah. Konsumsi susu dan produk olahan susu di Indonesia hanya berkisar 11,8 liter per kapita per tahun.

    “Di masa depan, kita tidak lagi bicara tentang produk ternak untuk makanan saja tapi kita akan bicara lebih jauh tentang sosis antikanker, yogurt antidiabetes, bakso penstimulan imunitas dan lain sebagainya. Itulah generasi-generasi baru produk pangan hasil ternak yang tidak mustahil bisa diwujudkan di masa mendatang,” lanjutnya.

    Dalam penutup orasinya, Prof. Irma Menyatakan bahwa  keterlibatan semua pemangku kepentingan sangat penting untuk mengoptimalkan potensi sumber daya alam Indonesia. Kerja sama antara akademisi, peneliti, pemerintah dan industri penting dilakukan dalam penyediaan produk olahan hasil ternak yang sehat dan aman dikonsumsi guna mewujudkan kesejahteraan peternak secara khusus dan masyarakat secara umum.

  • Bertempat di Graha Widya Wisuda, berlangsung Sidang Terbuka Institut Pertanian Bogor pada Sabtu 17/9, dengan acara khusus orasi tiga Guru Besar Institut Pertanian Bogor. Satu dari tiga Guru Besar tersebut adalah  Prof. Dr.sc ETH Anuraga Jayanegara, S.Pt, M.Sc  yang menyampaikan orasi ilmiah dengan judul : Polifenol sebagai Komponen Pakan untuk Reduksi Emisi Gas Metana Asal Ternak Ruminansia.

    Riwayat hidup dibacakan oleh Dekan Fakultas Peternakan Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr dari mulai keluarga, pendidikan yang ditempuh di dalam maupun luar negeri, prestasi yang sudah dicapai hingga kegiatan nasional maupun internasional.

    Orasi ilmiah diawali dengan penjabaran sektor peternakan, khususnya ruminansia yang berkontribusi terhadap pemanasan global. Di Indonesia, sapi pedaging merupakan kontributor terbesar emisi gas methan dari sektor peternakan, yakni sekitar 63-68% dari total emisi gas rumah kaca asal fermentasi enteric.

    Selain berkontribusi terhadap pemanasan global, emisi gas methan dari dari ternak ruminansia merupakan salah satu bentuk kehilangan energi bagi ternak. Dengan demikian, upaya mitigasi gas metan tidak hanya bermanfaat bagi konservas lingkungan dalam menurunkan laju pemanaan global, melainkan juga sebagai upaya menurunkan energi yang hilang dari ternak.

    Berkaitan dengan hal tersebut, Prof. Anuraga yang juga pernah melakukan riset polifenol ketika menempuh pendidikan doktoral di ETH Zurich, Switzerland ini menjelaskan polifenol sebagai pendekatan alternatif yang bersifat alami untuk pakan ternak. Selain itu, polifenol juga berperan sebagai agen proteksi dan untuk hijauan pakan tropis yang mengandung polifenol tinggi menghasilkan gas metan yang rendah.

    ‘’Beberapa penelitian fungsi tanin dan hasil meta analisis berkaitan dengan kualitas produk ternak” jelasnya menambahkan. (Femmy)

  • Bertempat di Grha Widya Wisuda, berlangsung Sidang Terbuka Institut Pertanian Bogor pada Sabtu 25/11 dan orasi Guru Besar Institut Pertanian Bogor. Guru Besar Tetap Fakultas Peternakan Prof. Dr. Despal, S.Pt, M.Sc.Agr menyampaikan Orasi Ilmiah Guru Besar dengan judul “Teknologi Presisi Solusi Pengembangan Sapi Perah Tropis Masa Depan”. Riwayat hidup dibacakan oleh Dekan Fakultas Peternakan Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr dari mulai keluarga, pendidikan yang ditempuh di dalam maupun luar negeri, penelitian, publikasi hingga organisasi yang diikuti.

    Orasi ilmiah diawali dengan penjabaran naskah yang disusun sejak tahun 2005 sebagai bentuk sumbangsih pemikiran terhadap permasalahan peternakan sapi perah di indonesia. Seperti yang kita ketahui susu merupakan pangan bergizi dan bermanfaat untuk pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan terutama pada balita. Manfaat susu bagi manusia juga disampaikan dalam Al-Qur’an. Namun sayang sapi perah yang merupakan penghasil susu terbesar tidak banyak jumlahnya di indonesia sapi-sapi tersebut hanya bisa memenuhi 20% kebutuhan nasional.

    Populasi sapi perah di Indonesia tidak sebanyak sapi pedaging dan terdapat beberapa permasalahan pengembangan sapi perah diantaranya tempat pemeliharaan sapi perah terbatas di daerah sejuk, sapi yang tidak bisa makan banyak, padahal kebutuhan nutriennya 2 sampai 3 kali lebih banyak dibandingkan sapi yang tidak laktasi. Selain itu adalah rendahnya kualitas pakan pertama hijauan selain kualitasnya rendah,  ketersediaannya juga berflukuktuasi tergantung musim rumput. Cara pemberian pakan juga belum tepat pada peternakan skala besar yang pakan umumnya secara berkelompok sedangkan pada peternakan rakyat pakan diberikan hampir sama pada semua sapi.

    Di era digital, penggunaan teknologi presisi telah banyak memberi manfaat bagi kehidupan. Pertanian presisi menjadi kunci pengembangan pertanian masa depan. Teknologi presisi menggunakan pendekatan teknologi dan teknik pengumpulan data untuk efisiensi produktivitas dan keberlangsungan pertanian. Teknologi ini melibatkan perangkat data sensor automatisasi dan teknologi digital sehingga memungkinkan pengumpulan data sebagai dasar pembuatan keputusan secara cepat dan tepat.

    Teknologi presisi juga sudah banyak digunakan pada peternakan sapi perah di negara maju mulai dari yang kompleks seperti robot pemerah susu hingga yang sederhana seperti pemantau birahi robot pembersih lantai bahkan sudah dipakai di rumah tangga. Selain itu masih banyak keunggulan teknologi presisi yang disampaikan dalam orasi tersebut. 

    “Kami sudah mengkaji sistem formulasi ransum berbasis pemanfaatan nutrien pada ternak. Hasil penelitian kami menunjukan perlindungan protein dengan pemanasan kering lebih praktis dan aman, menghasilkan peningkatan produksi susu” jelasnya. Lebih lanjut disampaikan bahwa penyediaan database pakan lokal yang memuat informasi lengkap tentang kandungan nutrien, sangat membantu memformulasikan ransum secara presisi secara konvensional. 

    ‘’Meski sudah banyak teknologi presisi yang ada namun masih banyak peluang untuk pengembangan. Semoga teknologi presisi di bidang sapi perah mendapat dukungan pemerintah demi pengembangan peternakan sapi perah di masa depan” harapnya di akhir orasi. (Femmy).

  • Prof.Dr.Ir. Erika B. Laconi, MS menyampaikan orasi ilmiah di hadapan sekitar 400 undangan di gedung Andi Hakim Nasution, Kampus IPB Dramaga, pada hari Sabtu tanggal 6 Desember 2014. Di dalam orasinya, Prof. Erika B. Laconi mengulas mengenai peran strategis hijauan dari areal perkebunan kelapa sawit sebagai sumber bahan pakan ternak ruminansia. Orasi ilmiah yang disampaikan merupakan kompilasi hasil-hasil penelitian selama beberapa tahun terakhir, baik penelitian mandiri maupun penelitian bersama. Salah satu pokok bahasan utama adalah pengembangan peternakan rakyat berbasis hijauan di areal perkebunan.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit memiliki beragam produk hijauan, baik dari komponen kelapa sawit maupun dari berbagai vegetasi penutup tanah. Komponen kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, diantaranya pelepah daun sawit, kulit buah sawit dan bungkil kelapa sawit. Analisis usaha peternakan menunjukkan nilai ekonomis yang tinggi dengan peluang pemasaran yang terbuka lebar karena meningkatkan efisisensi penggunaan lahan di Indonesia.

    Pada akhir orasi ilmiahnya, Prof. Erika B. Laconi memberikan rekomendasi untuk melakukan harmonisasi perkebunan dengan peternakan, pemanfaatan lahan perkebunan dan program nasional untuk membangun produksi peternakan berbasis rakyat di perkebunan kelapa sawit. Prof. Erika B. Laconi mengharapkan dukungan pemerintah, BUMN dan perusahaan swasta untuk bekerja sama dalam mewujudkan usaha peternakan berbasis masyarakat perkebunan agar terbentuk harmoni usaha perkebunan-peternakan dan kemandirian produk daging terjamin.(sumber : intp.fapet.ipb.ac.id)

  • Sabtu, 13 Februari 2016, Prof.Dr.Ir. Yuli Retnani, MSc menyampaikan orasi ilmiah di hadapan sekitar 400 undangan di gedung Andi Hakim Nasution, Kampus IPB Dramaga. Di antara civitas akademik IPB turut hadir undangan Ketua MPR RI, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Walikota Bogor, Rektor Universitas Hasanudin, Direktur Perlindungan Tanaman Pangan, Kepala BP3IPTEK, Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Sukabumi, pimpinan lembaga peneliti, perwakilan BUMN dan pimpinan perusahaan swasta mitra IPB.

    Orasi Prof. Yuli Retnani berjudul "INOVASI PENGOLAHAN PAKAN UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS TERNAK DI DAERAH PERKOTAAN, RAWAN PAKAN DAN BENCANA". Di dalam orasinya, Prof. Yuli Retnani mengulas mengenai inovasi pengolahan pakan untuk mengatasi masalah kelangkaan pakan. Orasi ilmiah yang disampaikan merupakan kompilasi hasil-hasil penelitian sejak tahun 2009, baik penelitian mandiri maupun penelitian bersama. Salah satu pokok bahasan utama adalah optimalisasi teknologi pengolahan pakan dapat dilakukan dengan membuat, menyimpan dan mendistribusikan pakan ke daerah yang membutuhkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa optimalisasi teknologi pengolahan pakan dapat dilakukan dengan membuat, menyimpan dan mendistribusikan pakan ke daerah yang membutuhkan. Teknologi pengolahan pakan memungkinkan untuk mengolah bahan baku pakan yang melimpah berasal dari limbah yang terbuang.

  • Stand Ormawa Fakultas Peternakan (Fapet) IPB University menang sebagai stand terbaik pada Expo Agrisymphony 2023 (28-29/10). Ormawa Fapet  yang terlibat adalah BEM, Himaporter, Himasiter dan menampilkan stand dengan tema Texas, yaitu peternakan Amerika dengan penggambaran coboy pada zaman dahulu yang sangat menarik. Selain itu, diadakan juga kegiatan Gerakan Protein Sehat yang menggratiskan susu dan telur untuk para pengunjung dengan syarat memfollow akun Twitter Ormawa. Gerakan Protein Sehat nantinya akan sampai ke masyarakat dimana di desa dan di posyandu juga akan dilaksanakan.

    Hari Harnawan, Sekretaris Eksekutif BEM menyampaikan antusiasme pengunjung di stand Fapet “Stand Fapet adalah stand yang paling banyak pengunjung, maka dari itu di tanggal 29 kita itu mendapat tambahan stand yang tadinya 1 jadi 2 stand.  Alhamdulillahnya kita menjadi pemenang utama expo ormawa ke 1 untuk nominasi organisasi mahasiswa IPB” ujar Hari.

    Selain membagikan susu dan telur, pengunjung juga mendapatkan kesempatan untuk berfoto bersama kelinci yang lucu dan menggemaskan. Stand Fapet yang menampilkan berbagai inovasi dari Dosen dan Mahasiswa Fapet ini juga dikunjungi oleh Rektor IPB, Prof. Arif Satria. (Femmy).

  • Tidak sedikit warga Desa Nambo, Kecamatan Klapanunggal, Bogor yang memiliki peliharaan ternak untuk sekedar hobi atau sebagai mata pencaharian utama. Kesulitan pakan ternak merupakan persoalan yang kerap kali ditemui oleh peternak yang tidak memiliki pengalaman atau pendidikan peternakan.

    Pusat Pengembangan Sumberdaya manusia (P2SDM) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB) bekerjasama dengan Holcim Indonesia, hadir untuk membantu meningkatkan kemampuan masyarakat Desa Nambo sesuai dengan mata pencaharian dan hobinya. Dalam hal ini membuat silase pakan ternak domba.

    Holcim Indonesia melalui Corporate Social Responsibilty (CSR), menyiapkan lahan yang akan dikelola untuk membudidayakan rumput pakan ternak masyarakat Desa Nambo.

    Pada kegiatan ini, P2SDM menerjunkan pelatih dan pakar pengembangan pakan hijauan. Mereka adalah Khairul Ikhwan, alumni Fakultas Peternakan dan Ir.  M. Agus Setiana, MS, pakar pengembangan pakan hijauan yang sudah memiliki pengalaman dalam pembuatan teknologi pakan ternak.

    Kepada warga Desa Nambo yang memiliki ternak, Khairul Ikhwan menyampaikan materi pembuatan silase pakan ternak yang bisa disimpan dalam jangka panjang dan sangat berguna ketika musim-musim kesulitan pakan. Dalam membuat silase, peternak harus menyiapkan bahan-bahan seperti tetes tebu atau bahasa lainnya adalah molasses, dedak halus, rumput gajah, kantong plastik atau tong dan starter bakteri Em4.

    “Caranya sangat mudah yaitu potong rumput gajah dengan ukuran 5-10 sentimeter  menggunakan mesin chopper. Campurkan bahan pakan tersebut hingga menjadi satu campuran. Bahan pakan ternak tersebut dimasukkan dalam silo kantong plastik dan sekaligus dipadatkan sehingga tidak ada rongga udara. Bahan pakan ternak dimasukkan sampai melebihi permukaan silo untuk menjaga kemungkinan terjadinya penyusutan isi dari silo. Tutup rapat menggunakan plastik lalu diikat karet ban agar tidak ada udara masuk,” ujarnya.

    Menurutnya masyarakat sangat tertarik untuk mengujicobakan pakan silase ini terhadap domba mereka. Selain itu, masyarakat juga mencoba membuat silase dengan bahan lain seperti rumput lapang. Tim IPB yang diterjunkan P2SDM untuk mengawal, melatih dan membina proses pelatihan pembuatan silase adalah Khairul Ikhwan, M Fikri Biran dan Nesa Mas.(ipb.ac.id)

  • Mahasiswa Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (Fapet IPB),  Hafni Oktafiani melakukan penelitian  pemanfaatan daun singkong bersianida untuk pakan domba. Penelitian yang berjudul  “Performa dan Kecernaan Nutrien pada Domba yang Diberi Tepung Daun Singkong Pahit (Manihot esculenta) dan Bakteri Pendegradasi HCN (sianida)” ini di bawah bimbingan Dr Sri Suharti, dan Prof  Dr  Ir  Komang G. Wiryawan.

    Siaran pers IPB yang diterima Republika.co.id, Senin (7/8) menyebutkan, setiap tahun terdapat sekitar 1,2 juta ton per hektar per tahun limbah tanaman singkong khususnya daunnya yang terbuang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. “Daun singkong mengandung protein kasar yang cukup tinggi sekitar 39 persen,” kata Hafni Oktavani.

    Hal ini menunjukkan bahwa daun singkong sangat potensial dijadikan pakan ternak. “Sayangnya daun singkong mengandung antinutrisi berupa asam sianida (HCN) yang sangat beracun dalam konsentrasi tinggi,” ujarnya.

    Ia mengemukakan, ternak sapi dan kerbau mampu menoleransi kadar asam sianida sampai batas 2,2 miligram per kilogram bobot badan. Sedangkan pada kambing dan domba 2,4 miligram per kilogram bobot badan. Efek toksik sianida pada ternak kadang tidak terlihat. Ternak bisa saja tiba-tiba mati karena kekurangan asupan oksigen pada otak dan jantung. Asam sianida akan mengganggu oksidasi jaringan, karena dapat mengikat enzim sitokrom oksidase sehingga jaringan tidak dapat menggunakan oksigen.

    Hafni mengungkapkan, metode yang dapat dilakukan untuk menghilangkan asam sianida yaitu penjemuran, perendaman dengan air mengalir dan fermentasi. Penambahan daun singkong pahit dalam ransum memiliki potensi sebagai salah satu sumber protein dan pakan pengganti hijauan dengan syarat pengaruh negatif asam sianida dapat diminimalisir. Selain perlakuan pada daun singkong, efek asam sianida pada ternak ruminansia dapat diatasi dengan bantuan mikroba rumen.

    Berdasarkan penelitian, sebelumnya telah diisolasi bakteri yang memiliki karakteristik mirip dengan Megasphaera elsdenii pada cairan rumen domba yang terbiasa mengkonsumsi daun singkong. Megasphaera elsdenii memiliki kemampuan mendegradasi asam sianida selama sekitar 48 jam dan mampu menurunkan kadarnya hingga 70 persen, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif bagi ternak ruminansia.

    Penelitian ini dilaksanakan pada April-Agustus 2016 bertempat di Laboratorium Fakultas Perternakan IPB. Penelitian ini menggunakan 15 ekor domba jantan yang berumur setahun. “Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan 30 persen tepung daun singkong tidak mengurangi konsumsi  nutrien dan tingkat kecernaan nutrien dibandingkan dengan kontrol (yang tidak diberi tepung daun singkong),” tuturnya.

    Pemberian 15 persen tepung daun singkong  dan  penambahan bakteri pendegradasi asam sianida berpengaruh terhadap penambahan bobot badan dan efisiensi pakan. “Dengan demikian dapat disimpulkan, permberian daun singkong pahit dapat meningkatkan bobot badan dan efisiensi pakan,” papar Hafni Oktaviani. (http://www.republika.co.id)

  • Guru Besar IPB University, Prof Cece Sumantri, berkesempatan mendapat Program Kedaireka dengan judul, “Pengembangan Pusat Pendidikan Peternakan Terpadu di Kelompok Peternakan Rakyat Kabupaten Sukabumi: Media Merdeka Belajar Bagi Mahasiswa dalam Berbisnis Ternak Terintegrasi Dengan Hulu Hilir Secara Berkesinambungan.” Program tersebut merupakan bagian kerjasama antara Fakultas Peternakan IPB University dengan PT Sinar Harapan Farm (SHF), yang mengembangkan pembibitan Ayam IPB D1 di Jampang Tengah, Sukabumi, Jawa Barat.

    Kegiatan ini menjadi sarana pembelajaran wisata pertanian terpadu berwawasan lingkungan bagi masyarakat. Ke depannya, selain ternak Ayam IPB D1, dalam area SHF akan dikembangkan peternakan kelinci dan domba serta lebah klanceng.

    Prof Cece Sumantri, penemu varietas ayam IPB D1 menjelaskan, program ini bertujuan sebagai upaya diversifikasi sumber protein hewani dengan membuat produk olahan bakso campuran dari daging ayam IPB D1 dengan daging kelinci. Upaya ini dilakukan karena konsumsi daging kelinci di masyarakat masih sangat rendah, karena masyarakat menganggap kelinci sebagai hewan kesayangan.  “Ayam IPB D1 dapat menghasilkan ayam dengan tekstur daging ayam kampung dan memiliki pertumbuhan yang cepat,” kata dosen IPB University dari Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP) ini.  

    Program pengembangan ternak ini akan dilakukan secara terintegrasi. Mulai dari budidaya, processing, pengolahan produk dan penanganan limbah. Sistem pertanian terpadu ini juga mendukung zero waste, karena limbah dari peternakan dimanfaatkan sebagai pupuk. Dengan demikian, akan membantu petani dalam efisiensi biaya pertanian. Selain itu, sistem pemeliharaan ternak di masyarakat pun bisa dibantu dalam hal manajemen pemeliharaan maupun manajemen pakan. Hal ini tentu dapat membantu masyarakat agar memelihara ternak bukan hanya sekedar untuk peliharaan saja tetapi sebagai salah satu sumber pendapatan. 

    Prof Cece mengklaim, program ini merupakan implementasi program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Program ini mengajak mahasiswa bisa langsung ke industri dan langsung praktik dengan mengamalkan ilmunya kepada masyarakat. Program ini diharapkan mampu meningkatkan keterampilan dan pengalaman mahasiswa dalam penanganan dan pengelolaan ternak yang mempunyai potensi untuk dikembangkan di masa depan.

    Sementara, Ali Mustofa, alumnus IPB University dari Fakultas Peternakan menerangkan, program ini dapat mengurangi ketergantungan produk ternak terhadap impor yang masih cukup tinggi. Program ini juga sekaligus meningkatkan konsumsi protein hewani di masyarakat pedesaan berbasis kelinci dan ayam lokal. (ipb.ac.id)

  • Sapi perah yang banyak dipelihara di Indonesia adalah sapi perah Friesian Holstein (FH), yang merupakan bangsa sapi perah dengan tingkat produksi susu tertinggi, dan berkadar lemak yang relatif rendah dibandingkan sapi perah lainnya. Jenis pakan yang diberikan pada sapi perah dapat mempengaruhi produksi dan kualitas susu, serta dapat berpengaruh terhadap kesehatan sapi perah. Akan tetapi faktor penyediaan pakan hijauan yang berkualitas masih menjadi kendala, karena semakin terbatasnya jumlah lahan untuk penanaman hijauan makanan ternak. Dengan demikian perlu diupayakan untuk mencari pakan alternatif yang potensial, murah dan mudah didapat serta tersedia sepanjang tahun. Perkebunan kelapa sawit berpotensi menjadi sumber pakan alternatif untuk mengembangkan usaha peternakan.

    Tiga orang peneliti yang terdiri dari P. Riski dari Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Sekolah Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor (IPB); B. P. Purwanto dari Program Diploma IPB; beserta Afton Atabany dari Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan (Fapet) IPB melakukan penelitian untuk mengetahui produksi dan kualitas susu sapi FH laktasi yang diberi pakan daun pelepah sawit.

    “Peluang bagi peternak untuk memanfaatkan hasil sampingan dan limbah dari perkebunan kelapa sawit berpotensial untuk dijadikan sebagai pakan alternatif untuk ternak, karena masih tersedia dalam jumlah yang banyak, belum dimanfaatkan secara optimal dan tersedia sepanjang tahun,” tutur Afton Atabany.

  • Kawasan hutan Amazon dikenal sebagai paru-paru yang diperkirakan dapat menampung 150 miliar karbon dan menjadi hot spot keanekaragaman hayati dan hewani dunia. Seiring dengan perubahan iklim global yang berdampak pada kekeringan ekstrim keberadaan dan fungsi hutan Amazon ini perlahan namun pasti akan terus mengalami degradasi dan jika tidak diambil langkah ekstrim bukan tidak mungkin lenyap dari bumi

    “Penyebab utama kehancuran ekosistem hutan Amazon ini adalah aktivitas manusia yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi jangka pendek seperti masuknya perusahaan raksasa pertambangan, pertanian dan peternakan yang menyisakan sengsara dan nestapa bagi penduduk asli yang hidupnya tergantung pada keberadaan hutan tropis ini,” ujar Prof Ronny Rachman Noor, pakar Genetika Ekologi dari IPB University.

    “Kerusakan hutan dalam skala besar yang telah terjadi puluhan tahun ini dikombinasikan dengan kekeringan menjadikan hutan Amazon diambang kehancuran yang tidak akan pernah terpulihkan kembali,” ucap Prof Ronny.

    Prof Ronny menjelaskan, bahwa di tahun 2015 hutan Amazon pernah dilanda kekeringan sangat parah yang berdampak pada kematian 2,5 miliar pohon dan tanaman serta satwa liar.

    Menurut Prof Ronny, kawasan hutan Amazon menciptakan iklim yang sangat unik di wilayahnya karena air yang menguap dari pepohonan ini membentuk awan hujan dan mendaur ulang kelembaban yang menyebabkan hutan tetap sejuk dan lembab sekaligus menyediakan air yang sangat vital bagi kehidupan satwa dan juga penduduk yang menggantungkan kehidupannya pada hutan tropis ini.

    “Kerusakan hutan yang terjadi selama ini membuat hutan terfragmentasi akibat kekeringan dan sebagian telah berubah menjadi savana yang mulai memecah hutan tropis ini. Kematian flora dan fauna hutan tidak akan dapat dipulihkan kembali dan berdampak pada kerusakan permanen,” tutur prof Ronny.

    Ia menjelaskan, jika tingkat deforestasi hutan Amazon sudah mencapai 25 persen dan mengalami peningkatan suhu rata rata periode pra industri maka hutan Amazon sudah dalam keadaan kritis. Kondisi saat ini tampaknya sudah mengarah ke titik kritis karena saat ini 17 persen hutan Amazon telah digunduli dan suhu global berada di atas suhu pra industri.

    “Data empiris menunjukkan bahwa kekeringan ekstrim tahun ini memicu kebakaran hutan akibat pembukaan lahan yang tidak terkendali. Disamping itu tingkat kematian satwa liar seperti lumba lumba yang menghuni danau di Amazon semakin meningkat akibat suhu air mencapai 40,9 derajat celcius,” ujar Prof Ronny.

    Menurut Prof Ronny, kekeringan ekstrim yang menimpa Amazon ini telah berdampak langsung pada kehidupan penduduk yang tinggal di kawasan ini karena sumber air dan pangan berkurang drastis hingga terganggunya transportasi akibat sungai yang mengering.

    “Kerusakan hutan Amazon akibat aktivitas manusia ini seharusnya dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi Indonesia karena terdegradasinya lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati dan hewan ini akan berdampak pada kelangsungan hidup generasi mendatang,” ungkap Prof Ronny (ipb.ac.id)

  • Pakar Genetika Ekologi IPB University, Prof Ronny Rachman Noor, mengungkapkan di kawasan Asia kerbau merupakan salah satu jenis ternak penghasil daging sehingga dibudidayakan, namun sayangnya saat ini populasi kerbau dunia menurun secara salah satunya akibat mekanisasi pertanian. Disamping itu kerbau memiliki ciri reproduksi khas yaitu silent heat atau birahi tidak tampak, sehingga menghambat keberhasilan inseminasi buatan pada kerbau.

    Dalam sejarah, dahulu Australia pernah mendapat sumbangan kerbau dari Bogor, kini populasi kerbaunya berkembang dengan sangat cepat di alam liar utamanya di kawasan utara Australia. Kawanan kerbau liar ini seringkali menjadi masalah besar terkait kerusakan lingkungan yang diakibatkannya.

    “Populasi kerbau di Australia umumnya menempati wilayah terpencil yang sulit terjangkau, oleh sebab pengawas populasi kerbau liar dilakukan oleh penduduk asli Australia. Salah satu wilayah populasi kerbau liar terbesar di Australia adalah wilayah Arnhem Northern Territory dan teluk Carpentaria di Queensland yang diperkirakan jumlah populasi nya lebih dari 200 ribu ekor,” papar Prof Ronny

    Lanjutnya, kondisi ini membuat lembaga penelitian Australia CSIRO dan pemerintah membuat program yang dinamakan Space Cows untuk memonitor populasi kerbau liar dengan memanfaatkan kombinasi teknologi satelit, kecerdasan buatan dan pengetahuan penduduk lokal.

    “Penggunaan teknologi kecerdasan buatan diperlukan untuk memprediksi perkembangan populasi ke depan dan juga penyebaran dan pergerakan kerbau liar,” ujarnya.

    Menurut Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University ini, program monitoring memang tidaklah mudah dilakukan karena disamping luasnya wilayah yang harus dijangkau juga karena keterpencilan wilayah serta besarnya jumlah populasi yang harus diawasi.

    “Sebagai gambaran besarnya skala proyek percontohan pengawasan ini wilayah yang harus diawasi mencapai 22 ribu kilometer di wilayah terpencil di Australia Utara dan harus menangkap 1000 kerbau dan sapi liar untuk diberi nomor dan dipasang alat pelacak,” tuturnya.

    Menurut Prof Ronny, proyek percontohan ini harus menggunakan kendaraan khusus dan helikopter untuk mengumpulkan kerbau liar dan dipasang alat pelacak Global Positioning System (GPS) sebelum dilepaskan kembali. Dengan adanya proyek percontohan ini pemerintah Australia dapat mengamati pergerakan dan perkembangan populasi kerbau liar untuk mengontrol dan mengendalikan populasinya.

    “Pemahaman akan perkembangbiakan dan juga pergerakan kerbau liar ini sangat vital untuk diketahui untuk mencegah ledakan populasi dan invasi kerbau liar ini ke wilayah peternakan,” katanya

    Populasi kerbau liar dalam jumlah besar ini telah berubah menjadi hama karena menginvasi wilayah yang memiliki sumber air sehingga mempengaruhi ketersediaan air dan juga ketersediaan pakan rumput liar bagi peternakan komersil.

    Ia menjelaskan, Australia yang memiliki wilayah sangat luas saat ini disamping menghadapi masalah kerbau liar juga menghadapi masalah sapi liar, babi liar, kelinci liar yang berdampak sangat besar bagi peternakan Australia yang selama ini menjadi andalan penghasil devisa.

    “Oleh sebab itu pengendalian populasi kerbau liar dengan memanfaatkan teknologi mutakhir diharapkan menjadi kunci untuk mengontrol populasinya agar dapat terkendali dan tidak merugikan dan menyebabkan degradasi lahan,” ujar Prof Ronny

  • Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University, Prof Asep Gunawan menyampaikan bahwa peningkatan konsumsi protein hewan akan terus bertambah dua kali lipat di negara berkembang. Namun, banyak pendapat yang menyatakan bahwa penyakit stroke, kolesterol, kanker, jantung disebabkan karena konsumsi daging domba dan sapi. 

    Oleh karena itu, dalam webinar Kedai Reka bertema “Perbaikan Mutu Genetik Produksi Daging Sehat dan Berkualitas pada Ternak Domba”, (28/11), Prof Asep menjelaskan tentang perbaikan mutu genetika ternak lokal untuk mengatasi stigma tersebut. 

    “Perbaikan mutu genetika ternal lokal dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu karakterisasi dan inventarisasi sumberdaya genetika ternak lokal, pengembangan model statistik untuk meningkatkan akurasi pengestimasian nilai pemuliaan dan parameter genetik dan perbaikan mutu genetik ternak lokal berbasis pendekatan molekuler genetika untuk perbaikan produksi dan kualitas daging ternak llokal sebagai penyedia pangan sehat,” ujarnya dalam webinar yang gelar atas kerjasama Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan IPB University dan mitra peternakan Sinar Harapan Farm (SHF). 

    Ia menambahkan bahwa perbaikan mutu genetik ini didasarkan hasil kajian-kajian. Oleh karena itu, dilakukan penelitian terkait kualitas daging dan komposisi gizi.  "Hasil penelitian ini akan menjadi dasar pembentukan rumpun atau galur baru domba yang memiliki kualitas daging premium dan sehat. Selain itu, akan dikembangkan aplikasi untuk merecord ternak,” tambahnya. 

    Sementara itu, Yusuf Munandar, Founder A.F.Y Farm Sheep and Goat Farm hadir dan menyampaikan strategi dalam beternak domba dan kambing. Domba dan kambing belum dikuasai oleh asing, sehingga masih memiliki potensi yang luas. 

    “Kegiatan utama dalam dunia usaha peternakan adalah budidaya, penggemukan dan perdagangan. Domba dan kambing yang ada di Indonesia banyak yang berpotensi untuk dikembangkan. Skema breeding harus dilakukan secara tepat waktu,” imbuhnya. 

    Menurutnya, saat memulai beternak, hal yang terpenting dimiliki adalah lahan dan pakan. Setelah itu baru kandangan, penyakit, skill dan kemampuan. 

    Pada kesempatan yang sama, Ketua Tim Peneliti Kedai Reka, Prof. Cece Sumantri menyampaikan bahwa program ini merupakan salah satu media belajar mahasiswa. 

    “Kegiatan ini juga dapat menjadi suatu wadah dalam peningkatan kompetensi mahasiswa untuk memperbaiki mutu genetik produksi daging dan berkualitas pada ternak domba,” tandasnya (ipb.ac.id)

  • Sebagian dari kita mungkin hanya mengetahui sepintas manfaat domba, misalnya untuk diambil dagingnya dan bulunya. Namun di luar itu semua domba merupakan ternak yang sangat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan sekaligus merupakan salah satu hewan ternak yang unik.

    Prof Ronny Rachman Noor, Pakar Genetika Ekologi IPB University menjelaskan, saat ini terdapat ratusan ras domba ada di dunia memiliki berbagai keunikan dari penampilannya, meskipun semua ras domba ini masih termasuk dalam satu spesies yaitu Ovis aries”.

    “Jika kita tengok sejarah evolusi domba maka kita akan memutar balik sejarah evolusi domba yang dimulai sekitar 10-20 juta tahun lalu dan titik domestikasi diperkirakan dimulai 11,000 dan 9,000 BC di pegunungan di wilayah Mesopotamia Asia Tengah” ujar Prof Ronny.

    Ia melanjutkan, dari titik awal nenek moyang domba inilah domba mulai menyebar ke seluruh dunia termasuk ke wilayah ekstrim untuk tumbuh dan berkembang sehingga menghasilkan berbagai ras domba yang unik yang dapat kita lihat saat ini.

    “Ketika domba tumbuh dan berkembang di satu wilayah yang lingkungannya unik dan ada campur tangan manusia untuk membiakkannya, maka akan membentuk domba hasil domestikasi yang sangat unik, misalnya domba yang tanduknya memutar di wilayah Hongaria yang dinamakan domba Racka, domba berwarna putih dengan telinga berdiri tegak yang dinamakan domba Leicester di wilayah Skotlandia. Indonesia juga memiliki jenis domba yang unik yang dikenal dengan domba Garut,” jelasnya.

    Menurut Prof Ronny, di alam domba merupakan mamalia yang hidup berkelompok agar dapat mempertahankan diri dari predator. Disamping itu kehidupan sosial domba yang berkelompok ini memudahkan untuk menemukan makanan dan saling melindungi agar dapat tumbuh dan berkembang biak. Dari berbagai hasil penelitian ternyata domba dapat mengenali wajah domba lainnya termasuk manusia.

    “Dari catatan dan temuan sejarah, ternyata di abad ke-17 usus domba setelah diolah dengan cara tertentu ternyata pernah digunakan sebagai kondom sebelum kondom modern berbahan latex dikembangkan,” ungkap GUru Besar IPB University ini.

    Ia menambahkan, dari sisi perkembangan ilmu pengetahuan domba juga tercatat sebagai mamalia yang berjasa. Domba mengilhami pengembangan teknologi inseminasi buatan yang berkembang dengan pesat saat ini termasuk pada manusia.

    “Dengan mempelajari embriologi domba, para pakar reproduksi manusia akhirnya dapat meningkatkan produksi sel telur pada manusia yang mendasari keberhasilan bayi tabung pada manusia,” ujar Prof Ronny

    Menurut Prof Ronny, tonggak sejarah kloning dengan menggunakan sel somatik juga dimulai dengan menggunakan domba. “Sel somatik ini berkembang menjadi embrio dan menghasilkan domba Dolly yang dianggap sebagai penemuan spektakuler dalam dunia ilmu pengetahuan yang merubah arah perkembangan teknologi kloning,” tutur Prof Ronny. (ipb.ac.id)

  • Seringkali kita memandang sebelah mata terhadap beberapa satwa yang terlihat seperti hama atau menjijikkan. Padahal di balik itu, terdapat segudang manfaat yang dapat diberikan olehnya. Seperti halnya jangkrik, serangga yang kerap muncul di malam hari itu memiliki manfaat yang berguna untuk mendongkrak ekonomi masyarakat.

    Dosen IPB University yang merupakan pakar sistem integrasi peternakan, Prof Dr Asnath M Fuah mengatakan bahwa jangkrik merupakan salah satu pangan alternatif yang baik untuk menambah nilai gizi pangan, serta kaya akan protein. Saat ini, masyarakat Indonesia lebih mengedepankan pada penggunaan jangkrik sebagai pakan unggas. Padahal dengan pemasaran yang baik, produksi pangan menggunakan tepung jangkrik akan lebih diminati.

    “Sebetulnya jangkrik bisa dijadikan olahan pangan. Asal pengolahannya baik dan berlabel, kita bisa membawanya ke market yang luas,” ungkapnya.

    Dengan demand yang tinggi untuk pakan unggas, supply jangkrik belum memenuhi, sehingga usaha budidaya jangkrik dinilai memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Terutama budidaya jangkrik jenis kliring, cendawang, dan kalung yang memiliki produktivitas yang tinggi.  Selain itu, pemeliharaannya mudah serta ramah lingkungan.

    Di samping untuk pakan unggas, Prof Dr Dewi Apri Astuti, dosen IPB University sekaligus pakar nutrisi ternak Fakultas Peternakan mengatakan bahwa penggunaan tepung jangkrik juga berguna bagi ternak ruminansia dengan kondisi kelahiran tertentu serta pada masa kehamilan. Saat ini, peternak lebih sering menggunakan bungkil kedelai dan tepung ikan yang masih diimpor. Padahal dengan penambahan tepung jangkrik, nilai gizinya pun tidak berbeda nyata.

    Hasil riset juga mengungkapkan bahwa ternak kambing, dalam masa kehamilan, setelah diberi pakan tepung jangkrik menunjukkan perbaikan nilai gizi dalam darah. Selain itu, pada kambing jantan, kualitas spermanya pun menjadi lebih baik. Namun demikian, pemberian tepung jangkrik sebagai pengganti susu maupun pakan bagi ternak hanya bersifat sementara saja.

    Dalam usaha budididaya jangkrik, Dr Yuni Cahya Endrawati, dosen IPB University dan pakar Satwa Harapan Fakultas Peternakan mengatakan bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh peternak jangkrik, yaitu kondisi lingkungan terutama suhu dan kelembaban. Kedua hal tersebut dinilai sangat berpengaruh pada produktivitas jangkrik.

    “Karena tempat budidaya haruslah sama dengan habitat aslinya. Selain itu, tipe opositor pada tubuh tiap jenis jangkrik harus diperhatikan, karena akan menentukan manajemen penetasannya. Perbandingan antara beberapa jenis jangkrik yang dibudidayakan di Indonesia menunjukkan bahwa karakteristik jangkrik bimaculatus atau kalung memiliki keunggulan yang berbeda, baik dari umur hingga kandungan nutrien lebih baik. Walaupun jangkrik jenis mitratus memiliki penetasan yang lebih tinggi, karakternya yang lincah membutuhkan penanganan yang agak sulit. Jadi inilah alasan mengapa bimaculatus lebih unggul. Itu karena memang pemanfaatan diproduknya atau permintaan pasar secara karakteristik jangkriknya lebih disukai hewan lainnya sebagai pakan,” jelasnya.

    Sementara itu Ahmad Anwari, Ketua Kelompok Ternak Jangkrik Perwira Bekasi saat ditanya alasannya menggeluti bisnis budidaya jangkrik, ia mengaku bahwa budidaya jangkrik, selain menguntungkan juga tidak memerlukan halaman yang luas untuk budidayanya. "Pakan pendamping pun sangat mudah didapatkan seperti daun pisang maupun rerumputan yang berkadar air tinggi, " ungkapnya. (ipb.ac.id)

  • Fakultas Peternakan (Fapet) IPB University menyelenggarakan Seminar Nasional  bertajuk “Upaya Pencegahan Penyebaran Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) Melalui Implementasi Manajemen dan Bosekuriti, Peningkatan Imunitas, Logistik Ternak dan Produk Ternak Terstandar” secara daring  (2/6). 

    Dekan Fakultas Peternakan IPB University, Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc.Agr membuka acara dengan memberikan sambutan sekaligus sebagai keynote speech.  “Dunia Peternakan mengalami musibah dengan adanya wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Seperti kita ketahui, bahwa wabah ini diberitakan pertama kali muncul pada bulan April 2022 di Jawa Timur (terutama di daerah Gresik, Sidoarjo, Lamongan dan Mojokerto ) kemudian juga di Aceh (Aceh Tamiang dan Aceh Timur). Setelah lebih dari 30 tahun, yaitu tahun 1986 kita dinyatakan bebas PMK oleh OIE (Word Organization for Animal Health) Badan Dunia untuk Kesehatan Hewan, saat ini kita harus berjuang kembali untuk mengatasi PMK” ujarnya.

    Dr. Idat juga menguraikan banyak hal terkait wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang merupakan penyakit yang sangat berbahaya karena sangat cepat penularannya antar ternak berkuku belah, seperti sapi, kerbau, kambing, domba, dan babi. Keterkaitan dengan Hari Raya Idul Adha, hingga apresiasi pada langkah-langkah dan kebijakan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian Republik Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran (18 Mei 2022) terkait dengan “Pelaksanaan Kurban dan Pemotongan Hewan Dalam Situasi Wabah PMK”, dan juga Surat Edaran Badan Karantina Hewan Pertanian tentang “Peningkatan Kewaspadaan terhadap Kejadian PMK” terutama dalam pengaturan dan pengawasan lalu lintas ternak pada masa wabah PMK. Kita juga patut bersyukur Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 31 Mei 2022 juga telah mengeluarkan Fatwa terkait “Hukum dan Panduan Pelaksanaan Ibadah Kurban Saat Kondisi Wabah PMK”.

    Direktur Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak, drh Agung Suganda, M.Si hadir mewakili Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI menyampaikan pidato kunci dalam kegiatan tersebut. Beberapa hal yang disampaikan antara lain adalah sejarah awal Indonesia telah mendeklarasikan bebas PMK pada tahun 1986 dan mendapatkan pengakuan internasional sebagai negara bebas PMK tanpa vaksinasi dari Badan Kesehatan Hewan dunia (OIE) pada tahun 1990. Saat ini Indonesia kembali diuji oleh wabah PMK yang sudah terkonfirmasi di 17 provinsi. Wabah PMK sangat berdampak pada program peningkatan kemandirian, ketahanan pangan serta berpotensi merugikan negara mencapai sekitar Rp. 9,9 trirliyun per tahun akibat penurunan produksi dan produktivitas, biaya pengobatan dan vaksinasi, pelarangan ekspor hewan dan produknya serta pembatasan lalu lintas hewan dan produksi hewan di dalam negeri. Langkah-langkah aksi penanganan PMK yang telah, sedang dan akan dilakukan antara lain dengan pembentukan gugus tugas dan posko atau crisis center tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, pengaturan lalu lintas ternak, pemberian bantuan obat-obatan, pengadaan dan penyediaan vaksin, pelatihan petugas atau tenaga kesehatan hewan, penjelasan komunikasi, edukasi dan informasi agar masyarakat peternak tidak panik namun tetap waspada untuk menghadapi penyebaran PMK yang begitu cepat, lanjutnya.

    Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan juga menyambut baik acara seminar ini, yang diselenggarakan oleh Fakultas Peternakan IPB. Dalam pidato kuncinya ia menyampaikan harapannya agar seminar ini dapat mensosialisasikan, mendorong, dan meningkatkan perhatian insan peternakan untuk dapat melakukan langkah-langkah nyata dalam perspektif bidang peternakan, bersinergi bersama pemerintah dalam upaya pencegahan dan penanggulangan wabah PMK.

    Seminar Nasional yang dimoderatori oleh Prof. Dr. Ir. Luki Abdullah, MScAgr  dari Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan -  Fapet ini menghadirkan empat orang narasumber dengan keahlian mumpuni di bidang peternakan. Narasumber pertama adalah Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA yang mengawali materinya dengan gambaran peternakan rakyat di Indonesia dan menjelaskan akibat yang ditimbulkan PMK bagi peternakan rakyat antara lain adalah banyak ternak yang terpapar, penularan virus cepat dan merebak masif, pasar hewan tutup dan perdagangan terhenti sampai peternak yang pasrah dan dimanfaatkan pihak lain. Di akhir paparan, Prof. Muladno memberikan solusi untuk Idul Adha ditengah merebaknya wabah PMK, solusi tersebut meliputi penjualan dalam bentuk daging segar kemasan bukan ternak hidup, penjual menyediakan jasa penyembelihan ternak qurban dan pengemasan daging segarnya, merekrut banyak tenaga terampil juleha (juru sembelih halal) bersertifikat dan memperbanyak pelatihan bagi juleha serta mengikuti prosedur penyembelihan hewan yang berlaku, mengacu pada SE Mentan RI Nomor: 03/SE/PK.300/M/5/2022). Dokumentasi berupa video selama proses penyembelihan, pemotongan daging, dan pengemasan daging segar siap edar juga bisa dijadikan solusi.

    Narasumber berikutnya menghadirkan Prof. Dr. Ir. Rudy Priyanto yang menyampaikan Manajemen dan Biosekuriti Ternak Ruminansia. Dalam paparannya dijelaskan bahwa penerapan manajemen dan biosekuriti di peternakan harus diperkuat untuk pengendalian PMK yang lebih efektif. Strategi yang bisa dilakukan yaitu dengan penerapan on farm biosecurity berbasis kawasan yang mencakup biosecurity ternak, kandang dan peralatan, pakan dan air minum, pengelola ternak dan pengunjung, serta kendaraan pengangkut ternak dan pakan pada suatu kawasan peternkan rakyat.

    Pada seminar ini Peningkatan Imunitas Ternak, yaitu melalui pemberian pakan berkualitas serta penambahan suplemen seperti vitamin dan mineral serta penggunaan herbal disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS. Dalam paparannya, Prof. Dewi juga memberikan kiat menjaga sapi tetap sehat, menjelaskan imunitas dan fungsinya untuk kesehatan hewan. Di akhir materi, disampaikan juga rekomendasi dalam peningkatan imunitas “Usahakan dilakukan pencegahan terhadap PMK, jaga kebersihan, berikan pakan yang dapat meningkatkan imunitas ternak” urainya.

    Keamanan Pangan Produk Ternak Ruminansia Peternakan juga menjadi salah satu materi pada seminar ini. Produk ternak seperti daging dan susu dari ternak yang terjangkit PMK aman dikonsumsi sepanjang dimasak dalam waktu yang cukup. Namun peternak dan masyarakat perlu diberikan edukasi bagaimana penanganan produk ternak yang terkena PMK agar tidak menyebabkaan penularan pada ternak lainnya. Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Ir. Epi Taufik SPt MVPH, MSi.

    Materi terakhir menampilkan narasumber dari Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan, Jawa Barat yaitu drh Supriyanto selaku Kepala Bidang Keswan dan Kesmavet, Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Jawa Barat. Materi yang disampaikan yaitu Regulasi Transportasi Ternak untuk Mencegah Penyebaran PMK. Ratusan peserta seminar menyimak pemaparan seputar lalu lintas hewan saat wabah yang disampaikan berdasarkan dasar hukum dan data yang akurat terutama di provinsi Jawa Barat. (Femmy)

  • Guru Besar Fakultas Peternakan IPB Prof Ronny Rachman Noor mengatakan untuk mewujudkan swasembada daging pemerintah harus fokus pada program yang menjadi prioritas mengingat anggaran yang dimiliki terbatas.  Menurutnya, kekurangan pasokan daging sapi di dalam negeri akan terus terjadi sampai dengan tahun 2020.

    "Kita harus menyelesaikan kesenjangan antara produksi dan permintaan ini, anggaran kita terbatas, gunakan dengan sebaik-baiknya, apalagi tenaga ahli kita banyak," kata Ronny dalam kegiatan praorasi guru besar IPB di Kampus Baranangsiang, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis.

    Menurut mantan Atase Pendidikan dan Kebudayaan di KBRI Canbera, Australia ini, untuk mengisi kesenjangan tersebut diperlukan pembibitan sapi sebagai tulang punggung penyedia ternak bakalan untuk ternak potong.

    "Kita kurang bakalan, artinya kurang bibit. Ini yang tidak pernah disentuh, kita harus memiliki sapi bangsa baru untuk suplai bakalan dan suplai daging," kata Ronny.

    Ia mengatakan data empiris menunjukkan swasembada daging tidak akan pernah dapat terwujud jika tidak dilakukan langkah ekstrem dalam pembibitan sapi. Menurut Ronny, semua potensi ternak lokal penghasil daging seperti sapi, kambing, domba, ayam, itik, dan kelinci dapat dilibatkan untuk mewujudkan program swasembada daging. Sektor perikanan juga diharapkan dapat berperan besar dalam mewujudkan swasembada protein hewani melalui peningkatan konsumsi ikan.

    Ronny menambahkan program terpadu swasembada protein hewani ini diharapkan tidak saja mengefisiensikan penggunaan anggaran, tetapi juga akan menghilangkan sekat-sekat yang selama ini menghambat kerja sama lintas sektor.

    "Dengan hilangnya sekat ini diharapkan swasembada protein hewani dapat diwujudkan dalam waktu dekat untuk mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia," kata Ronny (antaranews)

  • Idah Saidah, alumni IPB University pelaku wirausaha di bidang hijauan pakan Diervoeder Agro mengatakan bahwa permasalahan utama peternakan di Indonesia adalah petaninya yang berusia tua dan minim teknologi.
     
    “Strategi pemenuhan hijauan pakan yaitu eksplorasi hijauan pakan lokal, pemetaan daerah sentra hijauan pakan dan mendorong sektor hulu peternakan melalui penerapan dan investasi teknologi,” jelas Idah beberapa waktu lalu saat hadir sebagai narasumber dalam seri webinar “Strategi Pemenuhan Kebutuhan Hijauan Pakan Berbasis Teknologi di Era 4.0”.

    Webinar yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak (Himasiter), Fakultas Peternakan IPB University ini juga menghadirkan Prof Luki Abdullah, Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University.

    Menurutnya, semenjak menyebarnya wabah COVID-19, bisnis peternakan di kalangan generasi milenial semakin berkembang dan menjadi peluang bisnis yang sangat diminati karena menguntungkan. Namun, Prof Luki menyebutkan bahwa perlu adanya kolaborasi antara teknologi dengan masyarakat untuk meningkatkan inovasi bisnis pakan hijauan.
     
    “Alasan kenapa ada fakultas peternakan di Indonesia itu karena beternak bukan hanya sekadar memelihara hewan ternak saja, tetapi beternak itu harus menjadi bisnis yang untung dan efisien,” tutur Prof Luki (ipb.ac.id)

  • Fakultas Peternakan (Fapet) IPB menyelenggarakan acara panen perdana ayam broiler di Closed House yang terletak di Laboratorium Lapangan Blok B Fapet IPB Pada hari Selasa tanggal 2 November 2021.  Kandang ayam broiler closed house ini merupakan kerjasama dengan PT. Charoen Phokpand Indonesia yang peresmiannya dilakukan pada tanggal 29 Oktober 2021 yang lalu. Sebelum bertandang ke Lab. Lapangan, para undangan yang terdiri Rektor dan para Wakil Rektor dan para Dekan dari berbagai Fakultas yang ada di lingkungan IPB serta Dekan Fapet di periode sebelumnya, Para wakil Dekan Fapet IPB, Ketua dan Sekretaris Senat Fapet IPB, Ketua dan Sekretaris Departemen serta para Kepala Divisi di Lingkungan Fapet IPB terlebih dahulu menghadiri acara resmi yang berlangsung di halaman Fakultas Peternakan IPB.

    Dekan Fakultas Peternakan IPB Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr menyampaikan indikator performa ayam broiler selama 32 hari pemeliharaan. “Melihat performa yang dilaporkan dari Tim Closed House sangat baik, dengan awal DOC masuk sebanyak 20.200 ekor, tingkat kematian kurang dari 3.44% yang relatif sangat rendah dibandingkan dengan kandang konvensional” urainya. Beliau juga menjelaskan rata-rata bobot badan  2,10 kg pada umur 32 hari dengan Feed Conversion Ratio (FCR) sebesar 1,42 (serta Index Performance (IP) sebanyak 445 (excellent).

    Selanjutnya disampaikan sambutan dari Assistant Vice President PT. Charoen Pokphand Indonesia Bapak Ali Imron. Dengan antusias beliau menyampaikan apresiasinya dalam kesempatan ini “Saya dangat berbahagia karena mendengar bahwa performa dari ayam-ayam yang akan dipanen itu luar biasa, jarang-jarang di kandang Charoen Pokphand sendiri bisa mencapai angka itu” ujar pria yang juga alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB ini. Bapak Ali Imron juga menyampaikan bahwa closed house yang ada di Fapet IPB ini bisa menjadi sarana untuk kegiatan MBKM mahasiswa lintas program studi dan lintas PT.

    Tidak hanya Ali Imron, Rektor IPB Prof. Arif Satria juga menyampaikan kebanggaannya akan performa yang dihasilkan dalam panen perdana kali ini. Selanjutnya beliau juga berharap Teaching Farm Fapet IPB terus berkembang sebagai tempat riset dan sarana MBKM untuk para mahasiswa. Acara dilanjutkan dengan mengunjungi Broiler Closed di Lab. Lapangan Blok B serta ditutup dengan ramah tamah dan santap siang dengan steak berkualitas dari Fakultas Peternakan IPB. (Femmy/Sri Suharti)