News

  • Daging ayam broiler merupakan jenis daging yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Pengangkutan ayam broiler biasanya hanya menggunakan keranjang terbuka yang disiram dengan air untuk mengurangi stres panas yang dialami oleh ayam selama pengangkutan. Kesejahteraan ternak dan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan sangat minim diperhatikan. Oleh karena itu, tiga orang peneliti yaitu Ahmad Yani,  Pratama dan R. Afnan dari Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP) Fakultas Peternakan (Fapet) Institut Pertanian Bogor (IPB) melakukan riset tentang pengaruh perbedaaan transportasi sistem M-CLOVE dengan konvensional terhadap fisiologis ayam broiler.

    Ahmad Yani mengatakan, M-CLOVE merupakan alat angkut ayam dengan sistem transportasi tertutup yang didesain dapat mengantisipasi keadaan yang terjadi saat transportasi, seperti cuaca panas dan dingin. Ketika cuaca panas, kipas akan mengatur kondisi suhu dalam box sehingga panas dapat dikurangi. Modelnya mengadopsi seperti model box, mobil konvensional yang dimodifikasi. Mobil yang digunakan jenis pick up atau sejenisnya.

    Kotak penutup utama dibuat dari bahan papan triplek kayu dengan dimensi 1,35 m x 2,95 m x 1,75 m, memiliki volume tampung 1,30 m x 1,85 m x 1,70 m. Pada bagian atas depan, ukuran penutup dilebihkan ke depan untuk memberikan celah bagi cerobong angin. Akses bongkar muat keranjang ayam terdapat pada bagian samping. Bagian dalam M-CLOVE merupakan tempat utama untuk meletakkan keranjang ayam. Pada bagian ini lokasi penempatan keranjang dibuat menjadi tiga tingkatan. Tingkat pertama dan kedua merupakan tempat pengangkutan ayam yang berisi masing-masing satu buah keranjang ayam. Tingkat terbawah ditempatkan kotak reaktor yang berisi bahan organik sekam padi yang berfungsi menyerap bau dari kotoran ayam. Terdapat ventilasi pada bagian samping dan belakang M- CLOVE sebagai sumber sirkulasi udara. Sementara, pengangkutan ayam konvensional menggunakan keranjang ayam konvensional yang disusun pada mobil pengangkut jenis pick up atau truk. Pengangkutan ini tidak dapat melindungi ayam dari panas maupun hujan, sehingga dapat membuat cekaman stres pada ayam meningkat. Keranjang ayam konvensional berukuran 95 cm x 50 cm x 25 cm.

    Peneliti menggunakan ayam broiler siap panen berumur 30 hari berjumlah 10 ekor jantan dan 10 ekor betina. Masing-masing keranjang diisi ayam broiler sebanyak 5 ekor jantan dan 5 ekor betina. "Pengangkutan dilakukan dengan lama waktu satu jam perjalanan, dan kecepatan kendaraan stabil 40 kilometer per jam," ujarnya. Proses pengangkutan dilakukan kembali pada ayam broiler umur 35 dan 40 hari. Dari percobaannya peneliti ini menjelaskan bahwa rataan suhu dan kelembaban relatif selama proses transportasi pada M- CLOVE lebih rendah dibanding dengan keranjang konvensional. Perbedaan suhu yang terjadi sebesar 1,40C dengan perbedaan kelembaban relatif 2,5 persen. Perbedaan tersebut dikarenakan M-CLOVE memiliki desain tertutup sehingga terlindung dari paparan sinar matahari langsung dan memiliki sirkulasi dengan kipas yang dapat menjaga suhu dan kelembaban relatif konstan.

    Alat angkut keranjang konvensional tidak memiliki perlindungan sama sekali terhadap paparan sinar matahari langsung, sehingga tubuh ayam broiler terpapar panas langsung dari sinar matahari yang akan meningkatkan suhu tubuh ayam broiler. "Pengangkutan menggunakan M-CLOVE dapat mengurangi tingkat stres ayam broiler dilihat dari suhu jengger, shank (kaki bagian bawah), dan rektal yang lebih rendah dibandingkan dengan ayam broiler yang diangkut menggunakan keranjang konvensional. Pelepasan panas lebih tinggi pada bagian shank dibandingkan pada bagian jengger ayam broiler," ujarnya. (bogor.tribunnews.com)





  • Ketersediaan sumber pakan menjadi salah satu kendala yang menghambat pengembangan produksi sapi perah di Indonesia. Berbagai upaya dilakukan, seperti peningkatan penggunaan lahan hijauan dengan sistem bertingkat, pemanfaatan limbah pertanian sebagai sumber hijauan, dan penyediaan pakan alternatif lain. Hasil samping atau limbah dari kelapa sawit berpotensi menjadi sumber pakan alternatif untuk mengembangkan usaha peternakan.

    Tim peneliti yang terdiri dari Afton Atabany dari Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (Fapet IPB), A. Ghiardien dari Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Sekolah Pascasajana IPB beserta, B. P. Purwanto dari Program Diploma IPB meneliti respon fisiologi sapi Friesian Holstein (FH) laktasi dengan substitusi pakan pelepah sawit dengan jumlah yang berbeda.

    “Pemanfaatan limbah perkebunan sawit menjadi sangat potensial menjadi salah satu alternatif penyedia sumber pakan untuk ternak perah di Indonesia,” tutur Afton.

    Tim ini melakukan percobaannya dengan menggunakan sapi FH laktasi pertama bulan kelima sebanyak empat ekor ternak berumur 24-36 bulan yang berada di Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Balai Pembibitan Peternakan, Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Sapi tersebut dipelihara dan diberikan pakan hijauan rumput raja (RR) dan daun pelepah sawit (DPS).  

  • Ayam broiler merupakan jenis ras unggulan yang dihasilkan dari persilangan bangsa-bangsa yang memiliki produktivitas tinggi. Ayam broiler memiliki karakteristik ekonomi dan pertumbuhan

    yang cepat sebagai penghasil daging, konversi ransum rendah, dapat dipotong pada umur muda, dan menghasilkan kualitas daging yang berserat lunak. Kesejahteraan broiler dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal seperti manajemen pemeliharaan, stres, gizi, kepadatan kandang, ventilasi, intensitas cahaya, dan penyebaran penyakit. Kepadatan kandang juga dapat mempengaruhi kualitas karkas dan konsumsi pakan.

    Stres berupa panas menyebabkan ayam rentan terserang infeksi penyakit yang berasal dari bakteri seperti Escherichia coli dan virus seperti Newcastle disease (ND), yang memberikan pengaruh negatif terhadap produktivitas dan kesehatan yang dapat menimbulkan kematian dan kerugian ekonomis. Upaya mengatasi cekaman panas itu salah satunya adalah dengan penambahan  mineral zinc (Zn) dan vitamin E.

    Dua orang pakar dari Fakultas Peternakan (Fapet) Institut Pertanian Bogor (IPB), yaitu Rita Mutia dari Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan dan Asep Gunawan dari Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, melakukan penelitian pada broiler untuk mengetahui pengaruh penambahan mineral Zn dan vitamin E pada lingkungan tropis. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Oktober 2015 di Laboratorium Lapang (Kandang C) Fapet IPB.

    Penelitian ini dilakukan terhadap 400 ayam broiler yang dibagi ke dalam kandang A sebagai kontrol dan kandang B sebagai perlakuan suhu tropis. Selama 35 hari pemeliharaan, ayam broiler dikondisikan dalam temperatur natural yang fluktuatif sepanjang hari, yakni relatif dingin pada dinihari, cenderung dingin-medium pada pagi hari, relatif panas pada siang hari dan cenderung panas-medium pada sore atau malam hari. Dengan demikian, cekaman panas dialami oleh ayam broiler pada siang hari terutama pada selang waktu pukul 12 siang yang merupakan waktu intensitas matahari paling tinggi dan pukul 14 siang yang merupakan waktu dengan intensitas radiasi gelombang panjang matahari paling tinggi.

    Berdasarkan percobaan tersebut suplementasi vitamin E dan mineral Zn pada ransum ayam broiler terbukti efektif dalam menurunkan stres akibat cekaman panas dari suhu lingkungan. Hal tersebut dibuktikan dengan pemberian vitamin E sebanyak 125 ppm dan mineral Zn 80 ppm mampu meningkatkan bobot akhir dan efisiensi pakan. Efisiensi pakan artinya konsumsi pakan turun, tetapi bobot badannya meningkat dari ayam broiler tersebut. Selain itu, pemberian mineral Zn sebanyak 80 ppm juga mampu menurunkan nilai Malondial dehid (MDA) yaitu produk peroksidasi lemak pada serum darah. Hal tersebut menunjukkan adanya aktivitas antioksidan dari vitamin E dan mineral Zn. Adanya aktivitas antioksidan dalam tubuh memberikan efek yang baik bagi kesehatan ternak dilihat dari profil darahnya yang normal.(ipb.ac.id)

  • Tim peneliti dari Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (IPB) yang beranggotakan Prof. Dr. Ir. Iman Rahayu HS, MS, Prof. Ir Sumiati, M.Sc, Andoni Reza Nugroho, dan Jonatan Senja melakukan penelitian untuk melihat pengaruh pemberian air minum dengan suhu rendah terhadap tingkat stres pada puyuh. Indikator yang diteliti antara lain produktivitas, kualitas telur, dan profil darah puyuh.

    “Kebutuhan protein hewani ini semakin waktu akan semakin meningkat. Salah satu ternak yang berkontribusi sebagai sumber protein adalah puyuh. Selain dagingnya, puyuh ini juga dimanfaatkan telurnya dan produktivitasnya juga cukup tinggi,” ujar Prof. Iman Rahayu.

    Burung puyuh dapat bertelur sebanyak 200-300 butir per tahun. Produksi telur yang optimum ditentukan oleh tiga faktor, yaitu breeding (pembiakan), feeding(pemberian pakan), dan manajemennya.

    Prof. Iman mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara tropis dengan suhu lingkungan yang cukup tinggi (rata-rata 27.2 °C dengan variasi suhunya berkisar 19.9-35.7 °C) dan kelembaban relatifnya berkisar 50%-91%. Sementara puyuh membutuhkan suhu antara 21-24 °C untuk dapat bereproduksi secara maksimal. Oleh karena itu, puyuh di Indonesia akan mudah terkena cekaman panas yang dapat menyebabkan stres dan juga berpengaruh pada produktivitasnya.

    “Karena puyuh akan banyak minum jika suhu lingkungan tinggi, kami mencoba meneliti pengaruh pemberian minuman dingin atau suhu rendah sebagai salah satu cara alternatif untuk mencegah stres pada puyuh yang disebabkan oleh cekaman panas tersebut,” kata Prof. Iman Rahayu.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tambahan es sebanyak 75% dari volume air minum puyuh (suhu 4°C) memiliki pengaruh yang positif terhadap bobot telur dan persentase putih telur yang dihasilkan. Pemberian tambahan es sebanyak 50% (suhu 8°C) dan 75% dari volume air minum dapat menurunkan stres panas pada puyuh yang mengalami cekaman panas. Selain itu, puyuh yang diberikan air minum dengan tambahan es cenderung lebih toleran terhadap suhu lingkungan yang tinggi (ipb.ac.id)

  • Dangke adalah produk olahan susu tradisional sejenis keju tanpa pemeraman yang dibuat turun temurun oleh masyarakat di Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan. Proses produksi keju dapat menghasilkan whey yang merupakan produk sampingan (by-product) dari pembuatan keju/dangke. Whey adalah cairan sisa yang dihasilkan setelah pemisahan curd (gumpalan keju) dari proses pembuatan keju. Sebanyak 80 – 90 persen dari volume susu adalah whey dan mengandung sekitar 55 persen dari total nutrisi susu. Whey tersebut belum banyak dimanfaatkan dan seringkali dibuang sebagai limbah, sehingga berpotensi tinggi menyebabkan pencemaran lingkungan.

    Pengembangan pengelolaan whey yang mudah dan murah dalam memanfaatkan sifat gizi dari whey sangat diperlukan sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomi whey dan dapat memberi daya tarik bagi industri pengolahan susu

    Oleh karena itu, tiga peneliti dari Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (Fapet IPB), Epi Taufik, Irma Isnafia Arief dan Setiawan Putra Syah mencoba untuk mengembangkan produk minuman whey fermentasi dengan memanfaatkan bakteri asal dangke.

    “Dangke secara alami mengandung bakteri asam laktat indigenus (BAL indigenus). Isolasi BAL indigenus dari dangke dilakukan untuk mendapatkan kultur BAL yang dapat digunakan sebagai starter (kultur mikroba) untuk pembuatan minuman whey fermentasi. Pada penelitian ini, isolasi BAL indigenus asal dangke telah dilakukan dan telah dikarakterisasi secara molekuler,” tutur Setiawan.

  • Kandungan nitrogen yang tinggi dalam kotoran ayam menunjukan kurang sempurnanya proses pencernaan atau protein yang berlebihan dalam pakan ternak. Guru Besar dari Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Sumiati menjelaskan tidak semua protein yang dikonsumsi ayam dapat diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh. Sebagian akan dikeluarkan melalui manur atau kotoran ayam dalam bentuk amonia. Nitrogen yang berlebih menjadi penanda adanya kontaminasi yang serius terhadap lingkungan, karena nitrogen yang berlebih akan menghasilkan amonia yang bersifat racun.

    “Untuk mengurangi pengeluaran N (sumber amonia) dapat dilakukan dengan penambahan enzym mannanase. Penambahan enzim mannanase dalam ransum ayam petelur berprotein rendah (mengandung bungkil inti sawit) ini bertujuan untuk penurunan kadar ammonia dan bakteri Eschericia coli (salah satu bakteri pathogen)” tuturnya.

    Enzim mannanase diperlukan untuk memecah polisakarida mannan yang terkandung dalam bungkil inti sawit menjadi oligosakarida mannan. Oligosakarida mannan ini sangat berguna sebagai prebiotik atau makanan bagi bakteri Lactobacillus sp. (bakteri baik), sebaliknya bisa menghambat pertumbuhan bakteri jahat (pathogen).

  • Tiga peneliti Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (Fapet IPB), Prof. Sumiati, Dr. Widya Hermana dan Arif Darmawan melakukan sebuah penelitian terhadap telur itik. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi efektifitas penggunaan tepung daun Indigofera sp, tepung daun singkong dan minyak ikan lemuru yang menghasilkan telur itik kaya antioksidan dan asam lemak omega 3 serta pengaruhnya terhadap performa itik petelur.

    Menurut Sumiati, tepung daun Indigofera sp. dapat menggantikan bungkil kedelai sebagai sumber protein pada ransum itik petelur, sehingga impor bungkil kedelai berkurang dan ransum itik harganya bisa lebih murah. “Minyak ikan lemuru yang merupakan limbah dari proses pengalengan maupun penepungan ikan lemuru juga dapat digunakan untuk menurunkan kandungan kolesterol telur dan meningkatkan kandungan Omega 3 secara signifikan,” ungkap Guru Besar Fakultas Peternakan ini.

    Dalam percobaannya peneliti ini menggunakan 180 ekor itik. Terdapat tiga perlakuan dan lima ulangan. Itik yang diberi ransum kontrol  atau ransum yang biasa dipakai peternak (P0). Itik yang diberi ransum menggunakan 2 persen minyak ikan lemuru ditambah 11 persen tepung daun Indigofera sp (P1). Itik yang diberi ransum menggunakan 2 persen minyak ikan lemuru ditambah 11 persen tepung daun singkong (P2).

    Hasil percobaan menunjukkan perlakuan P2  mampu meningkatkan efisiensi penggunaan pakan dibandingkan perlakuan kontrol (P0) dan P1. Selain itu, perlakuan P2 juga secara nyata mampu meningkatkan produksi telur dibandingkan perlakuan P1.

    Perlakuan P2 tersebut juga mampu meningkatkan vitamin A telur secara signifikan dan menurunkan kandungan kolesterol kuning telur dibandingkan perlakuan P1 serta lebih efektif sebagai sumber antioksidan yang ditandai dengan menurunnya nilai MDA telur secara signifikan.

    Perlakuan P1 dan P2 juga diketahui mampu menurunkan asam lemak jenuh dan meningkatkan kandungan asam lemak omega 3 dan omega 6 dengan rasio seimbang. Kesimpulan dari penelitian ini penggunaan 11 persen  tepung daun singkong dengan 2 persen minyak ikan menghasilkan performa dan kualitas kimia telur itik lebih baik dibandingkan dengan pengunaan 11 persen tepung Indigofera sp dengan 2 persen minyak ikan.

    Penggunaan minyak ikan 2 persen dan indigofera sampai 11 persen terbukti tidak akan menurunkan performa itik petelur dan kualitas fisik telur, dapat menurunkan lemak dan kolesterol telur, meningkatkan skor warna kuning telur, meningkatkan kandungan vitamin A dan meningkatkan kandungan asam lemak omega 3.

    Telur produk hewani yang mengandung protein tinggi. Harganya pun relatif terjangkau dan ketersediaannya melimpah di Indonesia. Dewasa ini perlu dilakukan peningkatan kualitas nutrisi telur. Desain telur tinggi antioksidan dan asam lemak omega 3 sudah menjadi keharusan. (ipb.ac.id)

  • Selama ini, pengawet dipakai produsen makanan agar produk mereka tahan lama dan tak mudah busuk. Pengawet makanan dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme pembusuk sehingga memperpanjang daya simpan. Namun, tidak semua pengawet aman digunakan. Bahkan, sebagian besar malah membahayakan tubuh. Pengawet bisa menyebabkan gangguan kesehatan jangka pendek, seperti infeksi saluran pernapasan dan diare. Juga gangguan kesehatan jangka panjang seperti kerusakan jantung dan ginjal.

    Salah satu dosen Fakultas Peternakan (Fapet) Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr. Irma Isnafia Arief meneliti tentang bahan pengawet makanan yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat. Bakteri tersebut didapat dari daging sapi lokal yang kemudian ditumbuhkan lalu diisolasi dari senyawa anti mikroba yang dihasilkan dari bakteri asam laktat tersebut. “Kami menemukan bakteri asam laktat yang memiliki sifat probiotik yang bisa memberikan manfaat kesehatan baik untuk ternak maupun untuk manusia,” ujar dosen yang mengajar di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP) Fapet ini.

    Saat ini bahan pengawet yang ditemukan Dr. Irma sudah diaplikasikan pada produk olahan susu seperti yogurt ataupun produk olahan daging seperti bakso dan sosis yang ternyata mampu memberikan manfaat yang baik. “Sejauh ini perkembangan penelitian ini sudah diaplikasikan di beberapa UKM saja karena belum komersial,” tambahnya.

    Pengawet buatan yang beredar saat ini memiliki sifat karsinogenik seperti boraks dan nitrit yang berbahaya bagi tubuh. Sedangkan bakteri asam laktat ini merupakan good bakterial yang baik untuk kesehatan usus dimana bakteri ini dapat hidup di usus manusia. Bakteri asam laktat tidak memproduksi toksin atau senyawa yang memiliki sifat racun di tubuh sehingga bahan pengawet yang dihasilkan akan lebih aman bagi manusia.

     “Ke depannya saya mengharapkan bahwa penemuan atau penelitian ini akan bisa sangat bermanfaat untuk pengganti pengawet boraks, nitrit dan lain sebagainya yang selama ini digunakan untuk pembuatan bakso dan sosis pada pengolahan daging dengan pengawet hayati yang kita produksi,” tutupnya.(RF - ipbmag.ipb.ac.id)

  •  

    Peternakan ruminansia di Indonesia didominasi oleh peternakan rakyat. Sebagian besar peternak memanfaatkan rumput sebagai hijauan pakan utama untuk ternak. Akan tetapi kendala yang dihadapi oleh peternak adalah ketersediaan hijauan. Kuantitas, kualitas, dan kontinuitas hijauan adalah faktor penghambat hijauan pakan.

    Hal tersebut membuat sejumlah pakar dari Institut Pertanian Bogor (IPB) melakukan penelitian terkait seleksi rumput tahan cekaman dan potensi pengembangannya di daerah kering dengan teknik Leisa. Penelitian ini dilakukan oleh Moh Ali Hamdan, Panca DMH Karti dan Iwan Prihantoro dari Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan (Fapet).

    Panca mengatakan, Indonesia memiliki keanekaragaman jenis rumput yang tinggi. Namun, sebagai negara tropis, beberapa daerah di Indonesia  memiliki panjang musim yang berbeda seperti musim penghujan yang lebih pendek dari musim kemarau. Bagi daerah yang memiliki musim kemarau lebih panjang dari musim penghujan, ketersediaan hijauan menjadi faktor penghambat bagi perkembangan peternakan. “Padahal potensi ternak tersebut tentunya memerlukan ketersediaan hijaun sebagai pakan,” katanya.

  • Kornet merupakan salah satu produk yang dibuat dari potongan daging tanpa tulang dalam kondisi segar atau beku. Umumnya kornet dibuat melalui proses curing dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain serta diproses dengan atau tanpa sterilisasi, kemudian dikemas dalam wadah tertutup.

    Proses curing yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan produk yang baik dari segi aroma, tekstur, dan kelezatan, warna produk yang stabil dan memperpanjang masa simpan produk daging. Salah satu bahan tambahan pangan yang biasanya digunakan dalam pembuatan kornet yaitu nitrit. Nitrit adalah salah satu bahan tambahan pangan yang umumnya digunakan dalam industri pangan seperti industri pengolahan daging.

    Fungsi nitrit yaitu sebagai penstabil warna merah daging, zat antimikroba dan zat antioksidan. Namun, penggunaan nitrit dalam kornet juga harus diperhatikan. Hal ini dikarenakan dapat berdampak negatif bagi kesehatan apabila dikonsumsi dalam jumlah yang berlebih. Oleh sebab itu, diperlukan penambahan bahan pewarna alami yang lebih aman dan memiliki kandungan antioksidan tinggi.

    Hal inilah yang mendasari tim peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr. Tuti Suryati dan M. Sriduresta Soenarno, SPt. MSc bersama mahasiswa Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB, Apriliana Widiastuti, melakukan sebuah penelitian dengan memanfaatkan pure bit sebagai bahan tambahan pangan dalam pembuatan kornet sapi.

    Pure bit (bit merah) dipilih karena memiliki komponen utama yaitu pigmen betasianin yang memberikan warna merah keunguan. Betasianin yang terkandung pada bit ini memiliki efek antiradikal dan aktivitas antioksidan yang tinggi. Kandungan senyawa antioksidan bit merah dalam bentuk vitamin C. Penambahan bit diharapkan akan mempengaruhi karakteristik fisikokimia dan sensori kornet yang dihasilkan.

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan nitrit dan pure bit terhadap sifat fisikokimia dan organoleptik pada kornet sapi. Penelitian ini mencakup pembuatan kornet, pengukuran sifat fisikokimia dan organoleptik kornet. Pembuatan kornet meliputi formulasi bahan, perlakuan penambahan nitrit (nol ppm dan 150 ppm) dan penambahan pure bit dengan konsentrasi (nol persen, 20 persen dan 40 persen).

    Berdasarkan hasil penelitian, penambahan bit mampu meningkatkan kadar air, dan warna merah pada kornet sapi. Penambahan pure bit hingga 40 persen baik dengan maupun tanpa curing dengan garam nitrit, menghasilkan warna merah dengan tekstur yang lembek dan cita rasa bit yang kuat. Perlakuan yang terbaik yaitu dengan penambahan pure bit 20 persen. Melalui penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa penambahan pure bit 20 persen dapat digunakan sebagai pewarna alami pada pembuatan kornet sapi dengan mutu organoleptik yang baik (ipb.ac.id)

  • Produksi keju di seluruh dunia umumnya menghasilkan whey dalam jumlah yang besar. Tidak kurang dari 50% total whey dari seluruh dunia diolah menjadi produk makanan dan minuman, sementara 50% lainnya terbuang menjadi limbah. Whey dianggap sebagai limbah dan tidak diproses sebagai produk turunan. Padahal whey memiliki nutrisi yang masih tinggi yaitu 55% dari total nutrisi susu.

    Walaupun whey merupakan produk samping, namun whey memiliki nilai nutrisi protein dan karbohidrat. Dan dapat dimanfaatkan dalam bidang pangan, pakan dan media pertumbuhan bakteri. Hal ini dikarenakan whey masih mengandung 4-7% laktosa dan 0,6-1% protein.

    Komponen nutrisi whey ini dapat dimanfaatkan oleh bakteri sebagai sumber nutrisi pertumbuhan. Hal inilah yang mendasari peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr. Irma Isnafia Arief, dan Dr. Cahyo Budiman, beserta mahasiswa Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB, Ikhsan Suhendro, melakukan sebuah penelitian. Mereka membuat minuman fermentasi dari starter Lactobacillus plantarum dan memanfaatkan whey dari keju dan dangke sebagai media pertumbuhan bakteri L. plantarum.

  • Hiauan pakan merupakan pakan utama ternak ruminansia dan faktor terpenting untuk menunjang budidaya ternak karena berdampak pada peningkatan bobot badan ternak. Namun kendala di Indonesia adalah rendahnya ketersediaan hijauan pada musim kemarau dan berlimpah pada musim hujan. Pemberian hijauan pada saat musim kemarau dapat diatasi dengan pengunaan pakan alternatif dari limbah sayuran pasar seperti limbah tauge.

    Tiga orang peneliti dari Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (Fapet IPB) yaitu Sri Rahayu, H. Sunando, dan M. Baihaqi melakukan riset untuk melihat tingkah dan pertumbuhan domba garut jantan muda dengan pemeliharaan intensif yang diberi ransum limbah tauge pada waktu pemberian yang berbeda.

    “Potensi limbah tauge di kota Bogor sekitar 1,5 ton per hari. Pakan hijauan yang bergizi dapat menentukan pertumbuhan, reproduksi dan kesehatan ternak. Pakan hijauan dari hasil limbah tauge diharapkan dapat memenuhi nutrisi yang dibutuhkan oleh domba garut,” ungkap Sri.

    Peneliti memelihara domba garut jantan yang berumur rata-rata 5-7 bulan dalam kandang perlakuan. Mereka memberi perlakuan pakan berbeda, diantaranya ditambahkan limbah tauge dan waktu pemberian yang berbeda yaitu pagi dan sore hari.

    “Pemberian 40 persen limbah tauge dalam ransum domba Garut dengan waktu pemberian pakan yang berbeda dapat meningkatkan performa pertumbuhan dan pasca panen. Pertambahan bobot badan harian (pbbh) domba dengan ransum limbah tauge (140.94g/ek/h) lebih tinggi dari pada yang diberi ransum rumput (76.61g/ek/hr),” terangnya.

    Performa pasca panen menunjukkan bahwa pemberian ransum limbah tauge memberikan pengaruh yang lebih baik pada kualitas karkas dan daging, kecuali kandungan lemak dibandingkan ransum rumput. Namun waktu pemberian pakan sore hari cenderung menurunkan kadar lemak karkas maupun daging. Kandungan asam lemak, terutama asak lemak tak jenuh (PUFA) lebih tinggi pada domba yang diberi ransum rumput, sebaliknya asam lemak jenuh SFA lebih tinggi pada domba yang diberi limbah tauge.

    “Kadar kolesterol daging domba yang diberi ransum limbah tauge pada sore hari cenderung lebih rendah pada daging domba yang diberi ransum limbah tauge pagi hari dan yang diberi ransum rumput pada pagi dan sore hari,” ungkapnya.

    Secara ekonomi, pemberian ransum limbah tauge dengan waktu pemberian pakan sore hari pada domba Garut mampu menekan biaya pakan, tenaga kerja dan biaya lainnya. Sehingga secara keseluruhan mampu  meningkatkan pendapatan maupun keuntungan. 

    “Limbah tauge secara fisik maupun kandungan nutrien berpotensi sebagai pakan ternak yang baik, terutama untuk ternak domba. Pemanfaatan limbah tauge dalam ransum dengan waktu pemberian pakan sore hari, mampu meningkatkan produktivitas domba garut tanpa mengurangi tingkat kesejahteraannya,” tandasnya.(ipb.ac.id)

  • Tim peneliti dari Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (IPB) yang beranggotakan Prof. Dr. Ir. Sumiati, M.Sc, Arif Darmawan, SPt, M.Si, dan Ahmad Nurfaid melakukan penelitian tentang pengaruh penambahan ekstrak gambir dalam pakan sebagai sumber antioksidan dan antibiotik alami terhadap performa puyuh periode layer.

    Prof. Sumiati mengatakan bahwa puyuh merupakan salah satu unggas yang prospektif untuk dikembangkan karena daging dan telurnya dapat menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan sumber protein. Salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas puyuh salah satunya adalah pakan. Oleh karena itu, keseimbangan nutrien dalam menyusun ransum harus diperhatikan. Kondisi suhu dan kelembaban lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap performa puyuh. Puyuh dapat bereproduksi optimal pada suhu 20°C-25°C dengan kelembaban 30-80%. Paparan panas yang berlebih pada puyuh dapat menyebabkan stres dan timbulnya radikal bebas, sehingga berdampak pada penurunan produktivitas dan performa puyuh.

    “Biasanya untuk mengatasi radikal bebas tersebut, peternak menggunakan antibiotik. Namun, penggunaan antibiotik sintetik mulai dilarang karena residu dalam produk tersebut yang akan membahayakan apabila dikonsumsi oleh manusia,” tambahnya.

    Oleh karena itu, penggunaan antioksidan alami merupakan salah satu cara alternatif untuk menekan radikal bebas. Salah satu bahan alami yang dapat digunakan sebagai alternatif sumber antioksidan dan antibiotik adalah gambir. Ekstrak gambir mengandung senyawa polifenol, yang salah satunya adalah flavonoid. Ekstrak gambir ini juga sudah banyak dimanfaatkan dalam industri farmasi, pewarna tekstil, biopestisida, maupun kosmetik.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak gambir dapat digunakan sebagai sumber antioksidan dan antibiotik alami pada puyuh. Penambahan ekstrak gambir 0.2% dalam pakan menunjukkan hasil performa yang lebih baik dibandingkan dengan penambahan ekstrak gambir 0.1% dan 0.3%. Penambahan ekstrak gambir dalam pakan sebanyak 0.2% menghasilkan produksi telur yang lebih tinggi, produksi massa telur yang lebih tinggi, serta bobot telur yang lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan tanpa pemberian ekstrak gambir.(ipb.ac.id)

  • Telur ayam menjadi salah satu bahan pangan yang paling banyak diminati masyarakat Indonesia. Selain harganya terjangkau, nilai gizi yang terkandung di dalamnya dapat berperan penting dalam memenuhi kebutuhan nutrisi manusia.

    Seiring pertumbuhan populasi manusia setiap tahunnya, permintaan telur konsumsi kian mengalami peningkatan di seluruh dunia. Dilansir dari data Food and Agriculture Organization of the United Nation (FAO) 2022, Indonesia menempati posisi ke-4 sebagai negara yang berkontribusi dalam total produksi telur dunia.

    Menyikapi hal ini, peningkatan produktivitas dan kualitas produk telur ayam untuk menjamin ketahanan pangan tentu harus terus dilakukan. Salah satu upayanya dapat ditempuh dengan rekayasa nutrisi pakan yang diberikan pada ayam petelur.

    Para peneliti IPB University berhasil mengembangkan telur ayam fungsional kaya akan vitamin D3 yang digagas bersama dengan PT Nutricell Pacific. Mereka adalah Prof Sumiati dan Dr Rita Mutia (keduanya merupakan dosen Fakultas Peternakan IPB University), Dr Wira Wisnu Wardani (Nutricell Bioscience Molecules, Pte Ltd Singapore), serta Gina Maulidarni Yusuf, SPt (Mahasiswa Pascasarjana IPB University Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan).

    Nutricell Eggstra merupakan suplemen yang mengandung vitamin D3 dan diperkaya dengan pigmen karotenoid untuk diaplikasikan dalam pakan ayam petelur. Riset yang telah dilakukan sejak November 2022 itu menghasilkan respon positif terhadap produktivitas dan kualitas telur.

    “Suplementasi Nutricell Eggstra dalam pakan ayam petelur mampu meningkatkan produksi telur harian dan massa telurnya masing-masing sebesar 12,44 persen dan 13,02 persen dengan penggunaan pakan yang dapat ditekan hingga 11,61 persen,” kata Prof Sumiati, salah satu peneliti.

    Di samping peningkat produktivitas, jelas dia, suplementasi Nutricell Eggstra dalam pakan juga mampu menghasilkan telur dengan kualitas lebih baik. Hal itu ditunjukkan oleh warna kuning telur dan kualitas kerabang.

    “Peningkatan warna kuning telur menjadi lebih mencolok atau berwarna oranye merupakan respon dari karotenoid yang terkandung dalam Nutricell Eggstra. Warna kuning telur merupakan salah satu pertimbangan konsumen dalam memilih telur, dengan kualitas warna yang dihasilkan tentu dapat memberikan nilai tambah pada produk tersebut,” paparnya.

    Prof Sumiati juga mengatakan, telur yang dihasilkan dari ayam yang menerima suplementasi Nutricell Eggstra dalam pakannya juga memiliki kualitas kerabang yang lebih baik. Hal ini ditunjukan oleh ketebalan, kekuatan dan porositas kerabang telur sebagai respon dari kandungan vitamin D3 dalam pakan. Telur dengan ketebalan dan kekuatan kerabang yang lebih tinggi menjadi faktor penting selama penyimpanan dan transportasi.

    Terlebih dengan diperolehnya kategori good eggshell quality dari penilaian porositas kerabang telur, semakin memperkuat kualitas kerabang untuk melindungi kerusakan yang dapat disebabkan oleh masuknya bakteri atau mikroorganisme merugikan kedalam telur. Peran vitamin D3 menjadi sangat vital terutama dalam pembentukan kerabang telur yang pada akhirnya juga dapat berkontribusi terhadap kesehatan ayam dan nilai ekonomi peternak.

    Defisiensi vitamin D dapat menyebabkan penyakit rakitis pada anak usia dini atau meningkatkan risiko osteoporosis dan osteomalasia pada orang dewasa. Pengaplikasian Nutricell Eggstra dalam pakan mampu menghasilkan telur ayam fungsional dengan kandungan vitamin D3 sebesar 7,11 mcg/100g.

    Telur yang diperkaya tersebut berpotensi menghasilkan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan telur komersial pada umumnya. Kondisi ini tentunya juga berkontribusi langsung pada peningkatan asupan vitamin D3 manusia tanpa mengubah pola konsumsinya. (ipb.ac.id)

  • Peneliti IPB University, masuk dalam saintist paling berpengaruh di dunia. Ia adalah Prof Anuraga Jayanegara, Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University.
     
    Ia masuk dalam salah satu ilmuwan asal Indonesia yang terdaftar dua persen saintis paling berpengaruh di dunia tahun 2022. Daftar ini dirilis Elsevier BV yang diperbarui tiap tahun.
     
    Ranking dihitung berdasarkan lebih dari 100 ribu peneliti di seluruh dunia. Elsevier memberi informasi terstandarisasi atas sitasi, h-index, citation to paper in different authorship positions, co-authorship adjusted hm-index, dan composite indicator.
     
    Pemeringkatan juga berlandaskan pada c-score atau jumlah sitasi publikasi yang tidak termasuk sitasi oleh diri sendiri.
     
    Peneliti yang juga Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (INTP) Fakultas Peternakan ini menyampaikan rasa syukurnya dapat menjadi Top 2 persen Scientists versi Stanford University yang berbasis pada sitasi ini.
     
    “Alhamdulillah, saya sangat bersyukur bisa menjadi Top 2 persen Scientists versi Stanford University yang berbasis pada sitasi ini. Hasil ini bukan hanya karya pribadi, tapi hasil kolaborasi bersama dengan para mahasiswa bimbingan, kolega dosen dan peneliti serta grup riset AFENUE (Animal Feed and Nutrition Modelling Research Group) dan IPB University, sehingga dapat menghasilkan berbagai karya bersama yang berkualitas," ucapnya.
     
    Selain Prof Anuraga, ada nama-nama peneliti lain dari perguruan tinggi di Indonesia yang masuk dalam daftar ini (ipb.ac.id)

  • Penanganan ternak dengan memperhatikan kesejahteraan hewan (kesrawan) akan menghasilkan kinerja yang efisien, aman bagi sapi dan operator, serta meningkatkan kualitas daging yang dihasilkan. Dengan demikian, penanganan hewan yang apik akan terwujud pula kesejahteraan hewan yang baik.

    Hal itu disampaikan Neny Santy Jelita dalam sebuah pelatihan daring yang diselenggarakan Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI) dan Fakultas Peternakan IPB. Pelatihan berlangsung selama dua seri dan dilakukan selama dua hari waktu pelatihan, yakni pada 13-14 Mei 2020 dengan mengangkat topik “Penerapan Animal Welfare pada Rantai Pasok Sapi Potong”.

    Neny memaparkan, prinsip dasar kesrawan yakni ternak harus bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit dan cedera, bebas dari rasa takut dan tertekan, serta bebas untuk menampilkan perilaku alaminya.

    Saat berada di rumah penampungan, sapi harus diberikan penerangan yang baik agar operator bisa melakukan penanganan dengan optimal.

    “Kami terbiasa ke rumah pemotongan hewan (RPH) dan melihat perlunya edukasi dan bantuan penyediaan fasilitas yang memadai. Penanganan sapi di RPH ini merupaan fase akhir yang tidak kalah penting untuk diperhatikan. Stres pada saat pemotongan akan menyebabkan daging akan berwarna kehitaman, bukan merah,” kata Neny.

    Ia menambahkan, pada saat yang dijadwalkan di RPH juga harus seminimal mungkin, agar sapi tidak mengalami stres. Neny menyarankan supaya ternak harus segera disembelih secara cepat, baik menggunakan metode pembiusan ataupun tidak. Proses penyembelihan ini akan menentukan kualitas daging yang akan dibeli oleh konsumen.

    Neny pun mengingatkan bahwa dalam hal kesrawan pada peternakan sapi potong ini harus bisa diterapkan pada lima hal utama, yakni pada saat penanganan hewan ternak, transportasi, penanganan di feedlot, penerapan di RPH, serta pada saat penyembelihan dengan pemingsanan (majalahinfovet.com)
  • Good Slaughtering Practices (GSP) merupakan sebuah pedoman tertulis mengenai tata cara atau prosedur produksi pemotongan ternak yang baik, higienis dan halal. GSP merupakan menjadi syarat untuk mendapatkan sertifikasi nomor kontrol veteriner (NKV) agar keamanan daging yang dihasilkan dapat terjamin. Dalam Permentan nomor 13/2010, izin pendirian usaha rumah potong hewan (RPH) akan dicabut jika belum memiliki NKV pada jangka waktu yang ditentukan. RPH dikatakan sebagai RPH modern jika telah menerapkan standard GSP secara menyeluruh dan memiliki fasilitas yang memadai, serta minimal memiliki sertifikasi NKV diatas level 2.

    “Sehingga GSP merupakan prasyarat paling dasar dan wajib dilaksanakan dalam industri pemotongan hewan ternak (RPH),”kata Manager Produksi PT Cianjur Arta Makmur (Widodo Makmur Group) Mukhlas Agung Hidayat S,Pt dalam
    pelatihan online yang diselenggarakan oleh Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI) dan Fakultas Peternakan IPB. Acara yang berlangsung selama dua hari, yakni pada 13-14 Mei 2020 tersebut mengangkat tema tentang penerapan kesejahteraan hewan pada rantai pasok sapi potong.

    Mukhlas menjelaskan, penerapan GSP di RPH modern diaplikasikan pada proses pra pemotongan, pada saat pemotongan, dan pasca pemotongan. Sebelum dipotong, sapi ditempatkan pada kandang istirahat, lakukan pendataan sapi dan pengecekan kesesuaian sapi dengan dokumen, pengaturan sapi pada setiap pen kandang pengistirahatan, dan pengelompokan berdasarkan jenis dan waktu pemotongan. Lakukan juga, “Pengecekan kondisi dan kesehatan sapi, penentuan layak tidaknya sapi untuk dipotong, pemisahan sapi pada hospital pen jika ditemukan syarat-syarat tidak layaknya sapi dipotong,” papar Mukhlas.

    Adapun pada saat proses pemotongan sapi, dilakukan secara islami dan berdasarkan syarat-syarat pemotongan halal, yakni penyembelihan dengan memutus saluran makanan (mari’/esophagus), saluran pernafasan (hulqum/trakea), dan dua pembuluh darah (wadajain/vena jugularis dan arteri carotid).

    Setelah proses penyembelihan dijalankan, untuk meningkatkan kualitas daging, maka dilakukan proses penyimpanan karkas pada suhu 0°C – 4°C selama minimal 18 jam untuk menyempurnakan proses biokimia daging atau rigormortis (agropustaka.id)

  • Ghulam Halim Furqoni, mahasiswa Fakultas Peternakan (Fapet) Institut Pertanian Bogor (IPB), meneliti pengaruh produksi susu sapi dengan perlakuan mendengarkan murottal Al-Quran. Penelitian yang dilakukan ini dilatarbelakangi oleh penelitian sebelumnya yang meneliti tentang pengaruh musik klasik terhadap produksi susu sapi perah. Pada pemutaran musik klasik hanya dilakukan sekira tiga jam sebelum pemerahan, sehingga disarankan waktu pemutaran musik diperpanjang supaya hasil yang diperoleh lebih optimal.

    Akhirnya, berawal dari diskusi dengan dosen pembimbing, tercetuslah judul awal yaitu pengaruh musik klasik 24 jam terhadap produktivitas susu sapi perah. Di sisi lain Ghulam berfikir, adakah pilihan lain selain musik klasik yang dapat berpengaruh terhadap produktivitas susu sapi perah?

    Musik klasik mozart mulai dikenalkan pada tahun 1993 di Universitas California untuk penelitian pada para mahasiswa di sana dalam upaya peningkatan tingkat IQ. Hasilnya, musik klasik mozart dapat meningkatkan 8-9 poin IQ pada mahasiswa-mahasiswa tersebut (Bowers 2002). Sejak saat itu musik klasik mozart mulai berkembang di Eropa dan digunakan di dunia peternakan untuk tujuan meningkatkan produktivitas ternak.

    Pada kasus lain, terang Ghulam, banyak penelitian yang dilakukan menggunakan treatment murottal Al-Quran terhadap manusia yang sedang sakit, ibu hamil, dan lain sebagainya yang mayoritas pengambilan datanya banyak dilakukan di rumah sakit. Terbukti murottal Al-Quran memiliki efek ketenangan (relaksasi) dan menimbulkan kenyamanan psikologis.

    “Berangkat dari hal tersebut, tanpa berniat sedikitpun membawa sensitifitas agama, saya usulkan menambahkan murottal Al-Quran sebagai perlakuan dalam penelitian saya. Alhamdulillah dosen saya menyetujui dan lahirlah judul untuk skripsi saya ‘Produksi Susu Sapi Perah yang Mendengarkan Musik Klasik dan Murottal Al Quran Selama 24 Jam’," ujarnya.

    Ghulam berharap hasil penelitiannya ini dapat bermanfaat dan mudah diaplikasikan oleh peternak-peternak di Indonesia sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas susu sapi perah dalam negeri. Penelitian ini dibimbing oleh Dr. Afton Atabany dan Dr. Bagus P Purwanto.(MM - http://ipb.ac.id)

    Kontak:
    Ghulam Halim Furqoni
    Email : halimghulam93@yahoo.com
    Phone : 081283136643

  • Produksi jagung untuk pakan di Indonesia telah meningkat secara nyata dalam kurun 25 tahun terakhir. Pada 1993 produksi jagung hanya 6,36 juta ton, pada 2018 tercatat produksinya telah mencapai 30,06 juta ton. Produksi sebanyak itu secara relatif telah terjadi pergeseran wilayah produksi, dimana pada 1993 Pulau Jawa berkontribusi 62% terhadap total produksi jagung, dan pada 2018 menurun menjadi 41%. Hal itu merupakan dampak dari pengembangan sentra produksi jagung baru, terutama di lahan areal di luar Pulau Jawa.

    Hal itu disampaikan oleh Diner Y.E Saragih, Kasubdit Bahan Pakan, Direktorat Pakan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam sebuah pelatihan tentang manajemen logistik pakan yang diselenggarakan oleh Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI) dan Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI) di Kampus IPB Darmaga, Kabupaten Bogor, pada 26-27 Maret 2019. Diner menambahkan, pada sisi lain, pabrik pakan sebagai pengguna jagung ternyata masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Hal itu membawa konsekuensi perlunya penerapan secara ketat manajemen logistik yang baik untuk dapat meningkatkan efisiensi produksi pakan, sehingga memiliki daya saing yang baik di pasar.

    Dalam hal logistik ini, efisiensinya diukur dengan logistics performance index (LPI), dimana untuk wilayah Asean, Indonesia menempati peringkat 5 di bawah Singapura, Thailand, Vietnam dan Malaysia. Diner menjelaskan, LPI merupakan indeks kinerja logistik negara-negara di dunia yang dirilis oleh Bank Dunia setiap dua tahun sekali. Saat ini terdapat 160 negara yang masuk dalam penilaian tersebut.

    Untuk dapat meningkatkan performa sistem logistik nasional, perlu dilakukan pembenahan dalam hal efisiensi bea cukai, kualitas infrastruktur perdagangan dan transportasi, kemudahan pengaturan pengiriman internasional dengan harga bersaing, peningkatan kompetensi dan kualitas jasa logistik, serta frekuensi pengiriman yang tepat waktu. (poultryindonesia.com)

  • Institut Pertanian Bogor (IPB) menyambut kepulangan delegasi Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) IPB dalam perhelatan 62nd International Atomic Energy Agency General Conferences di Wina, Austria pada 17-21 September 2018. Delegasi tersebut dipimpin langsung oleh Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA, pendiri Sekolah Peternakan Rakyat. Dua orang peternak yang menjadi delegasi yaitu Juanto sebagai Ketua Gugus Perwakilan Pemilik Ternak (GPPT) SPR Tunas Barokah, Temayang, Kabupaten Bojonegoro dan Wagiman, selaku Ketua GPPT SPR Maju Bersama, Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin. Pada saat konferensi tersebut juga turut hadir Prof. Dr. Ir Dodik Ridho Nurrochmat M.Sc F.Trop, Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Sistem Informasi IPB. Acara penyambutan tersebut berlangsung pada Senin, 24 September 2018 di Restoran Bumi Aki, Bogor, Jawa Barat.

    Acara penyambutan tersebut dihadiri oleh jajaran pimpinan  Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB antara lain Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi, M.Sc.Agr  sebagai Wakil Kepala Bidang Penelitian LPPM IPB serta Prof. Dr. Sugeng Heri Suseno, S.Pi,  M.Si, Wakil Kepala Bidang Pengabdian, LPPM IPB. Dalam sambutannya  Prof. Agik Suprayogi menyampaikan,  “Kami sangat mendukung program Sekolah Peternakan Rakyat yang kini sukses hingga kancah internasional. Ke depan kami akan turut mengembangkan program pengabdian masyarakat di fakultas lain dan menjadikan SPR sebagai Role Model-nya,” lanjutnya.

    Prof. Agik juga turut menyampaikan pesan-pesan kepada tim Sekolah Peternakan Rakyat IPB. “Penelitian dan pengabdian kepada masyarakat diibaratkan seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, dan Program Sekolah Peternakan Rakyat inilah contohnya, bahkan kini sudah go international dengan menghadiri konferensi di Austria,” katanya.

    Kedua peternak binaan SPR, yaitu Juanto dan Wagiman juga turut menceritakan kisah perjalanan hingga mampu berangkat ke Austria. Juanto menceritakan proses yang ia lalui cukup panjang “Ketika pertama kali saya mendengar peluang ini, saya pun mulai mempersiapkan diri untuk mengikuti tahapan seleksi-seleksinya, tahap pertama kami mengirimkan portofolio GPPT kami. Ketika kami sudah lolos tahap pertama, kami pun harus melewati serangkaian training untuk mempersiapkan diri menghadapi konferensi tersebut,” jelas Juanto.

    Wagiman pun mengisahkan perjalanannya selama di Austria. “Sebenarnya, konferensi yang dilaksanakan di Austria itu kan tentang pemanfaatan nuklir. Untungnya saya dijelaskan terkait hal tersebut oleh Guru Besar kita, Prof. Muladno terkait manfaat nuklir bagi peternak yang ternyata sangat beragam, sehingga ketika ditanya oleh  Duta Besar, saya bisa menjawab. Namun, ada satu pesan kami untuk IPB. Walau kami sekarang sudah sampai di titik ini, kami harap IPB terus senantiasa memberikan bimbingan kepada kami terutama di bidang keilmuan dan administrasi,” ungkap Wagiman dalam suasana hangat diskusi  bersama pimpinan LPPM dan Tim SPR IPB. (ipb.ac.id)