Keberhasilan para ahli bedah di Amerika Serikat melakukan transplantasi ginjal dari babi hasil rekayasa genetika ke manusia hidup pada bulan Maret lalu menimbulkan harapan baru bagi jutaan pasien gagal ginjal di seluruh dunia. Walaupun pasien ini akhirnya meninggal dunia setelah bertahan hidup selama dua bulan, momen ini dipandang sebagai lompatan yang sangat penting dalam mengatasi kekurangan organ di seluruh dunia.
Menurut Ahli Genetika IPB University, Prof Ronny Rachman Noor, perkembangan ilmu pengetahuan terkait transplantasi ginjal babi ke manusia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Salah satu teknologi yang digunakan adalah teknologi pengeditan gen yang dapat memecahkan masalah penolakan organ.
“Pada dasarnya teknologi pengeditan gen agar organ dari babi dapat diterima tubuh manusia melalui tiga tahapan, yaitu menghilangkan gen tertentu dari babi yang bereaksi terhadap antibodi manusia. Selanjutnya ditambahkan gen tertentu dari manusia untuk meningkatkan kecocokan ginjal dengan manusia. Tahap terakhir adalah menonaktifkan virus yang ada di semua genom babi untuk menghilangkan risiko infeksi pada penerimanya,” ujar Prof Ronny.
Menurut Prof Ronny perkembangan teknologi yang sangat cepat ini menimbulkan harapan baru bagi pasien yang menunggu donor organ secara konvensional karena kekurangan organ donor. Saat ini, kata dia, para peneliti sedang memfokuskan untuk mengeksplorasi transplantasi organ babi sebagai solusi terhadap kekurangan donor ginjal di seluruh dunia.
“Data menunjukkan bahwa kekurangan organ untuk transplantasi seperti misalnya ginjal dari manusia memang sangat kronis. Sebagai contoh di Australia terdapat sebanyak 1.400 pasien yang menunggu transplantasi ginjal, sedangkan di Amerika angkanya mencapai 96.500 orang,” sebutnya.
Dari berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti menunjukkan bahwa transplantasi merupakan cara yang dinilai efektif ketika pasien mengalami gagal ginjal akut sehingga perlu dilakukan cuci darah secara rutin.
Di samping itu, hasil studi yang dilakukan oleh National Kidney Foundation di Australia juga menunjukkan bahwa orang dengan transplantasi ginjal hidup lebih lama dibandingkan mereka yang menjalani dialisis (cuci darah).
Prof Ronny menyebut, transplantasi organ antar spesies yang dikenal sebagai xenotransplantasi memang mengundang kontroversi karena menyangkut masalah etika. Masyarakat umumnya tidak menyukai jenis hewan yang digunakan dalam penelitian dan juga donor.
Bagi umat muslim tentunya akan menolak jika organ yang dicangkokkan berasal dari babi karena masalah kehalalnya. Di samping bagi aktivis dan pecinta hewan memandang bahwa hewan sekalipun tidak layak dikorbankan untuk kepentingan manusia.
“Selama beberapa dekade, para peneliti telah mengeksplorasi penggunaan organ dan jaringan hewan yang ditransplantasikan pada manusia. Sebagai contoh, di tahun 1984 tercatat bayi pertama menjalani xenotransplantasi dengan menerima jantung babon dan dapat bertahan hidup selama 21 hari,” ungkap Prof Ronny.
Ia menjelaskan, ukuran organ babi memiliki ukuran yang hampir serupa dengan manusia sehingga bagian tubuh babi sudah banyak digunakan untuk tujuan pengobatan pada manusia, seperti insulin diabetes dan jaringan untuk katup jantung.
Dalam perkembangannya, ginjal babi yang mengalami proses pengeditan gen telah berhasil ditransplantasikan ke monyet yang dapat bertahan hidup selama rata-rata 176 hari. Bahkan pada kasus lainnya dapat bertahan hidup selama lebih dari dua tahun.
Dalam perkembangannya tidak hanya ginjal saja yang ditransplantasikan ke manusia namun juga organ lainnya seperti jantung dengan menggunakan teknologi yang hampir sama.
“Keberhasilan transplantasi ginjal babi ke manusia memang menimbulkan harapan baru bagi jutaan pasien di seluruh dunia yang menderita gagal ginjal. Namun di balik kisah sukses ini masih diselimuti berbagai kontroversi yang kemungkinan besar tidak pernah sirna,” ujar Prof Ronny. (ipb.ac.id)