Maggot, Alternatif Bahan Pakan untuk Ransum Unggas
Maggot, atau larva dari black soldier fly (BSF) yang dapat diproduksi besar-besaran berpeluang menjadi bahan pakan sumber protein dan energi, karena kadar protein kasar mencapai 38% dan kadar lemak 20%.
Peluang itu dibedah oleh Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI) pada seminar Budidaya Maggot dan Aplikasinya dalam Industri Pakan Ikan dan Unggas’ pada Kamis (9/7).
Seminar daring yang diikuti oleh 114 partisipan ini, dibuka Dekan Fakultas Peternakan (Fapet) IPB University, Sumiati. “Fokus kajian kali ini adalah jurnal dari Italia, berupa kelayakan maggot sebagai sumber protein untuk unggas yang dilihat dari segi nutrisi. Maggot sendiri merupakan larva dari lalat atau black soldier fly,” jelas Sumiati.
Sumiati memaparkan siklusnya mulai dari maggot dewasa hingga menghasilkan telur, kemudian larvanya, seperti pupa, digunakan untuk bahan pakan sumber protein tersebut. Guna menopang pertumbuhan larva BSF, maka dapat memanfaatkan left over atau sampah seperti sisa-sisa sayuran maupun buah-buahan yang bersifat organik.
Manfaat Maggot
Gambaran produksi maggot, Sumiati melanjutkan, yaitu maggot akan bertelur yang nantinya akan dibesarkan sampai menghasilkan larva. “Umumnya, pada umur 15 hari sudah dapat dipanen.
Manfaat maggot lainnya yaitu dapat mereduksi bau atau polusi. Sehingga dengan adanya maggot, sampah organik baunya akan berkurang bahkan sampai tidak tercium. Manfaat selanjutnya adalah bisa mengontrol populasi lalat rumah, namun yang terpenting stakeholder peternakan adalah sumber nutrisi yang dihasilkan maggot.
Hasil-hasil penelitian yang dihimpun oleh Sumiati menunjukkan dari analisis proksimat maggot protein kasar (PK) dan lemaknya cukup tinggi. Kadar lemaknya menunjukkan berada di atas 20 % tergantung dari makanannya, sebab kandungan nutrisi dari maggot ini tergantung pada asupan makanannya.
Sumiati mengatakan bahwa bungkil sawit merupkan media pertumbuhan yang paling baik. Kendati demikian, Sumiati mengimbau supaya bungkil sawit diteliti kembali guna memastikan kebenarannya.
Larva yang dikeringkan dibandingkan dengan tepung ikan yang bukan kualitas satu. Hasilnya, PK larva BSF lumayan tinggi yaitu mencapai 38 %. Begitu pula dengan energi bruto dan kalsiumnya cukup tinggi, tetapi untuk kandungan fosfor totalnya tidak setinggi tepung ikan,” terangnya.
Sumiati mengatakan kadar minyak dari maggot dapat meningkatkan dan memperbaiki FCR (feed convertion ratio), artinya dapat meningkatkan efisiensi pakan pada broiler dan tidak ada efek negatif terhadap organ ayam, termasuk perkembangan usus halus. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu minyak dari maggot bisa digunakan sebagai functional fat, sebab mengandung banyak medium chain fatty acid dan masuk ke dalam daging yang dapat menghasilkan daging dan telur ayam fungsional.
Pengolahan & Harga Kompetitif Maggot
Senada dengan Sumiati, Guru Besar Fapet IPB University, Dewi Apri Astuti menyatakan bahwa bahan atau limbah organik bisa menjadi bahan makanan untuk maggot dan bahan tidak sulit untuk mendapatkannya di Indonesia. Salah satu media pertumbuhan maggot andalan limbah sawit, yang digadang-gadang sebagai media tumbuh yang higienis, sehingga produknya baik untuk pakan. Sebab media yang higienis merupakan syarat apabila larva akan diekspor.
Lebih lanjut Dewi menerangkan, pengolahan maggot sudah dilakukan di berbagai industri BSF di dalam negeri. Pengolahan ini ditujukan untuk menekan kandungan lemak yang tinggi, sebab lemak menjadi batas untuk penggunaan bahan baku di ransum unggas. Pengolahannya dilakukan dengan ditekan (press) menggunakan alat dan suhunya dapat diatur supaya kandungan proteinnya tidak rusak.
Bahan bakunya bisa segar atau pun kering, kemudian dipress dengan pemanasan. Toleransi suhu yang dapat digunakan yaitu antara 60 oC– 90 oC, tujuannya untuk mengurangi kerusakan nutrisi pada BSF. Hasilnya adalah berupa minyak, ini sangat potensial untuk digunakan sebagai bahan baku yang lain,” katanya.
Dari perspektif berbeda, Vice President FeedTech PT Charoen Pokphand Indonesia, Desianto Budi Utomo menambahkan bahwa faktor abiotik, seperti suhu dan kelembapan mempengaruhi pertumbuhan BSF. Sementara itu, Desianto mengungkapkan salah satu percobaan yang telah dilakukan peneliti adalah ayam yang diberi pakan bungkil kedelai (soybean meal, SBM) dan jagung, kemudian dibandingkan dengan ayam yang diberi pakan BSF. Hasilnya, pada layer (ayam petelur) umur 24 – 48 pekan dengan bobot badan awal tidak berbeda, setelah dilakukan perlakuan menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan.
“Asupan pakan (feed intake) berbeda sangat nyata yaitu yang digantikan oleh BSF hanya 108 gram per hari. Sedangkan dengan SBM 125 gram per hari, sehingga berujung pada FCR yang berbeda sangat nyata yaitu pada BSF 1,97 sedangkan pada SBM 2,17. Perlakuan ini berpengaruh terhadap berat telur, karena semakin rendah feed intake maka semakin rendah pula berat telurnya,” papar pria yang juga menjabat sebagai Ketua Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) ini.
Desianto menambahkan, penelitian ini menunjukkan bahwa BSF sebagai dekomposer tidak memberikan efek negatif pada ayam petelur. Selain itu, proteinnya sendiri bisa lebih dari 40 % tetapi lemaknya cukup tinggi yakni sebesar 23% – 30 %. BSF juga memiliki efek antimikrobial, bahkan dari studi yang ada, menunjukkan bahwa BSF bisa dianggap sebagai pengganti AGP (antibiotic growth promotor).
Karena BSF kaya akan protein, maka sasaran utamanya adalah subtitusi SBM ataupun fish meal, bahkan tepung daging tulang (meat bobe meal, MBM) untuk pakan unggas. “Pertanyaannya, apakah harga kompetitifnya terjamin atau tidak? Jika sumbernya baik, kecernaannya baik, memberikan efek performa yang baik tetapi biaya tidak masuk, maka tidak akan praktis untuk masuk dalam bahan baku yang diambil dari komputer karena kita menggunakan least cost formulation,” tekannya.
Desianto menegaskan pula pentingnya kestabilan mutu dan jumlah pasokan. Adapun produksinya skala kecil, harganya relatif mahal dibandingkan dengan harga bayangan (shadow price) SBM, MBM atau sumber protein yang lain, serta keberlanjutan persediaan, harus dipastikan ketersediaan bahan baku pakan untuk larva.
“Lazimnya, industri pakan yang mengambil bahan baku pakan akan tekan kontrak untuk beberapa bulan . Jika kontrak tidak bisa terpenuhi, maka perusahaan akan mengganti formula. Penggantian formula pakan tentu akan kontra produktif terhadap efisiensi produksi pakan, sebab setiap penggantian formula harus dilakukan flushing,” pungkas Desianto (troboslivestock.com)